JAKARTAMU.COM | Suatu ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kehilangan pakaian perang yang menjadi kesayangannya. Lalu beliau dapatkan barang tersebut berada di tangan seorang kafir dzimmi (kafir yang dilindungi di negeri Islam) yang tengah berjualan di pasar Kufah. Begitu melihatnya, spontan Ali berkata: “Ini adalah milikku yang jatuh dari untaku pada malam anu di tempat anu.”
Hanya saja, si kafir mengelak dan berkata, “Ini adalah barangku dan berada di tanganku wahai amirul mukminin!”
“Ini milikku, aku tak merasa pernah menjualnya kepada orang lain atau memberikannya hingga sampai berada di tanganmu,” balas Ali bin Abu Thalib.
“Kalau begitu kita datang kepada qadhi!” tantang si Kafir.
“Engkau adil, mari kita ke sana!” sambut Khalifah Ali.
Maka pergilah keduanya menuju qadhi Syuraih bin al-Harits. Qadhi sangat terkenal karena sebelum menjadi qadhi sempat mengalahkan Khalifah Umar bin Kattab dalam sengketa masalah kuda dengan orang kampung.
Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dalam “Mereka adalah Para Tabiin” menyebutkan setelah Khalifah Ali dan rivalnya ini masuk dan duduk dalam sidangnya, bertanyalah qadhi Syuraih, “Apa tuduhanmu wahai amirul mukminin?”
“Kudapati barangku berada di tangan orang ini. Barang itu jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu, lalu sampai di tangan orang ini, padahal aku tidak menjual kepadanya tidak pula kuberikan sebagai hadiah,” ujar Khalifah Ali.
“Bagaimana jawaban Anda?” Tanya Syuraih kepada si Kafir Dzimmi.
“Barang ini milikku, dia ada di tanganku. Tapi aku tidak menuduh amirul mukminin berdusta,” balasnya.
“Aku tidak meragukan kejujuran Anda wahai amirul mukminin, bahwa barang ini milikmu. Tetapi harus ada dua orang saksi yang membuktikan kebenaran tuduhanmu,” ujar Syuraih kepada Khalifah Ali kemudian.
“Baik, aku punya dua orang saksi, pembantuku Qanbar dan putraku Hasan,” jawab Khalifah.
“Tetapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku wahai amirul mukminin,” ujar Syuraih mengingatkan.
“Subhanallah, seorang ahli surga ditolak kesaksiannya? Apakah Anda tak pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Hasan dan Husein adalah pemuka para pemuda penduduk surga?” balas Khalifah Ali.
“Aku mengetahui itu wahai amirul mukminin, hanya saja kesaksian anak untuk ayahnya tidak berlaku,” jawab Syuraih kekeuh.
Mendengar jawaban itu, Ali menoleh kepada si kafir dzimmi dan berkata, “Ambillah barang itu, sebab aku tak punya saksi lagi selain keduanya.”
“Aku bersaksi bahwa barang itu adalah milik Anda wahai amirul mukminin. Ya Allah, amirul mukminin menghadapkan aku kepada seorang hakimnya, dan hakimnya memenangkan aku. Aku bersaksi bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” ujar si dzimmi langsung masuk Islam.
“Wahai qadhi, ketahuilah bahwa barang ini adalah milik amirul mukminin, waktu itu aku mengikuti pasukannya ketika menuju ke Shiffin. Pakaian ini jatuh dari onta, lalu aku mengambilnya,” lanjutnya.
Berkatalah Ali kepada si dzimmi: “Karena kini Anda telah menjadi muslim, maka aku hadiahkan pakaian ini untukmu, dan aku hadiahkan kuda ini untukmu juga.”
Tak lama setelah peristiwa itu, tampak orang itu turut memerangi golongan Khawarij di bawah panji Ali radhiyallahu ‘anhu pada hari an-Nahwaran. Ia bertempur dengan penuh semangat hingga mendapati rezeki syahid.
Pada awalnya, Syuraih bin al-Harits diangkat Khalifah Umar bin Khattab sebagai qadhi di Kufah. Beliau termasuk dalam bilangan ulama yang terhormat dan utama, diperhitungkan dalam tingkat kecerdasan, kebagusan perilaku, banyaknya pengalaman, dan kedalaman wawasannya.
