Sabtu, Desember 28, 2024
No menu items!

Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang Zuhud, Menyamai Khulafah Rasyidin

Derajat keadilan dan kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz selama memimpin dianggap menyamai para Khulafah Rasyidin.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan naik menjadi khalifah pada Dinasti Umayyah menggantikan kakaknya, Al Walid bin Abdul Malik pada tahun 96 H.

Dalam buku The History of al-Tabari dikisahkan bahwa ketika menjelang wafatnya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan sempat mempertimbangkan untuk mengangkat putranya yang masih kecil sebagai khalifah untuk menggantikannya. Ia bertanya tentang perkara ini pada penasihatnya bernama Raja’ bin Haywah, dan Raja’ tidak sependapat dengan usulan tersebut.

Kemudian Sulaiman bertanya lagi, “bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?” – putranya yang saat itu sedang mengemban misi melakukan ekspedisi militer ke Kontantinopel. Raja’ juga tidak sepakat, karena tidak ada yang tahu nasibnya, apakah ketika itu Dawud masih hidup ataukah sudah mati.

Akhirnya Sulaiman meminta pendapat Raja’ tentang Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Raja’ mengatakan bahwa Umar adalah sosok yang sangat tepat. Tapi Sulaiman sempat ragu, karena Umar bukan berasal dari keturunan Abdul Malik.

Dikhawatirkan keputusan tersebut akan menuai protes dari keluarga Abdul Malik, mengingat saat itu masih ada putra Abdul Malik lainnya, yaitu Hisham bin Abdul Malik dan Yazid bin Abdul Malik. Kedua-duanya sedang harap-harap cemas menunggu giliran menduduki kursi khalifah dinasti Umayyah.

Akhirnya Sulaiman membuat trik yang cukup terkenal dalam sejarah. Ia menulis dua buah nama yang ditulis masing-masing dalam amplop yang tertutup rapat.

Di hadapan keluarga besar Bani Umayyah ia menyerahkan surat tersebut pada Raja’ bin Haywah. Ia mengatakan bahwa di dalam amplop tersebut terdapat nama-nama orang yang akan menjadi khalifah menggantikannya.

Ia meminta sumpah dari mereka semua untuk mematuhi nama siapa pun yang keluar dari amplop tersebut. Menentang perintah ini bisa diartikan sebagai pengkhianatan, dan itu berarti kematian bagi pelakunya. Akhirnya semua mematuhi dan mengaku setia pada semua keputusan yang sudah ditetapkan oleh khalifah Sulaiman.

Namun menurut pengakuan Raja’, tak lama berselang datanglah Hisham bin Abdul Malik kepadanya dan berkata, “tolong beritahu padaku isi surat tersebut, aku khawatir khalifah memasukkan namaku di dalamnya. Sehingga aku bisa membuat perencanaan matang sebelumnya”.

Raja’ menjawab bahwa ia tidak mengetahui apa pun tentang isi surat tersebut, dan ia tidak berani membukanya. Setelah itu Hisham berlalu.

Kemudian datanglah Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, “izinkan aku mengetahui isi surat tersebut, aku khawatir namaku ada di dalamnya, biar aku bisa mengelak dari keputusan tersebut sebelum terlambat.”

Jawaban Raja’ sama dengan jawabannya pada Hisham. Dan Umarpun berlalu. Keduanya, baik Hisham maupun Umar ingin mengetahui isi surat tersebut, tapi dengan dua motif yang berbeda. Yang satu berharap menjadi khalifah, sedang yang satunya ingin menghindar dari tanggung jawab tersebut.

Pada hari Jumat, bulan Safar 99 H, Sulaiman bin Abdul Malik wafat. Tepat seminggu sebelumnya ia sibuk memilih-milih pakaian. Berbagai jenis jubah ia kenakan namun tak ada yang memuaskan hatinya. Hingga ia melihat sebuah jubah hijau yang dikirimkan oleh Yazid bin Muhallab dari Irak, dan mengenakannya.

Ia begitu senang setelah mengenakannya. Ketika itu ia segera menghadap ke cermin dan mulai mengagumi dirinya dengan berkata, “Demi Tuhan, aku adalah raja di puncak kejantannya”.

Setelah itu ia melaksanakan salat Jumat. Sepulangnya dari salat, ia langsung jatuh sakit, dan seminggu kemudian meninggal dunia.

Ketika menjelang wafat, ia hanya didamping oleh Raja’ bin Haywah. Raja’ menuntunnya mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian menyelimutinya dengan jubah hijau kesayangannya.

Raja’ masih merahasiakan tentang berita kematian Sulaiman pada semua orang, termasuk istri khalifah, sampai ia mengumpulkan semua keluarga besar bani Umayyah.

Setelah semua berkumpul, dia lalu meminta sumpah sekali lagi dari semua yang hadir agar mematuhi nama siapa pun yang keluar dari surat wasiat khalifah. Sebagian ada yang menolak, namun Raja’ tetap bersikeras agar semua yang hadir mengucapkan kembali sumpah setia mereka, dan akhirnya semua kembali bersumpah setia.

