KONON ada seorang janda miskin sedang melihat keluar jendela rumahnya, ketika dilihatnya seorang darwis bersahaja menyusuri jalan. Darwis itu tampak sangat letih, dan jubahnya yang compang-camping sangat kotor. Jelas sekali bahwa darwis itu membutuhkan pertolongan.
Wanita itu pun segera menghampiri sang darwis dan berkata, “Darwis yang mulia, aku tahu bahwasannya engkau adalah salah satu dari Yang Terpilih, tetapi tentu ada saatnya ketika orang biasa seperti saya pun memiliki kesempatan untuk membantu Para Pencari. Datang dan bermalamlah di rumahku, sebab bukankah ada dikatakan: “Barangsiapa menolong Para Sahabat akan ditolong, dan siapa yang menyakiti mereka akan disakiti, meskipun cara dan waktunya adalah suatu misteri.”
“Terima kasih, wanita baik,” kata darwis itu. Maka, ia pun masuk ke gubuk tersebut. Di sana ia beristirahat selama beberapa hari.
Wanita ini mempunyai seorang anak bernama Abdullah, yang hidupnya begitu-begitu saja sebab ia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menebang kayu dan menjualnya di pasar setempat. Abdullah tak dapat menambah pengalaman hidupnya yang niscaya bisa digunakannya untuk menolong ibunya dan dirinya sendiri.
Darwis itu berkata kepadanya, “Anakku, aku seorang yang berilmu, meskipun tampak tidak berdaya. Tuan, ikutlah aku berkelana dan akan kutunjukkan padamu kesempatan-kesempatan besar. Hal ini tentu bila ibumu setuju.”
Ibu Abdullah sangat senang mengizinkan putranya mengadakan perjalanan bersama orang bijak itu, dan mereka pun segera berangkat.
Ketika mereka telah berkelana menyusuri banyak negeri dan mengalami segala hal berdua, darwis itu pun berkata, “Abdullah, kita telah mencapai akhir dari sebuah jalan. Sekarang aku hendak melakukan upacara tertentu yang bila berhasil, akan menyebabkan bumi terbuka dan memunculkan sesuatu yang hanya diberikan pada sedikit orang. Ini adalah harta karun, tersembunyi di sini berpuluh-puluh tahun lamanya. Kau takut?”
Abdullah setuju untuk mencoba, dan berjanji tidak akan panik, apa pun yang terjadi.
Darwis itu pun melakukan gerakan-gerakan aneh, sambil mulutnya komat-kamit, diikuti oleh Abdullah dan bumi terbuka.
Darwis itu berseru, “Sekarang, Abdullah, dengar baik-baik dan perhatikan dengan seksama. Kau turunlah ke dalam lubang yang menganga di depan kita itu. Tugasmu adalah mengambil sebuah kandil yang terbuat dari besi. Di sepanjang lorong menuju kandil itu kau akan melihat harta karun yang sangat jarang dilihat oleh manusia. Jangan kau ambil satu pun darinya selain kandil besi yang menjadi tujuanmu. Segera setelah mendapatkannya, bawalah kemari.”
Abdullah pun masuk ke lubang harta itu; di sana dilihatnya begitu banyak permata berkilauan, piring-piring dari emas, harta karun yang demikian menakjubkan sehingga tak terkatakan sebab memang tak ada kata-kata yang bisa melukiskannya. Pemuda itu betul-betul terkesima. Tanpa pikir panjang dipenuhinya tangannya dengan benda paling gemerlap yang dilihatnya. Ia melupakan pesan sang darwis.
Dan kemudian dilihatnya kandil besi itu. Berpikir bahwa sebaiknya ia membawa kandil itu pada sang Darwis, dan bahwa ia dapat menyembunyikan cukup emas untuk dirinya sendiri di balik jubahnya, ia mengambil juga kandil itu, lalu mendaki kembali menuju permukiman bumi. Tetapi ketika ia keluar dari lubang, tiba-tiba didapatinya dirinya berada di dekat gubuk ibunya, dan sang darwis tak ada di situ.