Syuraih bin al-Harits lahir di Yaman kota al-Kindi, hidup lama dalam masa jahiliyah. Ketika cahaya hidayah datang di jazirah Arab memancarkan sinar Islamnya sampai ke Yaman, Syuraih termasuk orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, turut menyambut dakwah menuju hidayah dan kebenaran.
Siapa pun yang mengetahui keutamaan dan keistimewaan pribadinya berandai sekiranya Syuraih lebih cepat sampai ke Madinah dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat, tentu beliau bisa menggali ilmu dari sumbernya secara langsung tanpa perantara. Beliau bisa mendapat bagian kehormatan sebagai sahabat setelah mendapatkan hidayah itu, hanya saja apa yang telah ditakdirkan untuknya telah terjadi.
Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun secara berturut-turut sejak masa Khalifah Umar bin Khathab, lalu Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Mu’awiyah dari Bani Umayyah. Hingga akhirnya beliau mengundurkan diri pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak.
Beliau telah berumur 107 tahun. Hidupnya penuh dengan peritiwa dan pujian. Pengadilan Islam bersinar karena keindahan keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak dengan indahnya kepatuhan dari kaum muslimin maupun nonmuslim. Itu semua karena ditegakkannya syariat-syariat Allah oleh Syuraih, juga berkat kerelaan semua orang untuk menerima keputusannya.
Kecewakan Anak
Bukti akan ketegasan Syuraih tampak di saat putranya berkata, “Wahai ayah, aku sedang memiliki masalah dengan suatu kaum. Aku berharap ayah mempertimbangkannya. Jika kebenaran ada dipihakku, maka putuskanlah di pengadilan, tetapi jika kebenaran ada di pihak mereka, maka usahakanlah jalan damai.”
Lalu sang anak pun menceritakan semua masalahnya. Syuraih berkata, “Ajukanlah masalahmu ke pengadilan!”
Kemudian putra Syuraih mendatangi orang yang berselisih dengannya dan mengajak mereka untuk memperkarakan masalah antara mereka ke pengadilan dan mereka pun setuju. Begitu menghadap Syuraih, ternyata kemenangan tidak berada di pihak putranya.
Sesampainya Syuraih dan putranya di rumah, putranya berkata, “Wahai ayah, keputusanmu telah membuatku malu. Demi Allah, kalau saja sebelumnya aku tidak bermusyawarah denganmu, tentulah aku tidak menyalahkanmu.”
Syuraih berkata, “Wahai putraku, demi Allah aku mencintaimu lebih dari dunia dan seisinya. Tetapi, bagiku Allah lebih agung dari itu semua dan dari dirimu. Aku khawatir jika aku beritahukan terlebih dahulu bahwa kebenaran berada di pihak mereka, maka engkau akan mencari jalan damai dan itu merugikan sebagian hak mereka. Oleh sebab itu, aku putuskan perkara seperti yang kau dengar tadi.”
Suatu ketika, salah satu putra Syuraih telah memberikan jaminan kepada seseorang dan jaminannya diterima. Tapi ternyata orang yang dijamin tersebut melarikan diri dari pengadilan. Tanpa pandang bulu Syuraih memenjarakan putranya, karena dialah yang menjadi jaminannya. Lalu beliau menjenguk dan membawakan makanan untuk putranya ke penjara setiap harinya.
Terkadang keraguan Syuraih muncul ketika mendengar kesaksian sebagian saksi, tapi dia tidak bisa menolak kesaksian mereka karena memenuhi semua syarat pengadilan.
Bila menghadapi hal yang demikian, maka sebelum orang-orang itu bersaksi Syuraih berkata kepada mereka, “Dengarkanlah, semoga Allah memberi hidayah kepada kalian. Pada hakikatnya yang menghukum orang ini adalah kalian, sesungguhnya aku takut jika kalian masuk neraka karena bersaksi palsu, sedangkan kalian tentunya lebih layak untuk takut. Sekarang masih ada waktu untuk berpikir kembali sebelum kalian memberikan kesaksian.”