Setelah yakin dengan sumpah yang mereka ucapkan, Raja’ mulai mengabarkan, bahwa saat ini khalifah Sulaiman sudah wafat, dan ia mulai membacakan isi surat wasiat Sulaiman,

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Ini adalah surat dari hamba Allah, Sulaiman pemimpin kaum Muslimin, kepada Umar bin Abdul Aziz. Aku sudah menunjuk anda sebagai penggantiku untuk menjadi khalifah, dan anda akan digantikan oleh Yazid bin Abdul Malik. Wahai manusia, dengarkanlah dia dan patuhilah; takutlah pada Allah dan hindari perselisihan, agar musuh tidak mengambil keuntungan dari kalian.”

Mendengar ini, secara bersamaan Umar bin Abdul Aziz dan Hisham bin Abdul Malik mengucapkan, “Innalillahi wa innailaihi rajiun”. Satu ucapan yang sama, tapi dengan dua alasan yang berbeda.

Menyamai Khalifaur Rasyidin

Surat wasiat Sulaiman demikian mengikat. Yang menolaknya berarti mati. Hisham bin Abdul Malik – ketika mendengar nama Umar yang muncul – berkata, bahwa ia tidak akan mematuhi Umar sebagai khalifah.

Mendengar ini, Raja’ langsung menjawab, “kalau begitu, aku akan memenggal lehermu!”. Dan Hisham langsung terdiam. Ketika berada di atas mimbar, Umar meminta Hisham sebagai orang yang pertama kali membai’atnya, dan Hisham pun datang membai’atnya, kemudian diikuti oleh seluruh yang hadir.

Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan Bin Hakam bin Abul Ash bin Umayyah. Ibunya adalah cicit dari Umar bin Khattab . Kisah tentang nasab Umar bin Abdul Aziz dari pihak ibunya sangat terkenal di kalangan kaum Muslimin.

Alkisah, pada suatu malam, Umar bin Khattab sedang melakukan inspeksi di sekitar wilayah kekuasaannya. Kemudian di sebuah rumah seorang penjual susu yang miskin ia mendengar sebuah dialog antara ibu dan anak perempuannya. Kata sang ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”.

Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”.

Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.

Si anak membalas, “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.

Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini seorang pemimpin hebat yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang akhirnya melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

Terkait tempat kelahirannya, ada yang mengatakan di Mesir (ketika ayahnya menjabat sebagai gubernur), ada juga yang mengatakan di Madinah. Tapi semua sepakat bahwa Umar tumbuh besar di Madinah.

Umar bin Abdul Aziz akhirnya menjadi khalifah Dinasti Umayyah yang kedelapan. Ia didaulat menjadi khalifah pada bulan Safar 99 H, di Dabiq, salah satu tempat di Suriah. Derajat keadilan dan kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz selama memimpin dianggap menyamai para Khulafah Rasyidin. Itu sebabnya dia kerap dianggap sebagai Khulafah Rasyidin kelima.

Kenakan Pakaian Murah

Berbeda dengan banyak khalifah dinasti Umayyah lainnya, Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang tumbuh di bawah asuhan ilmu. Ia bertemu dengan beberapa tokoh dari golongan para tabi’in yang masih hidup dan belajar langsung dari mereka.

Tidak hanya dikenal sebagai ahli dalam berbagai macam pengetahuan agama, Umar juga terkenal akan kesalehannya. Dari seluruh deretan daftar khalifah bani Umayyah, Umar memang jenis berbeda. Sehingga pada saat ini menduduki tahta, semua orang seperti terkesima dengan apa yang terjadi.

Segera setelah dinobatkan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung melepaskan semua pakaian-pakaian mahalnya, dan menggantinya dengan pakaian murah. Kepada istrinya ia memerintahkan untuk melepaskan semua perhiasannya dan meletakkan di baitul mal.

Ketika Umar selesai memimpin upacara pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik, anak buahnya langsung bergegas mempersilakan dirinya menggunakan kereta kencana yang merupakan kendaraan resmi khalifah. Tapi Umar menolaknya, dan memilih menunggangi keledai miliknya.

Ketika anak buahnya memintanya untuk menempati istana Damaskus, ia menolak, “di sana masih ada Ayyub bin Sulaiman dan keluarganya. Aku tidak akan menempatinya selama mereka masih ada di sana”. Umar pun memilih tinggal di tendanya.

Ath-Tabari menulis, tatkala Abdul Aziz bin Al Walid – sosok yang sedianya digadang-gadang menggantikan Al Walid, tapi rencana tersebut gagal dan Sulaiman akhirnya naik tahta – begitu mendengar berita wafatnya Sulaiman langsung bergegas menuju Damaskus.

