Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Kisah Ali bin Abi Thalib Menolak Membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah

Must Read

JAKARTAMU.COM | Ali bin Abi Thalib adalah tokoh yang belakangan mengakui kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah Rasulullah SAW wafat.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Abu Bakr As-Siddiq, Yang Lembut Hati” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyebut sumber-sumber yang terkenal dan lebih umum mengenai terlambatnya Ali dan Banu Hasyim itu ialah seperti yang diuraikan oleh Ibn Qutaibah dalam al-Imamah was-Siyasah dan sumber-sumber serupa.

Ia menceritakan, begitu selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakar, Umar bin Khattab dan rombongan berangkat menemui Banu Hasyim. Mereka diminta agar juga datang memberikan ikrar seperti yang lain.

Ketika itu Banu Hasyim berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib. Baik Ali maupun yang lain menolak ajakan Umar bin Khattab itu. Zubair bin al-Awwam dan sahabat-sahabatnya bahkan keluar menemui Umar dengan membawa pedang.

Selanjutnya Umar bin Khattab meminta sahabat-sahabatnya mengambil pedang mereka. “Awas orang itu dan ambil pedangnya!” teriak Umar.

Mereka merampas pedang itu dari tangan Zubair dan sahabat lainnya. Kemudian Zubair pun pergi dan membaiat.

Umar lalu meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk juga membaiat Abu Bakar. “Baiatlah Abu Bakar,” kata Umar.

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Aku tidak akan membaiat, karena dalam hal ini aku lebih berhak daripada kalian. Kamulah yang lebih pantas membaiat aku. Kamu telah mengambil kekuasaan itu dari Ansar dengan alasan kalian kerabat Nabi SAW dan kalian mengambil dari kami ahlulbait secara paksa. Bukankah kalian mengatakan kepada Ansar bahwa kalian lebih berhak daripada mereka dalam hal ini karena Muhammad dari kalian, lalu pimpinan dan kekuasaan diserahkan kepada kalian! Sekarang aku akan menuntut kepada kalian sebagaimana kalian menuntut kepada Ansar. Kami lebih berhak terhadap Rasulullah selama masih hidup dan sesudah mati. Jika kamu beriman berlaku adillah terhadap kami, kalau tidak berarti dengan sengaja kamu berlaku zalim.”

“Kau tak akan dibiarkan sebelum membaiat,” jawab Umar bin Khattab tegas.

“Dalam bertindak orang harus berlaku adil. Umar, sungguh aku tidak dapat menerima kata-katamu itu dan aku tidak akan membaiat,” kata Ali bersemangat dan dengan nada keras.

Dikhawatirkan dialog itu akan jadi semakin panas, maka Abu Bakar segera campur tangan dengan katanya: “Kalau engkau memang tidak mau membaiat, aku tidak akan memaksamu.”

Abu Ubaidah segera mendekati Ali seraya katanya dengan nada lembut:

“Sepupuku, engkau masih muda, dan mereka itu orang tua-tua kita. Tentu dalam bidang ini engkau tidak punya pengalaman dan pengetahuan seperti mereka. Menurut hematku Abu Bakar lebih mampu dari engkau dan lebih dapat mengatasi segala persoalan. Serahkanlah pimpinan itu kepada Abu Bakar. Jika engkau masih akan panjang umur, maka engkaulah kelak yang pantas memegang pimpinan ini semua, mengingat jasamu, ketaatanmu dalam agama, amalmu, pengetahuanmu, kedinianmu dalam Islam, nasabmu serta hubunganmu sebagai menantu.”

Di sini Ali berontak seraya berkata:

“Hebat sekali kalian ini Muhajirin! Janganlah kalian mencoba mengeluarkan kekuasaan Muhammad atas orang-orang Arab itu dari keluarganya dan dari dalam rumahnya ke keluarga dan ke dalam rumah kalian lalu mengenyahkan kedudukan dan hak keluarganya dari rakyat.”

