PERISTIWA ini terjadi pada era Khalifah Utsman bin Affan. Kala itu, Muawiyah bin Abu Sofyan mendesak khalifah untuk membangun armada kapal. Permintaan yang sama pernah ditolak Khalifah Umar bin Khattab. Pada mulanya Utsman juga keberatan. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan dari berbagai segi Utsman akhirnya setuju.
Begitu sukses membangun armada laut, Mu’awiyah merencanakan menyerang pasukan Romawi di Siprus. Pulau Siprus terletak di timur laut Laut Tengah, tak jauh dari Anatolia di bagian utaranya dan dari Syam di sebelah timurnya.
Tak ada laut yang memisahkan kedua pulau selain sebuah terusan sempit. Di Siprus terdapat dua gunung barisan yang ketinggian beberapa puncaknya lebih dari 3000 meter.
Kepulauan ini – sampai sekarang – terkenal karena kesuburan dan buah-buahannya yang baik serta udaranya yang nyaman. Di samping itu ia merupakan pangkalan perang yang kukuh sekali menguasai seluruh Laut Tengah.
Itu sebabnya selama beberapa generasi pulau ini menjadi rebutan terus-menerus. Waktu itu daerah-daerah ini berada di bawah kekuasaan Romawi, dan merupakan pulau pertama yang diserbu pasukan Muslimin di Laut Tengah.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah berjudul “Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengarungi lautan dengan membawa istrinya Fakhitah binti Qarazah dan beberapa sahabat yang sudah tinggal di Syam yang berasal dari Makkah dan Madinah .
Kapal yang ditumpangi Mu’awiyah ini berada di garis depan diikuti oleh kapal-kapal lain di belakangnya, yang terdiri dari para sukarelawan Muslimin.
Setelah sampai di Siprus dan mendarat di tepi pantai, mereka tidak melihat seorang penguasa pun atau penduduk yang mencegat mereka.
Haekal menuturkan untuk apa pasukannya memerangi mereka sementara pulau itu berada di bawah kekuasaan Romawi. Kalau bukan Romawi yang akan membela pulau itu rakyatnya tak ada yang akan membela diri.
Kenyataannya kala itu tak satu pun kapal Romawi yang merintangi pasukan Muslimin dan tidak pula berusaha hendak mencegah kedatangan mereka. Kedua belah pihak memilih jalan damai dengan berunding.
Pihak Siprus berpendapat, persetujuan yang telah mereka capai dengan pihak Muslimin jangan sampai menimbulkan pertentangan dengan pihak Romawi, yang mungkin akan mengganggu mereka – hal yang tidak akan mampu dapat mereka cegah.
Oleh karena itu mereka mengadakan persetujuan damai dengan pihak Muslimin atas dasar jizyah 7200 dinar yang dibayarkan setiap tahun, dengan syarat jumlah yang sama juga harus dibayarkan kepada pihak Romawi.
Atas dasar persetujuan ganda dengan pihak Romawi dan pihak Muslimin ini, pihak Muslimin tidak akan melindungi dan tidak akan berperang untuk melindungi mereka jika itu terjadi sesuatu terhadap mereka.
Warga Siprus akan menjadi mata-mata pihak Muslimin dengan memberitahukan kepergian orang-orang Romawi musuh mereka itu.
Ini menurut sumber Balazuri tentang pembebasan Siprus. Disebutkannya bahwa perang itu terjadi dalam tahun ke-28 atau tahun ke-29 Hijri, dan bahwa Siprus tetap setia pada perjanjian itu sampai tahun 32.
Dalam tahun itu pihak Romawi membantu para penyerang di laut itu dengan memberikan beberapa kapal kepada mereka.
Mu’awiyah menyerang mereka dengan 500 kapal dalam tahun 33 dan Siprus dibebaskan dengan jalan paksa setelah terjadi pembunuhan dan penawanan.
Setelah itu mereka kembali mengakui perjanjian itu dengan mengirimkan 12.000 orang ke sana, semua orang pemerintahan.
Di tempat itu beberapa mesjid, juga sekelompok orang dipindahkan ke sana dari Baalbak (Heliopolis), yang selanjutnya dibangun pula di sana sebuah kota.
Ketika Mu’awiyah meninggal dan anaknya Yazid menggantikannya, pengiriman itu dihentikan dan ia memerintahkan penghancuran kota tersebut.
Ada beberapa narasumber yang mengira bahwa serangan Mu’awiyah yang kedua kalinya ke Siprus itu terjadi dalam tahun 35.
Menurut Haekal, sumber Balazuri ini menyebutkan bahwa Mu’awiyah membebaskan Siprus itu seorang diri. Sementara Tabari dan Ibn Asir, dan para sejarawan yang penulisannya sejalan dengan pola kedua sejarawan itu menyebutkan bahwa armada Syam dan armada Mesir yang dipimpin oleh Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh, masing-masing berangkat menuju Siprus.
Mereka yang membawa sumber ini tidak menyebutkan bahwa Muawiyah sendirilah yang memimpin armada itu ke Siprus, tetapi kata mereka, Mu’awiyah menugaskan Abdullah bin Qais al-Harisi. Tidaklah mudah untuk memastikan mana yang sahih dan mana yang palsu dari kedua sumber itu. (*)