Ketika ingin ditunjukkannya emas dan perhiasan yang diambilnya itu kepada ibunya, benda-benda tersebut seperti meleleh dan lenyap. Hanya sisa kandil besi itu. Abdullah memeriksanya. Kandil itu memiliki dua belas cabang, dan pada salah satunya ia nyalakan lilin. Tiba-tiba satu sosok menyerupai seorang darwis muncul. Hantu itu berputar sebentar, kemudian menaruh sekeping koin kecil di lantai dan menghilang kembali.
Abdullah pun menyulut dua belas lilin pada masing-masing cabang kandil. Dua belas darwis mewujud, bergerak seirama satu jam lamanya dan melemparinya dengan koin sebelum mereka lenyap pergi.
Ketika Abdullah dan ibunya telah pulih dari keheranannya, mereka menyadari bahwa mereka bisa hidup cukup baik dengan hasil dari kandil itu, sebab dari “tarian para darwis” mereka memperoleh dua belas keping perak setiap harinya. Namun tak lama berselang, Abdullah teringat pada kekayaan tak ternilai yang ditemukannya di gua bawah tanah, dan ia memutuskan untuk mencoba mendapatkan kesempatan untuk mengambil harta itu bagi dirinya sendiri.
Ia mencari dan mencari, tetapi belum juga menemukan tempat pintu masuk gua. Ia telah terobsesi untuk menjadi kaya. Maka, pergilah ia mengembara ke seluruh dunia hingga tiba di sebuah istana yang ternyata adalah kediaman darwis miskin yang waktu itu dilihat ibunya sedang terhuyung-huyung di dekat gubuk mereka.
Pencariannya ini sudah berlangsung berbulan-bulan, dan Abdullah bukan main senangnya ketika diantar ke depan sang darwis, yang didapatinya berpakaian layaknya seorang raja dan dikelilingi oleh sekumpulan pengikutnya.
“Sekarang,” kata darwis itu, “kau yang tak tahu berterima kasih! Akan kutunjukkan padamu untuk apa kandil ini.” Ia mengambil tongkat dan memukul kandil itu. Dari setiap cabangnya muncul harta berlimpah ruah, jauh melebihi yang dilihat anak muda itu di gua. Sang darwis pun memberikan emas, perak, dan permata kepada orang-orang berjasa, dan lihatlah, kandil itu sudah seperti semula, siap digunakan lagi.
“Enyahlah dari hadapanku,” kata darwis itu, “sebab kau tak bisa dipercaya untuk melakukan tugasmu dengan benar, dan sebab kau sudah mengkhianati kepercayaanku. Tetapi, sebagai balasan karena mengembalikan kandilku, bawalah bersamamu seekor onta dan sekantong emas.”
Abdullah bermalam di istana itu, dan paginya ia berhasil menaruh kandil itu di pelana onta. Segera setelah ia tiba di rumah, ia menyalakan lilin, dan dipukulnya kandil itu dengan tongkat.
Tetapi, ia tidak sepenuhnya memperhatikan cara memukul kandil itu; alih-alih memegang tongkat dengan tangan kanan, ia pakai tangan kiri. Kedua belas darwis tadi serta-merta muncul, merebut emas dan permata pemberian darwis agung, memelanai onta, merampas kandil, dan lenyap. Tinggallah Abdullah dalam keadaan lebih melarat dari pada sebelumnya, sebab ia kini dibebani oleh ingatan akan tindakannya yang bodoh dan tamak, serta betapa ia nyaris menjadi kaya.
Namun, tak ada lagi kesempatan lain baginya, dan pikirannya tak pernah lagi bisa tenteram.
Idries Shah dalam bukunya berjudul “Tales of The Dervishes” yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi “Harta Karun dari Timur Tengah – Kisah Bijak Para Sufi” menjelaskan kisah ini disampaikan di sebuah madrasah Sufi, sebagai suatu ‘latihan-pengembangan’ bagi para murid yang dianggap terlalu berpikir harafiah. Cerita ini mengacu dalam bentuk tersamar pada latihan-latihan tertentu bagi para darwis, dan hendak menunjukkan bahwa kerugian atau kesia-siaan mungkin saja menimpa mereka yang melakukan cara mistik tanpa sebelumnya bisa mengatasi kecenderungan-kecenderungan pribadi tertentu.