“Demi Allah, Saudara-saudara Muhajirin, kamilah yang lebih berhak dari semua orang, karena kami adalah keluarganya, kami ahlulbait. Dalam pimpinan ini kami lebih berhak dari kalian. Dari kalangan kamilah yang membaca Qur’an, yang mengetahui hukum-hukum agama, mengenal benar sunah Rasulullah, mengikuti perkembangan rakyat serta melindungi mereka dari hal-hal yang tidak baik.”

“Kami yang mengadakan pemerataan dengan mereka. Dia adalah dari kami. Janganlah kamu memperturutkan hawa nafsu, kalian akan sesat dari jalan Allah dan akan lebih jauh menyimpang dari kebenaran.”

Menurut beberapa sumber, ketika itu Basyir bin Sa’d juga hadir. Mendengar kata-kata itu ia berkata:

“Ali, kalau kata-katamu itu didengar oleh Ansar sebelum pengukuhan terhadap Abu Bakar, aku pun tak akan berbeda pendapat dengan kau.”

Dengan marah Ali keluar. Ia pergi menemui Fatimah dan keluar rumah bersama-sama. Dengan dinaikkan di atas binatang beban malam itu Fatimah berkeliling menemui kelompok-kelompok Ansar meminta dukungan. Mereka itu berkata:

“Putri Rasulullah, baiat kami atas orang itu sudah selesai. Sekiranya suamimu dan sepupumu itu yang lebih dulu menemui kami sebelum Abu Bakar, tentu kami tak akan menyamakannya.”

Jawaban ini menambah kemarahan Ali dan ia berkata lagi: “Apa aku akan meninggalkan Rasulullah di rumah tanpa dimakamkan dan keluar memperebutkan kekuasaan?”

“Apa yang dilakukan Abu al-Hasan,” sela Fatimah, “memang yang sudah semestinya dilakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan, biarlah Allah nanti yang membuat perhitungan dan yang menentukan.”

Ali Membaiat Abu Bakar

Haekal mengatakan itu adalah kesan yang masyhur (yang sudah umum) mengenai sikap Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabatnya sehubungan dengan baiat Abu Bakar.

Beberapa sejarawan dengan tegas sekali membantah kesan yang sudah umum mengenai tertinggalnya Banu Hasyim dan beberapa kalangan Muhajirin itu. Mereka menyebutkan bahwa sesudah Saqifah, Abu Bakar dibaiat secara aklamasi tanpa ada yang ketinggalan.

Tabari menyebutkan sebuah sumber lengkap dengan isnadnya, bahwa Sa’ad bin Zaid ketika ditanya: Engkau menyaksikan kematian Rasulullah SAW? Ya, jawabnya. Ditanya lagi: Kapan Abu Bakar dibaiat? Dijawab: Ketika Rasulullah SAW wafat; mereka tidak mau ada yang lowong sehari pun tanpa berada dalam satu jamaah.

Apa ada yang menentang? Tidak, katanya, tak ada, kecuali mereka yang murtad atau orang-orang Ansar yang nyaris murtad kalau tidak segera mendapat pertolongan Allah.

Ketika ditanya lagi: Apa ada dari Muhajirin yang tidak ikut? Tidak, katanya. Kaum Muhajirin secara berturut-turut memberikan baiat tanpa diminta.

Dalam sebuah sumber disebutkan, bahwa ketika itu Ali bin Abi Thalib sedang duduk-duduk di rumahnya tatkala ada orang datang memberitahukan bahwa Abu Bakar sudah siap hendak diikrarkan. Karena khawatir akan terlambat Ali keluar cepat-cepat hanya mengenakan baju kemeja tanpa mantel dan jubah. Kemudian ia pun membaiat. Sesudah itu ia duduk dan menyuruh orang mengambilkan pakaiannya itu lalu dipakainya, dan ia tetap duduk.