Dia tidak mengetahui bahwa Umar bin Abdul Aziz yang ternyata naik menggantikan Sulaiman menjadi khalifah. Ia datang bersama pasukannya. Di Damaskus ia diterima oleh Umar dengan tangan terbuka. Umar lalu berkata padanya, bahwa ia tidak menginginkan kekuasaan ini. Kalau Abdul Aziz ingin mengambilnya, maka ia tidak akan menghalangi jalannya.

Umar lebih memilih menghindar, dan pulang ke rumahnya. Tapi mendengar penyataan Umar ini, Abdul Aziz malah berkata, “Tidak ada orang selain mu yang aku harapkan mengisi kekuasaan ini.”

Akbar Shah Najeebabadi dalam The History Of Islam memaparkan seperti terjadi revolusi, begitu Umar menjabat, semua kebijakan dari pusat kekuasaan Dinasti Umayyah berubah dan berbanding terbalik dengan sebelumnya.

Beberapa gubernur yang dianggapnya curang atau korup segera ia berhentikan. Termasuk apabila kecurangan itu terjadi pada kelompok non-Muslim, seperti yang terjadi di beberapa kawasan di Eropa.

Umar merombak banyak hal, termasuk permusuhan bani Umayyah terhadap Ahl Bait Rasulullah SAW. Salah satu contohnya adalah tradisi bani Umayyah yang mengharuskan para khatib mencaci maki Ali bin Abi Thalib ketika khotbah Shalat Jumat, Umar melarang kebiasaan buruk tersebut.

Tanah Fadak yang semula dieksploitasi oleh Bani Umayyah dikembalikan kepada Bani Hasyim sebagai hak atas Sayidah Fatimah binti Rasulullah SAW.

Tanah Fadak adalah tanah milik Rasulullah SAW yang beliau berikan kepada Sayidah Fatimah Az Zahra. Tanah ini kemudian dikelola, dan berdasarkan perintah Nabi SAW, hasilnya diberikan kepada kaum yang membutuhkan dari kalangan Bani Hasyim dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Ketika masa Dinasti Umayyah, tanah ini diambil oleh Marwan bin Hakam, dan Bani Hasyim tidak lagi mendapatkan bagiannya.

Menurut Akbar Shah Najeebabadi, rangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh Umar ini secara perlahan membuat gerah berbagai kelompok di kalangan bani Umayyah. Puncaknya adalah ketika Umar mencabut semua hak istimewa bani Umayyah atas masyarakat lainnya.

Harta-harta yang mereka kumpulkan selama ini dengan cara yang bathil dirampas dan dikembalikan ke baitul mal. Demikian juga dengan tanah dan jabatan yang mereka miliki. Semua diatur ulang secara proporsional.

Hal ini menuai protes dari banyak kalangan keluarga Umayyah yang selama bertahun-tahun mengenyam kemewahan sebagai ningrat kelas wahid di kalangan kaum Muslimin. Hingga akhirnya kesabaran mereka habis, dan mereka berkonspirasi untuk membunuh Khulafah Rasyidin kelima ini.

Membunuh Umar bin Abdul Aziz sebenarnya bukan perkara yang sulit. Ia tidak memiliki sistem pengawalan yang ketat. Ia berjalan-jalan sendiri di pasar dan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada satu mekanisme pengamanan khusus saat ia makan dan minum. Tapi pembunuhan ini harus terlaksana dengan mulus, tanpa melahirkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Akhirnya mereka milih metode membunuh Umar dengan cara diracun. Mereka memanggil budak Umar yang bernama Alas, dan berhasil mempengaruhinya untuk menaruh racun pada makanan Umar. Rencana itupun berhasil.

Ketika Umar menyadari bahwa dirinya sudah diberi racun oleh budaknya sendiri, Umar memanggil budaknya, dan berkata, “Alas, kau sudah meracuniku. Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?”

Alas menjawab, “Mereka menghadiahiku 1000 dinar dan menjanjikan kebebasan padaku.”

Lalu Umar memerintahkan agar uang tersebut dibawa kepadanya. Dan setelah Alas menyerahkan uang tersebut, Umar memerintahkan agar uang tersebut dimasukkan dalam baitul mal, kemudian dia memerintahkan agar Alas segera pergi sebagai orang yang merdeka.

Umar bin Abdul Aziz akhirnya wafat pada 25 Rajab 101 H, setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan. Meski sebentar, tapi ia telah berhasil memberikan secercah harapan bahwa keadilan masih mungkin untuk ditegakkan di dunia Islam.

Malang bagi Dinasti Umayyah, langkah-langkah progresif dan positif yang sudah dirintis oleh Umar bin Abdul Aziz tidak dilanjutkan. Sebaliknya, semua peninggalannya langsung berubah seketika setelah beliau wafat dan Yazid bin Abdul Malik naik tahta. Sejarah mencatat, sejak itu Dinasti Umayyah mulai menghitung mundur saat-saat kepunahannya.

Wisuda Uhamka 2024, 3.394 Lulusan Unggul Siap Mengabdi

JAKARTAMU.COM | Sebanyak 3.394 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) mengikuti prosesi Wisuda 2024 yang diselenggarakan di Jakarta...

More Articles Like This