JAKARTAMU.COM | Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104 amat populer di kalangan Muhammadiyah. Konon ayat ini sebagai dasar dan alasan bagi KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi modern.
“Ini sebagai instrumen dari berbagai ritual ibadah yang difungsikan bagi pemecahan problem kehidupan manusia,” tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868-1923)” bab “Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un”.
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Menurutnya, beberapa gagasan Kiai Ahmad Dahlan berhubungan dengan problem teologis dan epistemologis dalam pemikiran Islam, tapi pembaruan dan reformasi sosial-budaya yang dilakukannya lebih beroperasi pada wilayah praksis.
“Sulit diperoleh data mengenai jalan pikiran Kiai Ahmad Dahlan ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 104 sebagai dasar dan alasan baginya mendirikan organisasi modern,” ujar Abdul Munir Mulkhan.
Informasi tentang jalan pikiran Kiai Ahmad Dahlan ketika menafsirkan surat Al-Ma’un sebagai dasar inovasi kreatifnya dalam berbagai aksi pemberdayaan yatim-piatu, anak gelandangan dan jalanan, kaum terlantar dan korban perang.
Pemberdayaan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ruang publik ketika gerakan Feminisme belum muncul di Eropa lebih didasari pertimbangan pragmatis mengenai peran perempuan di dalam kehidupan sosial dalam lingkungan keluarga dan masyarakat luas.
Abdul Munir Mulkhan mengatakan penjelasan paling mungkin dari pendirian sekolah modern dan rumah sakit yang saat itu hanya dilakukan kaum Kristiani dan Pemerintah Kolonial ialah kepentingan pragmatis.
Sikap pragmatis itu menjadi terbuka ketika Kiai Ahmad Dahlan memandang adanya kesesuaian natural tafsir atas ayat-ayat Al-Quran dan pengalaman kemanusiaan yang bersifat universal.
Beberapa ilmu yang dipelajari di sekolah modern yang didirikan Muhammadiyah itu hingga kini masih dipandang bertentangan atau paling kurang tidak sesuai ajaran Islam.
Sikap serupa bisa dilihat terhadap penggunaan jasa dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan Inggris beragama Nasrani yang hingga kini sulit diterima secara objektif.
Kiai Ahmad Dahlan justru menjadikan mereka sebagai tulang punggung Rumah Sakit PKO (U) Muhammadiyah di Jogja dan Surabaya (berdiri 1923 dan 1924).
Kesesuaian pengalaman universal kemanusiaan dari beragam bangsa dan agama dengan makna otentik ayat-ayat Al-Qur’an guna menemukan fungsi praktis pemecahan problem umat ketika itu, menempatkan pandangan Kiai Ahmad Dahlan mungkin bisa disebut sebagai bentuk dari Pragmatisme Humanistik.
Beberapa kata kunci yang bisa dipakai menelusuri jejak pandangan humanis Kiai Ahmad Dahlan ialah kosa kata “akal suci” dan “hati suci” (otentik dan perenialistik) serta kemanfaatan bagi perbaikan hidup seluruh umat manusia.
Berkali-kali Kiai Dahlan menyebut mengenai kesesuaian tafsir ayat-ayat Alquran yang benar dengan teori iptek yang benar.
Ukuran kebenaran tafsir Al-Quran dan temuan iptek menurut pandangan Kiai Dahlan ialah kemanfaatannya bagi penyelesaian problem kemanusiaan seperti tercermin dari uraiannya tentang kesatuan hidup manusia dan pengembangan pendidikan Islam.
Pertimbangan pragmatis dan praktis mewarnai hampir seluruh inovasi kreatif Kiai Ahmad Dahlan dalam pengembangan sekolah modern, rumah sakit, dan organisasi, serta penggunaan jasa manajemen modern dalam berbagai kegiatan ritual ibadah dan penerjemahan Alquran dengan bahasa Indonesia (Melayu) dan Jawa.
Khotbah Jumat dan Hari Raya dilakukan dengan Bahasa Indonesia (Melayu) dan Jawa, salat Hari Raya diselenggarakan di tempat terbuka, pendirian tempat ibadah bagi kaum perempuan yang disebut musala, pengelolaan dengan manajemen modern praktik zakat mal, zakat fitrah, dan ibadah kurban bagi aksi pemberdayaan kaum fakir miskin (mustadl’afin, proletar dan marginal).
Legan Golek Momongan
Jalan pikiran demikian dan berbagai aksi pemberdayaan kaum tertindas ketika itu sulit dicari padanannya dalam pemikiran kaum Salafi yang selama ini menjadi referensi tunggal kebenaran pemahaman tentang ajaran Islam.
Muncullah slogan yang terkenal dalam tradisi Muhammadiyah tentang “sedikit bicara banyak kerja” atau “legan golek momongan” (bujangan mencari anak asuh) yang kemudian menjadi etos aktivis gerakan ini di kemudian hari.
Slogan dan etos tersebut mengindikasikan sebuah praksis keberagamaan yang mendasari hampir semua kerja sosial-budaya yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan.
Hingga kini bentuk kegiatan Muhammadiyah lebih merupakan perluasan dari apa yang telah dimulai Kiai Ahmad Dahlan sampai ia wafat pada Februari 1923.
Namun tidak mudah menyatakan berbagai praktik gerakan pembaruan Kiai tersebut dilakukan berdasar semangat Protestanisme.
Kiai Ahmad Dahlan sendiri tidak pernah membaca karya Max Weber, apalagi sejarah pembaharuan Martin Luther.
