JAKARTAMU.COM | Muhammadiyah terdiri atas organisasi pusat di Yogyakarta yang terbagi dalam urusan agama, urusan pendidikan, urusan kepanduan, urusan perpustakaan dan urusan fakir miskin.
Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan cepat tanpa banyak gembar-gembor propaganda. Beberapa sekolah agama sebelumnya telah ada. Dengan menyelenggarakan sekolah agama yang setara dengan sekolah agama sebelumnya memunculkan reaksi bagi para calon guru agama.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923)” bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra” menyebut pada mulanya sekolah guru agama ini dikelola secara primitif.
BACA JUGA: Wafatnya KH Ahmad Dahlan: Catatan Soerabajasch Handelsblad
Para pengelolanya sibuk mengumpulkan dana yang diperlukan dengan tujuan menjadikan sekolah ini sebagai lembaga klas menengah, atau bahkan lebih tinggi. Dana sudah terkumpul, tetapi masih diperlukan lagi banyak biaya untuk membayar bunga atas biaya yang telah dikeluarkan.
Menurut Djoko Marihandono, dari berita-berita dalam pers bumi putera yang datang dari segala penjuru Hindia Belanda terbukti bahwa usaha organisasi Muhammadiyah sangat dihargai.
“Cabang kepanduan menunjukkan bahwa orang mengharapkan dari banyak organisasi kepemudaan ini, yang seakan tidak berhubungan dengan organisasi keagamaan,” tambahnya.
Oleh karena itu, banyak pemuda yang berasal dari keturunan komunis hadir dalam rapat rakyat. Organisasi Muhammadiyah pada mulanya berjuang di Vorstenlanden.
BACA JUGA: Islam Modernis: Bagaimana Islam versi KH Ahmad Dahlan Itu?
Akan tetapi setelah setahun, di daerah lain didirikan cabang-cabang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Ikatan cabang-cabang ini dengan pengurus pusat dan organisasi induk di Yogyakarta tidak selalu kuat, sehingga sebuah cabang bisa menunjukkan sifat lain dibandingkan cabang lainnya.
Belakangan ini di sejumlah cabang dan terutama cabang Pekalongan ditemukan suatu kecenderungan khusus, sementara suatu organisasi di Jawa Tengah bagian timur bahkan diserang dengan dalih bahwa organisasi ini adalah bukan berinduk pada organisasi keagamaan.
Menurut Djoko Marihandono lagi, musuh Muhammadiyah yang pertama dan paling keras menyerang organisasi ini justru berasal dari kalangan agama Islam itu sendiri.
Dalam konteks ini ditemukan dalam tulisan yang dimuat dalam Islam Bergerak, suatu harian yang telah lama terbit sejak dahulu menjadi surat kabar agama yang keras.
Akan tetapi sejak beberapa tahun belakangan ini, terutama di bidang duniawi, menjadi sangat ekstrem bahkan menunjukkan simpatinya kepada komunis.
BACA JUGA: Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan Membendung Zending Kristen
Saat itu Muhammadiyah oleh para pemimpinnya tetap diminta waspada untuk berada di luar koridor politik dan sikap toleran terhadap umat Kristen dan Budha.
Inilah yang menjadi ciri khas KH Ahmad Dahlan. Prinsip ini berbeda sama sekali dengan prinsip para tokoh yang tinggal di Semarang. Mereka tidak menginginkan Muhammadiyah meningkatkan pengaruhnya di kalangan umat Islam bersama dengan Sarekat Islam. Mereka lebih suka mengikuti aliran komunis.
Ketika serangan gencar mulai dilakukan terhadap Muhammadiyah, para pemimpin Islam Bergerak dan Sinar Hindia ikut terlibat. Muhammadiyah dituduh dan ditekan bahwa diduga organisasi ini mempunyai hubungan dengan PEB (Partij Economische Bond) yang belakangan ini memasukkan para tokoh pergerakan rakyat di bidang keagamaan.
Haji Fachrodin yang selalu termasuk anggota radikal dari Sarekat Islam yang non-komunis menjadi anggota redaksi Islam Bergerak. Ia juga menjadi komisaris Muhammadiyah dan menjadi orang pertama yang terpengaruh oleh situasi ini.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan Mengubah Kauman: Kisah Berdirinya Masjid-Masjid Perempuan
Ketika itu para redaktur harian ini mulai diadili karena dituduh bersikap radikal. Semua ini ditulis dalam pers Persatuan Indonesia (Indische Vereenigde) yang berorientasi pada komunisme di Vorstenlanden.