Sumber Jalan Tengah

Kisah lain menyebut, setelah selesai pengukuhan itu Abu Bakar naik ke mimbar dan ketika melihat di antara hadirin Zubair tidak tampak, dipanggilnya. Ketika Zubair datang ia berkata: “Oh sepupu Rasulullah SAW dan pembantu dekatnya, engkau mau menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin?”

“Tak ada cacat apa-apa ya Khalifah Rasulullah,” katanya, lalu ia bangun dan membaiat Abu Bakar.

Kemudian Abu Bakar melihat kepada hadirin. Ia tidak melihat Ali. Bila Ali datang setelah dipanggil ia bertanya: “Sepupu Rasulullah SAW dan menantunya, engkau mau menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin?”

“Tak ada cela apa-apa ya Khalifah Rasulullah,” katanya, lalu ia pun bangun dan membaiat Abu Bakar.

Pendapat Sekitar Sikap Banu Umayyah

Menurut Haekal, ada juga beberapa sumber yang mengatakan, bahwa Banu Umayyahlah yang memang ingin menimbulkan ketegangan antara Banu Hasyim dengan Abu Bakar.

Setelah orang datang berkumpul hendak mengikrarkan Abu Bakar, konon datang pula Abu Sufyan mengatakan: “Sungguh, hanya darah yang akan dapat memadamkan sumpah ini. Hai Keluarga Abdu Manaf mengapa mesti Abu Bakar yang memerintah kamu? Mana kedua orang yang dihina itu, yang diperlemah, Ali dan Abbas!”

Tetapi sumber-sumber yang menyebutkan peristiwa yang dihubungkan kepada Abu Sufyan ini hampir semua sepakat, bahwa Ali menolak ajakannya itu. Malah ia berkata kepadanya: “Engkau memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Selalu kau mau membawa Islam ke dalam bencana.” Atau katanya juga: “Abu Sufyan, engkau selalu mau memusuhi Islam dan pemeluknya. Tetapi engkau tak akan berhasil. Aku berpendapat, Abu Bakar memang pantas untuk itu.”

Abbas dan Fatimah Menuntut Warisan

Orang-orang yang menafikan terlambatnya Ali memberikan baiat berpendapat bahwa cerita-cerita tentang keterlambatan itu dibuat orang kemudian. Bahkan mereka menekankan bahwa cerita-cerita itu dibuat pada masa kekuasaan Banu Abbas untuk maksud-maksud politik, dan lebih jauh mereka mengatakan bahwa cerita itu dikaitkan dengan suatu peristiwa yang sebenarnya memang sudah sama-sama disepakati, namun sama sekali tak ada hubungannya dengan peristiwa baiat itu.

Peristiwa itu ialah bahwa Fatimah putri Rasulullah dan Abbas pamannya menemui Abu Bakar setelah ia menjadi Khalifah. Mereka menuntut warisan tanah Rasulullah yang di Fadak dan bagian Abbas di Khaibar. Kepada mereka itu Abu Bakar berkata:

“Aku mendengar Rasulullah berkata: ‘Kami, para nabi, tidak mewariskan; apa yang kami tinggalkan buat sedekah.’ Tetapi keluarga Muhammad boleh makan dari harta itu. Demi Allah, setiap sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah pasti akan kukerjakan.”

Fatimah marah karenanya. Ia menjauhi Abu Bakar dan tidak mengajaknya bicara sampai ia wafat. Oleh Ali ia dikebumikan malam hari dan Abu Bakar tidak diberi tahu.

Fatimah masih hidup enam bulan lagi setelah ayahanda wafat. Karena kemarahan Fatimah itu Ali juga marah kepada Abu Bakar. Sesudah Fatimah wafat ia cenderung berbaik kembali dan Abu Bakar pun menerimanya.

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (14)

Batas yang Tak Terlihat Oleh: Sugiyati Suara itu menggema, seolah datang dari seluruh penjuru gua yang gelap. Setiap kata yang...

More Articles Like This