Ketika mereka tetap dengan pendiriannya, maka Syuraih menoleh kepada si tertuduh dan berkata, “Ketahuilah saudara, bahwa aku menghukum Anda atas dasar kesaksian mereka. Andai saja kulihat engkau ini zalim sekalipun, aku tidak akan menghukum atas dasar tuduhan, melainkan atas dasar kesaksian. Keputusanku tidaklah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atasmu.”
Motto yang selalu diulang-ulang oleh Syuraih di sidang pengadilan adalah:
Kelak yang zalim akan tahu kerugian di pihak siapa
Yang zalim menanti siksa
Yang dizalimin menunggu keadilan
Aku bersumpah atas nama Allah bahwa setiap orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya aku merasa kehilangan dia.
Abdurrahman Ra’fat Basya menilai Syuraih tidak hanya mampu mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul, dan kitab-Nya saja, namun juga nasihat bagi seluruh kaum muslimin secara umum maupun yang khusus (pemimpin mereka).
Nasihat Syuraih
Salah seorang sahabatnya bercerita, “Suatu kali, Syuraih mendengar keluhanku kepada seorang teman. Kemudian beliau mengajakku ke suatu tempat lalu berkata, “Wahai putra saudaraku.. janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah.. karena sesungguhnya barangsiapa yang mengeluh kepada selain Allah berarti dia mengeluhkannya kepada teman atau kepada musuh. Jika mengeluh kepada teman berarti kamu telah membuat temanmu bertambah sedih.. dan jika kau keluhkan terhadap musuh (orang yang membencimu) niscaya dia akan meledekmu.”
Kemudian beliau berkata, ‘Lihatlah sebelah mataku ini, demi Allah aku tidak bisa melihat orang ataupun jalan dengannya selama lebih dari 15 tahun, tapi aku tidak pernah memberitahukannya kepada siapapun kecuali engkau sekarang ini. Tidakkah Anda mendengar ucapan hamba Allah yang shalih:
“Aku hanya mengeluhkan segala kesedihan dan keresahanku kepada Allah.” (QS. Yusuf: 86)
Maka jadikanlah Allah sebagai tempat pengaduanmu dan mencurahkan keresahanmu setiap kali musibah menimpa dirimu, sebab Dia Maha Pemurah dan sangat dekat.”
Pernah beliau melihat seseorang minta sesuatu kepada orang lain, maka beliau berkata, “Wahai putra saudaraku, barangsiapa meminta kepada orang lain untuk suatu hajat, maka dia menyiapkan dirinya untuk diperbudak. Bila diberi, maka dia dibeli, bila ditolak, keduanya menjadi hina. Yang satu karena kikirnya, yang satu karena ditolak. Ketahuilah bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah, tidak ada pertolongan kecuali dari Allah.
Telah terjadi wabah tha’un di Kufah, lalu salah seorang teman Syuraih mengungsi ke Najaf untuk menghindari wabah. Syuraih menulis surat kepadanya:
“Amma ba’du, sesungguhnya bahwa tempat yang engkau lari dari padanya tidak akan mendekatkan ajalmu dan merampas hari-harimu. Dan tempat di mana kamu tinggal sekarang juga berada di tangan dan genggaman yang tak bisa dihindari oleh orang yang lari, tak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Kami dan kalian berada dalam satu atap dan kekuasaan satu Raja, sedangkan Najaf adalah sangat dekat bagi Yang Maha Mampu dan Maha Kuasa.”
Di samping segala kelebihan tersebut, Syuraih juga termasuk orang yang lembut perasaannya, mudah tersentuh hatinya, menyenangkan tatkala bergaul dan periang. Ada suatu riwayat yang menceritakan bahwa beliau memiliki anak kecil berusia 10 tahun. Anak itu senang bermain-main. Suatu hari dia meninggalkan pelajarannya untuk pergi melihat anjing.
Begitu pulang, bertanyalah sang ayah: “Sudah salatkah engkau?” “Belum,” jawabnya.
Dia tinggalkan salat karena anjing yang sedang berkejaran dengan betinanya, maka dia akan datang esok kepada Anda dengan lembaran tercatat sebagai tertuduh. Bila datang kepadamu, obatilah dengan teguran atau ingatkan ia dengan nasihat yang tepat. Bila harus dicambuk pakailah rotan, setelah hitungan ketiga hentikanlah.