Dahlan Fonds
Hal positif lainnya yang diketahui banyak orang, khususnya yang dibicarakan dalam rapat setelah wafatnya Ahmad Dahlan adalah keputusan untuk mendirikan sebuah lembaga yang mengurusi bea siswa yang diberi nama Dahlan Fonds.
Tujuan didirikannya Dahlan Fonds adalah untuk membiayai studi para pemuda Islam ke lembaga Islam tinggi di negara Islam lainnya.
Menurut Djoko, dengan pendirian lembaga ini, yayasan menduga akan menghormati karya dari almarhum pendiri organisasi ini KH Ahmad Dahlan.
Ia telah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk menyebarkan pelajaran agama dan propaganda bagi pendidikan pada umumnya.
Selama dua belas tahun terakhir ia memimpin organisasi ini. Saat itu di Jawa telah mempunyai 12 cabang dan 32 sekolah, termasuk 27 sekolah dasar, 4 HIS dan 1 sekolah guru bagi tenaga guru Islam.
Pendirian sebuah lembaga yang memberikan beasiswa untuk mendidik tenaga guru dengan kewenangan yang lebih tinggi tampaknya sesuai dengan tujuan almarhum.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Tidak Alergi terhadap Politik
Pengurus pusat tidak ragu bahwa ada banyak orang yang memahami arti penting dari pendidikan atas dasar Islam bagi negara dan bangsa ini, dan yang mau bekerja sama demi terbentuknya lembaga beasiswa ini.
Silang Pendapat
Organisasi Muhammadiyah yang berkedudukan di Yogyakarta, pendirinya terdiri atas orang-orang modern, yang menurut informasi yang diperoleh sering bersilang pendapat di antara mereka.
Tidak semua tokoh aliran modernis bertindak dan berpikiran bebas. Muhammadiyah tidak ikut campur dalam bidang politik, di mana kembali tidak bisa dikatakan bahwa di antara anggotanya, mereka tidak bersembunyi dalam partai politik.
Akan tetapi organisasi ini saat ini berada di luar setiap gerakan politik. Sebagian organisasi, Muhammadiyah di Yogyakarta berhasil mengelola lembaga panti asuhan dalam arti luas.
BACA JUGA: Membaca Pengajaran KH Ahmad Dahlan: Menolak Mistik Sufi
Ketuanya Ahmad Dahlan, adalah seorang guru agama di Yogyakarta, seorang yang berpikiran bebas, yang berasal dari klas menengah.
Tentang dirinya, diketahui bahwa pada 1918, untuk mencari kebenaran, ia mengadakan diskusi dengan para pendeta Protestan dan pastur Katolik, juga dengan Pastur van Lith yang namanya sudah banyak dikenal orang. Juga sebagai pendukung politik asosiasi, Ahmad Dahlan telah memenuhi semboyan dari pengikut aliran Vrijmetselaar di Solo.
Para anggota Muhammadiyah adalah guru dan guru agama yang berulang kali mengalami kesulitan untuk bersepakat dengan kalangan ortodoks.
Muhammadiyah di Yogyakarta memiliki beberapa sekolah kelas 2 dengan Al Qur’an, yang ditopang dengan subsidi pemerintah dan sebuah sekolah normal, di mana para siswanya menerima pelajaran agama di samping pelajaran umum.
Demikianlah karya Muhammadiyah yang sangat penting bagi penduduk bumi putera yang bisa dicatat bahwa inti dari gerakan ini bukanlah kelompok fanatik radikal.
Djoko mengatakan, jelas ada orang-orang fanatik yang muncul dalam aliran itu. Akan tetapi seorang fanatik yang kebanyakan bersifat membahayakan tidak dimiliki oleh organisasi ini.
BACA JUGA: Tujuan Pendidikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan: Jadilah Kiai yang Maju
Pada mulanya Muhammadiyah berjuang di Yogyakarta dan generasi tua lebih suka melihat bahwa lingkup kerjanya hanya terbatas di tempat ini.
Pada saat tertentu diadakan pertemuan agama, dan menerbitkan majalah dan surat kabar. Di tempat lain ada usaha mencari koneksi seiman, dengan akibat bahwa pada rapat umum tahun lalu diputuskan untuk menyebarkan aktivitas organisasi ini ke seluruh Jawa dan di wilayah inilah banyak didirikan cabang-cabang.
Selanjutnya diikuti dengan guru-guru agama yang berkelana sampai Ujung Timur untuk menyebarkan ide-ide Muhammadiyah.
