Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

Kisah Kian Banyak Non-Muslim Ikut Puasa: Refleksi dan Spiritualitas

Semakin banyak non-Muslim yang menjalankan puasa selama bulan suci sebagai bentuk disiplin diri dan penghormatan budaya.

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | “Tidak seorang pun di keluarga saya tahu saya berpuasa pada hari itu,” tutur Raveena Kumari, seorang wanita Hindu yang tumbuh di Pakistan, saat ia berbagi cerita pribadinya tentang tradisi Islam roza (puasa).

Saat Ramadan, umat Islam dengan penuh semangat memulai perjalanan suci tahunannya untuk berpuasa, berbakti, membersihkan diri, dan mendisiplinkan diri.

Dari fajar hingga senja, mereka secara taat berpuasa dari semua makanan dan minuman — bahkan setetes air dan juga merokok — dan dari semua tindakan yang dilarang oleh ajaran Islam saat mereka merayakan waktu spiritual untuk beribadah dan merenung ini. Puasa dimulai dengan sahur, makan sebelum fajar, dan diakhiri dengan berbuka, makan malam yang menandai berakhirnya puasa.

Anehnya, semakin banyak non-Muslim yang menjalankan puasa Ramadan, bukan sebagai kewajiban agama, tetapi sebagai bentuk solidaritas dan pantangan. Entah bagaimana, puasa Ramadan telah menjadi tren daring dengan pengguna TikTok dan YouTube yang mendokumentasikan pengalaman mereka.

Namun, di negara-negara mayoritas Muslim, puasa yang dilakukan non-Muslim bukan sekadar tren internet tetapi juga tanda penghormatan dan pertukaran budaya.

“Sejujurnya, tumbuh besar bersama teman-teman Muslim, saya lebih tahu tentang Islam daripada agama saya sendiri’

Kumari, lulusan MBBS, mengungkapkan bahwa tumbuh di negara dengan mayoritas Muslim memengaruhi keputusannya untuk berpuasa di bulan Ramadan.

“Sejujurnya, tumbuh besar bersama teman-teman Muslim, saya lebih tahu tentang Islam daripada agama saya sendiri,” candanya, saat berbicara dengan Geo.tv. “Saya pikir ini sedikit banyak memengaruhi saya untuk berpuasa selama Ramadan.”

Psikolog menyarankan bahwa lingkungan kita — termasuk orang-orang, budaya, dan lingkungan sekitar — memainkan peran penting dalam membentuk persepsi, nilai, dan keyakinan kita.

Psikolog klinis Shamyle Rizwan Khan menjelaskan bahwa manusia diciptakan untuk bertahan hidup dan bersosialisasi.

“Meskipun kedua kebutuhan primer ini dapat saling bertentangan dan dapat menghadirkan pengalaman paling menantang dalam hidup seseorang seperti tekanan sosial, penindasan sistemik, dan pelecehan dalam hubungan — ketika kebutuhan yang sama terpenuhi, hal tersebut meningkatkan fungsi tubuh yang sehat dan memacu kinerja kita di semua aspek kehidupan,” imbuhnya.

Shamyle juga menekankan bahwa manusia secara alami mencari “kelompok referensi” yang sejalan dengan nilai-nilai mereka, menjelaskan bahwa “persepsi tentang siapa mereka dan di mana mereka berada” menentukan kesejahteraan kita.

Bagi Raveena, lingkungannya yang mayoritas Muslim menjadi titik acuan, dan puasa menjadi pengalaman yang akrab dan penting di luar kewajiban agama.

Merahasiakan dari Keluarga

Mengenang pengalamannya saat pertama kali berpuasa tahun 2018, ia mengaku merahasiakannya, bahkan dari keluarga dan sahabat se-komunitasnya.

Ia berterima kasih kepada salah seorang sahabat Muslimnya yang telah menunjukkan jalan kepadanya saat Sahur dan Berbuka, dan mengingat ucapannya: “Semua itu tergantung niatmu.”

Bagi Kumari, puasa mendatangkan rasa syukur, kedamaian, dan ketenangan. Ia berkata, “Puasa mendatangkan kedamaian, rasa syukur, dan keharmonisan dalam diriku yang selalu melegakan jiwaku.”