Kritik ketertutupan ijtihad dari Jamaludin Al-Afghani (selanjutnya Afghani) dan tokoh pembaharu Islam lainnya telah membuka wawasan baru dunia Islam dan memberi inspirasi gerakan Islam di berbagai belahan dunia, seperti kelahiran Muhammadiyah di Tanah Air.
Sementara gagasan Pan-Islamisme yang melahirkan gerakan pembebasan di negeri-negeri muslim dari kolonialisme, melahirkan sikap anti Barat dan segala produk pemikiran modern non-Islam.
Lebih jauh, ajaran Islam yang disusun para ulama (Salaf) pada abad-abad pertama pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW kemudian berkembang sebagai ideologi bahkan mengalami peng-kudusan.
Kecenderungan ideologisasi dan peng-kudus-an atas ajaran Islam dari tafsir ulama Salaf itu lebih menjelaskan berbagai kesulitan pengembangan gagasan duniawi yang antara lain direkomendasi oleh etos Protestanisme.
Kesulitan serupa dihadapi bangsa-bangsa Muslim yang telah merdeka dan bebas dari kolonialisme mengenai bagaimana menyusun kehidupan negara di tengah percaturan peradaban dunia modern dan global.
Abdul Munir Mukhan mengatakan kecenderungan ideologisasi, lebih-lebih lagi peng-kudus-an ajaran Islam, dari tafsir para ulama Salaf bisa dilihat dari kekacauan penempatan ajaran Islam yang otentik berasal dari wahyu Tuhan dan kenabian Muhammad SAW dengan ajaran Islam sebagai hasil penafsiran para ulama Salaf atas ayat-ayat Alquran dan Sunnah Nabi.
Keyakinan kebenaran mutlak dan kesempurnaan atas ajaran Islam kemudian diterakan pada ajaran Islam sebagai hasil penafsiran ulama Salaf.
Peng-kudus-an hasil pemikiran (tafsir) dari ulama Salaf seperti itu diperkuat oleh sistem hierarki ke-kudus-an yang menempatkan kehidupan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi’in (pasca sahabat) dan seterusnya.
Posisi ulama Salaf tersebut tercermin dari ajaran Islam tentang Hari Kiamat di masa depan dalam proses sejarah sebagai kepastian degradasi etika-moral dalam perjalanan sejarah umat manusia.
Bukan Salafi dan Wahabi
Sejarah masa depan kemudian dipahami sebagai kisah kehancuran moral dan peradaban dengan puncak peristiwa Kiamat.
Kecenderungan Salafi sulit diterakan pada gagasan keagamaan Ahmad Dahlan, seperti cap puritanisme kepadanya.
Pemberian label Salafi dan Islam puritan terhadap gagasan keagamaan Muhammadiyah dan Kiai Ahmad Dahlan lebih didasarkan praktik keagamaan aktivis Muhammadiyah dari generasi sesudah pendiri gerakan itu wafat.
Sulit ditemukan dokumen yang bisa dipercaya berhubungan langsung dengan gagasan dan kerja sosial yang menyatakan bahwa Kiai Ahmad Dahlan menggunakan kosa-kata Salaf dan Islam puritan dalam menjelaskan pandangan keagamaan dan aksi sosialbudayanya.
Pendiri gerakan Islam modernis terkemuka ini hanya sesekali mengkritik kepercayaan terhadap jimat-jimat dan praktik agama dengan taklid, tapi sulit diperoleh data tentang kritiknya atas tradisi keberagamaan Islam yang populer ketika itu yang bisa dikaitkan dengan Islam puritan.
Kiai Ahmad Dahlan memiliki gagasan genial dan otentik yang tidak hanya bisa dirujukkan pada gagasan Abduh, Rasyid Ridla, dan Afghani, apalagi dengan kaum Wahabi.
Kiai Dahlan tidak sekalipun menyebut kosakata puritan dan salafi di dalam seluruh gagasan dan kerja pembaruan sosial-budaya yang dilakukannya. Hanya dalam generasi pasca Kiai Dahlan, kedua kosa kata itu mulai dikenal.
Rasionalitas pemahaman dan praktik ritual mungkin diambil dari tokoh pembaharu Islam tersebut. Tapi, inovasi kreatif pragmatis dan fungsional dalam bentuk rumah sakit, sekolah modern, pemihakan pada kaum tertindas, banyak diambil dari pengalaman kaum Kristiani di Tanah Air, selain dari pengalaman elite priayi Jawa yang sudah berkembang bersama masuknya kolonialisme Belanda, Inggris atau Portugis ke negeri ini.
Sulit dicari contohnya dalam sejarah Islam atau pemikiran Islam ketika Kiai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi beserta inovasi kreatifnya tentang berbagai model pemberdayaan kaum perempuan, kaum proletar dan tertindas (mustadl’afin) melalui lembaga rumah sakit, pondok penampungan gelandangan, kaum terlantar, dan korban perang.
Berbagai bentuk pemberdayaan perempuan dan kaum proletar yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan itu lebih terinspirasi dari pergaulannya dengan elite Kerajaan, priyayi Jawa, pejabat Kerajaan Belanda, Pendeta dan Pastur.
Sayang model gerakan yang belakangan populer di kalangan aktivis LSM itu kini tampak semakin terasing dari aktivis dan kegiatan Muhammadiyah, ketika gerakan ini tumbuh besar.
Kiai Ahmad Dahlan sendiri ketika itu adalah salah seorang punggawa (pejabat) Kerajaan Yogjakarta tanpa pendidikan formal, tapi bergaul dengan berbagai kalangan luas dari elite Jawa hingga pejabat kolonial, pendeta dan pastur.