Senin, Januari 6, 2025
No menu items!

Kisah Al-Qasim saat Masjid Nabawi Dipugar dengan Menggusur Rumah Istri-Istri Nabi

Amir Madinah Umar bin Abdul Aziz meminta pendapat Al-Qasim terkait penolakan penduduk Madinah atas rencana pemugaran Masjid Nabawi.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Al-Qasim adalah putra Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunya adalah putri Yazdajir, raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah ra, Ummul Mukminin.

Dialah adalah satu dari tujuh fuqaha Madinah, yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara’-nya.

Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam bukunya yang berjudul “Mereka adalah Para Tabi’in” menceritakan suatu ketika Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik berkeinginan untuk memperluas Masjid Nabawi. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keempat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi.

Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka.

Mengingat hal ini, maka khalifah menulis surat kepada Wali Madinah yang kala itu dijabat Umar bin Abdul Aziz. Isi surat itu sebagai berikut:

“Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy-Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya perlu dirobohkan dan rumah istri-istri nabi terpaksa kena perluasan.

Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan Ibnu Khattab dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat.

Jika penduduk Madinah menolaknya, Anda bisa minta bantuan kepada Al-Qasim bin Muhammad juga Salim bin Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini. Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga setinggi mungkin. Bagi Anda pahala yang baik seperti apa yang dilakukan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.”

Dengan segera, gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz mengundang Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gembira dengan apa yang direncanakan oleh khalifah dan siap sedia untuk mendukung rencana itu.

Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya.

Sumbangan Kaisar Romawi

Di tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemenangan gemilang. Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng musuh di Konstantinopel dan merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal terbukanya konstantinopel.

Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100 arsitek dari romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah.

Bantuan tersebut dikirimkan oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali Madinah itu mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad.

Mirip Abu Bakar

Alangkah miripnya Al-Qasim dengan kakeknya, Abu Bakar Ash-Shidiq, sampai orang-orang berkomentar, “Tidak ada anak keturunan Abu Bakar yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya…” dan banyak sekali sikap dan perbuatannya membuktikan hal ini.

Sebagai contoh, ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliu, “Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?”

Al-Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau menjawab, “Subhanallah.”

Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya, lalu Al-Qasim berkata, “Itu dia, Salim putra bibiku duduk di sebelah sana.”

Orang-orang di masjid itu saling berbisik, “Sungguh mirip dia dengan kakeknya. Dia tidak suka atau sangat benci untuk berkata, “Aku lebih pandai,” karena hal itu berarti menyombongkan diri.

Namun dia tidak pula berkata, “Dia lebih pandai,” sebab itu berarti dusta, mengingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim.

Suatu ketika, di Mina terlihat para jama’ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru negeri dan mereka bertanya agama kepada Al-Qasim. Beliau menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan masalah yang dia tidak mengetahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata, “Aku tidak tahu… aku tidak mengerti… aku tidak tahu.”

Tampaknya orang-orang heran dan penasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau menegaskan kepada mereka, “Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu. Seandainya aku tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh seseorang hidup dalam keadaan bodoh, selain berma’rifah kepada hak-hak Allah, adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak dia ketahui ilmunya.”

Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka beliau melaksanakan sebaik mungkin dan memberikan bagian kepada yang benar-benar berhak atasnya.

Namun ada satu orang yang tidak puas dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid. Beliau tengah melaksanakan salat ketika orang itu datang dan berbicara soal harta sedekah.

Putra Al-Qasim yang mendengarnya dengan dongkol berkata, “Demi Alah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma.”

Setelah menyelesaikan salatnya, Al-Qasim menoleh kepada putranya dan berkata, “Wahai putraku, mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui.”

Orang-orang berkata, “Apa yang dikatakan anaknya memang benar, namun beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain.”

Wafatnya Al-Qasim

Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun. Dalam usianya yang lanjut, beliau menuju Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat.

Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada putranya, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk salat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata, “Dia dulu begini dan begitu… karena aku bukanlah apa-apa.”

Penguasa Jahat Akan Ditumbangkan Budak Angon: Jadi Tumbal untuk Perbuatannya Sendiri

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEPERTI biasa, diskusi rutin setiap malam Jumat, dari sekian banyak naskah Wangsit Siliwangi, sepakat...

More Articles Like This