Sabtu, Maret 15, 2025
No menu items!
spot_img

Kisah Abu Yazid al Busthami: Bakti kepada Allah dan Orang Tua

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain.

Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: “…bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah.”

Kakek Abu Yazid al Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya” ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”.

Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur’an.

Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, “Berterimakasihlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu”.

Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “Izinkanlah aku untuk pulang. Ada yang hendak kukatakan pada ibuku”.

Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata, “Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?”

“Tidak” jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata”.

“Anakku” jawab ibunya “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah”.

Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah.”

Abu Yazid bercerita, pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun mengambilnya. Ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong.

Oleh karena itu, aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku.

Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?” Ibuku bertanya.

“Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena,” jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”.

“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”.

Wahai ingatkah kita di Qur’an Surat Al-Baqarah 255. Sedang Allah tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Selalu terjaga. Mengapakah kita masih sering terlena?

spot_img

Membentuk Generasi Saleh Sejak Dini: Yayasan Baiturrahman Sebantengan Gelar Salat Tarawih Anak

JAKARTAMU.COM | Yayasan Baiturrahman Sebantengan Ungaran kembali menggelar program tahunan Salat Tarawih Anak, sebuah inisiatif unik yang dirancang...

More Articles Like This