Bahkan pada hari-hari tidak berpuasa, dia lebih suka memberi penghormatan kepada teman-teman Muslimnya dengan tidak makan atau minum di depan mereka sepanjang hari, yang menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi.

Dan tindakan menunjukkan rasa hormat ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh banyak non-Muslim selama bulan Ramadan.

Cara Menghormati Orang yang Puasa

Abana Sobel, seorang anggota komunitas Kristen, memiliki perspektif serupa. “Setiap kali saya keluar bersama rekan kerja atau teman Muslim saya yang sedang berpuasa, saya tidak pernah makan atau minum di depan mereka karena rasa hormat,” ungkapnya.

Dia mencatat, “Meskipun mereka tidak pernah mengharapkan atau meminta saya melakukan ini, itu adalah sesuatu yang diajarkan di rumah saya.”

Abana juga memiliki tradisi keluarga yang dijunjung tinggi, yakni mengadakan buka puasa bersama bagi teman-teman dan tetangga Muslim setiap bulan Ramadan. “Itu cara kami menunjukkan dukungan dan rasa hormat. Kami memastikan untuk memasak sesuatu yang lezat dan mengirimkannya kepada tetangga untuk berbuka puasa atau mengadakannya di rumah kami, meskipun kami tidak berpuasa,” jelasnya.

Namun, Ramadan lebih dari sekadar bulan puasa. Ramadan adalah masa untuk introspeksi, meningkatkan ketaatan, dan memfokuskan kembali iman seseorang melalui doa, pembacaan Al-Quran, dan ibadah.

Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menyucikan jiwa, melatih kesabaran, dan menumbuhkan rasa syukur. Selama bulan ini, umat Islam juga diingatkan untuk bersedekah (zakat) dan berbelas kasih. Puasa berfungsi sebagai pengingat akan perjuangan orang-orang yang kurang beruntung.

Dr Ajay Kumar Puasa Sejak 6 Tahun Lalu

Dr. Ajay Kumar telah berpuasa selama enam tahun. Ia mengungkapkan bagaimana puasa telah membantunya tumbuh sebagai pribadi.

Menyebutnya sebagai semacam detoks tahunan, Ajay berkata, “Saya merasa lebih mampu mengendalikan hidup saya. Saat berpuasa, saya tahu saya harus mengendalikan amarah dan emosi saya, menjadi lebih sabar, dan bersikap lebih baik.”

“Ini juga saatnya saya membantu mereka yang membutuhkan,” imbuhnya. “Maksud saya, kita harus membantu orang lain dan bersedekah sepanjang tahun, tetapi selama bulan Ramadan, hal itu terasa lebih bermakna.”

Sementara Raveena merahasiakan pengalamannya untuk menghindari pengawasan, Ajay di sisi lain, harus menghadapi tantangan karena terbuka tentang hal itu.

Meski ada beberapa reaksi, ia tetap tidak terpengaruh, dan berkata: “Kalau soal agama, saya punya keyakinan sendiri. Saya tidak membiarkan pendapat orang lain memengaruhi saya. Itu tidak masalah.”

Ajay menambahkan, “Puasa di bulan Ramadan adalah tentang niat saya — puasa memperkuat hubungan saya dengan Tuhan saya sendiri. Saya berpuasa untuk mendapatkan pahala dan karena rasa hormat terhadap Islam.”

Seperti yang disoroti oleh Shamyle, “lingkungan, termasuk orang-orang dan budaya, memiliki pengaruh kuat dalam membentuk tidak hanya cara kita berpikir dan berperilaku, tetapi juga struktur genetik kita yang mengkodekan kekuatan dan kerentanan kita”.

Kisah-kisah seperti yang dialami Raveena dan Dr. Ajay bukan sekadar pilihan pribadi. Kisah-kisah tersebut mencerminkan tumbuhnya rasa saling pengertian yang menciptakan kedamaian dan keharmonisan di antara masyarakat.

spot_img

Konspirasi Yahudi: Kisah Lahirnya Koran yang Menyuarakan Gerakan Komunisme internasional

JAKARTAMU.COM | Swiss adalah tempat pelarian para tokoh revolusioner Rusia. Lenin atau Vladimir Olianov adalah salah satunya. Di negeri...

More Articles Like This