Kamis, Januari 30, 2025
No menu items!

Kisah Mengharukan Azan Terakhir Bilal bin Rabah atas Permintaan Hasan dan Husain

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Bilal bin Rabah meninggalkan Madinah dan menghabiskan sisa hidupnya di Suriah. Ia tak lagi mengumandangkan azan, sampai suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab berkunjung ke Suriah.

Pada kesempatan tersebut orang-orang meminta khalifah agar meminta Bilal Azan untuk satu salat saja.

Banyak pihak menyebut itu adalah Azan terakhir Bilal bin Rabah. Namun ada versi lainnya yang menceritakan Azan paripurna Bilal itu yang lebih mengharukan.

Kisahnya begini: Pada suatu malam yang istimewa di Suriah, Bilal sedang tertidur lelap. Malam itu, dia bermimpi didatangi Rasulullah SAW. Dan satu pertanyaan tertuju padanya, “Wahai Bilal, mengapa engkau tak pernah mengunjungiku?”

Sontak, Bilal terperanjat. Jantungnya berdebar. Dia terbangun, lalu dengan sigap ia bersiap-siap untuk menempuh perjalanan ke Madinah.

Sesampainya di sana, dia berziarah di makam Nabi Muhammad SAW. Di Kota Madinah yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW, Bilal menangis tersedu menumpahkan rasa rindu.

Rindu kepada Sang Nabi SAW yang telah menunjuknya menjadi muazin. Saat air mata membasahi pipinya, tiba-tiba datanglah dua orang pemuda berjalan mendekat. Mereka adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain.

Dengan mata sembab Bilal menatap keduanya. Dia bergerak mendekat, memeluk kedua cucu Nabi SAW itu. Salah seorang dari mereka bicara, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan azan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami, paman.”

Bilal bin Rabah RA yang sudah semakin tua, hatinya luluh, tak kuasa untuk tidak memenuhi permohonan orang-orang yang lama jauh darinya.

Dia pun memenuhi permintaan mereka. Ketika waktu salat telah tiba, dengan pijakkan kaki yang teguh, Bilal menaiki tangga ke tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan Azan.

Ia menarik nafas dalam, memulai suaranya. Lantunan kumandang Azan pun menyapa pendengaran banyak orang. “Allahuakbar Allahuakbar….”

Bilal memulai Adzan, Kota Madinah tiba-tiba saja menjadi senyap. Penduduk Madinah terkejut. Suara yang telah hilang selama bertahun-tahun terdengar lagi.

Ketika sampai pada kalimat, “Asyhadu an laa ilaha illallah….” orang-orang berlari dari segala penjuru menuju sumber suara itu.

“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…. ” sedu-sedan tangis penduduk Madinah menggema, air mata mereka membanjir. Luapan rindu yang dalam kepada Sang Utusan, Muhammad SAW tak terbendung sudah. Mereka menangis. Terkenanglah masa-masa saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah mereka.

Bilal sendiri yang tengah azan pun tercekat, dia tidak sanggup meneruskannya. Air matanya berderai-derai di pipi. Hari itu, Madinah berluapan rasa rindu nan syahdu. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Muhammad SAW.

Lantunan azan Bilal bin Rabah-lah yang memulainya, yang memantiknya menjadi nyala cahaya. Itulah Azan terakhir dalam usia senja sang muazin pertama dunia. Azan yang tak pernah dia bisa tuntaskan karena terlalu sedih.

Dialog Menjelang Ajal

Menjelang ajalnya di Suriah, Bilal terbaring di atas tempat tidur, sementara istrinya duduk di sampingnya seraya berkata, “Sungguh menyedihkan musibah yang kualami!”

Bilal menjawab, “Justru inilah saat kebahagiaan dan kesenangan. Tahukah engkau bahwa kematian merupakan sesuatu yang membahagiakan?”

Istrinya berkata, “Saat perpisahan telah tiba.”

Bilal mengatakan: “Saat perjumpaan telah datang.”

Istrinya berkata: “Malam ini engkau akan pergi ke laut orang-orang asing.”

Bilal mengatakan: “Jiwaku akan kembali ke tempat asalnya.”

Istrinya berkata: “Betapa malangnya diriku!”

Bilal mengatakan, “Betapa bahagianya diriku.”

Istrinya bertanya: “Setelah ini, kapan aku bisa berjumpa denganmu lagi?”

Bilal menjawab: “Di taman para kekasih Ilahi (surga).”

Istrinya berkata: “Dengan kepergianmu, semuanya terasa hancur bagiku.”

Bilal mengatakan: “Tubuh ini bagai awan yang menyatu dan setelah itu berpisah.” Bilal bin Rabah meninggal dunia di Damaskus pada tahun 20 H. (*)

Bunyamin Minta PCM Cilincing Gelar Baitul Arqam di Bulan Ramadan

JAKARTAMU.COM | Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Cilincing menggelar Pelantikan dan Pembekalan Pengurus serta Anggota Ranting se-Kecamatan Cilincing pada Rabu...

More Articles Like This