Pertanggungjawaban keuangan dilakukan dalam rapat tahunan (seperti yang telah terjadi) dengan kecermatan penuh; setiap sen dari tiap kegiatan harus dipertanggungjawabkan dengan cara yang bisa diikuti dan dicontoh oleh berbagai organisasi bumi putera lainnya.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan: Semua Karya yang Baik, Tanpa Komitmen Kepada Ajaran Islam Akan Sia-Sia
Terhadap Sarekat Islam, Muhammadiyah tetap netral. Sehubungan dengan ini, perlu diingat bahwa tokoh Sarekat Islam Agus Salim telah mencoba untuk memberikan karakter politik kepada Muhammadiyah.
Diketahui pula bahwa antara para anggotanya pasti ada unsur politik yang tersembunyi. Agus Salim adalah salah satu darinya dan pada mulanya ia berhasil mendapatkan pengaruh. Misalnya pada suatu rapat umum ia memberikan pidato panjang lebar dan juga sebagai akibat dari pidatonya, aksi Muhammadiyah diperluas ke seluruh Jawa.
Namun, kerusuhan kecil kemudian terjadi dan organisasi Muhammadiyah ini kembali pada prinsip dasar lamanya.
Selanjutnya Muhammadiyah tidak lagi memberikan kontribusi pada kongres Serikat Islam selanjutnya. Prestasi Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Organisasi ini mendirikan banyak sekolah; kadang-kadang atas kekuatannya sendiri tetapi sering juga dengan bantuan pemerintah Belanda.
Kurikulumnya disesuaikan dengan sekolah pemerintah, akan tetapi pelajarannya dalam bidang agama Islam disediakan waktu lebih banyak.
BACA JUGA: Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mematikan Lampu ketika KH Ahmad Dahlan Bertamu
Berkat Muhammadiyah pendidikan agama diperbaharui dan diperhatikan khususnya bagi para pemimpin guru agama dan mubalig, yang sebelum adanya sekolah Muhammadiyah, hanya mengikuti kursus saja.
Di Yogyakarta, sebuah sekolah guru bagi guru agama yakni Madrasah al Mualimin didirikan.
Pada 1936 sekolah ini memiliki murid sebanyak 156 orang, yang berusia dari 12 sampai 20 tahun dan berasal dari seluruh daerah Hindia Belanda.
Kekayaan dari lembaga pendidikan ini adalah terdapat 19 bahasa yang berbeda dari seluruh pelosok Nusantara terwakili di sana. Buku dan majalah diterbitkan.
Sebuah cabang Muhammadiyah yang bernama Taman Pustaka menerbitkan berbagai literatur tentang Islam terutama diterbitkan tidak hanya dalam bahasa Melayu (bahasa ummat Islam di Indonesia), tetapi juga dalam bahasa Belanda. Sebagai contoh panduan untuk melakukan ibadah ritual atau salat, diterbitkan juga dalam bahasa Belanda.
Panitia Zakat Fitrah
Selanjutnya, Muhammadiyah juga berjasa dengan pendirian poliklinik dan panti asuhan. Perhatian pada fakir miskin ini juga menunjukkan bahwa ada usaha untuk membagi zakat, khususnya zakat fitrah yang untuk keperluan ini selalu dibentuk panitia lokal.
Menurut keterangan pengurus pusat Muhammadiyah saat itu, Muhammadiyah mencoba untuk melakukan pembayaran fitrah kepada orang-orang yang langsung menerimanya, bukan melalui guru agama atau guru seperti yang biasa terjadi di tanah air.
BACA JUGA: Perjuangan KH Ahmad Dahlan di Bidang Pendidikan: Dituduh Muktazilah Dianggap Murtad
Pada 1932 dari Residen Kudus dilaporkan (sebuah daerah dengan kehidupan agama yang maju) bahwa pengurus cabang Muhammadiyah pada bulan Ramadhan menerima zakat dari anggota yang menjelang akhir bulan itu dibagikan di antara kaum miskin.
Pada tahun itu hasil zakat mencapai f 2.500. Pengurus juga menerima beras dari anggota yang dibagikan sebagai fitrah kepada fakir miskin.
Pada 1937 cabang Telukbetung di Sumatra yang dikenal dengan sarana arisan padi yang mereka miliki, menerima zakat dan fitrah. Ada tiga orang ditunjuk untuk mengatur pemungutan ini.
Ada panti asuhan yatim yang didirikan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1931, dan di Bandung pada 1936. Di gedung panti asuhan Yogyakarta, di kampung Tungkak, dalam huruf Arab dikutip semboyan dari Qur’an: ”Perhatikan: mereka yang terkena putusan akhir adalah mereka yang menolak anak yatim”.
BACA JUGA: Kristen Muhammadiyah Sudah Terjadi sejak KH Ahmad Dahlan