Jumat, Januari 24, 2025
No menu items!

Kisah Perkawinan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah: Cinta Setelah Menikah

Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah terjadi pada bulan Syawal tahun 11 setelah kenabian, tepatnya dua tahun lima bulan setelah peristiwa hijrah serta setahun setelah pernikahan beliau SAW dengan Saudah bintu Zam’ah berlangsung.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhma (ra) adalah wanita yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) setelah Saudah bintu Zam’ah bin Qois RA ra.

Sayyidah Aisyah memang istimewa. Kesuciannya telah diakui Allah SWT dari atas langit ketujuh. Malaikat telah menampakkan Aisyah tiga malam berturut-turut kepada Baginda Rasul sebelum beliau menikahi Siti Aisyah.

Hal tersebut sebagaimana sabda Beliau SAW:

رأيتُك في المنام ثلاث ليال ، جاء بك الملك في سرقة من حرير، فيقول : هذه امرأتك فأكشف عن وجهك فإذا أنت فيه، فأقول : إن يك هذا من عند الله يُمضه

“Aku melihatmu (Aisyah) dalam mimpiku selama tiga malam. Malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Lalu kusingkapkan penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Aku bergumam, ‘Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah terjadi pada bulan Syawal tahun 11 setelah kenabian, tepatnya dua tahun lima bulan setelah peristiwa hijrah serta setahun setelah pernikahan beliau SAW dengan Saudah bintu Zam’ah berlangsung. Saat menikah dengan Rasulullah SAW, Siti Aisyah berumur 6 tahun.

Hal itu berdasarkan sebuah hadis bahwasannya Aisyah berkata:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وبنى بي وأنا بنت تسع سنين

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. Dan beliau kumpul bersamaku ketika aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam “aṣ-Ṣiddīqah Binti aṣ-Ṣiddīq” umur Siti Aisyah ketika berbulan madu dengan Nabi tidak kurang dari 12 tahun dan tak lebih dari 15 tahun. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Sa’ad yang menerangkan bahwa Siti Aisyah dilamar pada usia 9 tahun dan bulan madu pada usia sudah baligh (15 tahun). Ketika itu, maharnya 400 dirham.

Siti Aisyah adalah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah SAW dalam keadaan masih gadis atau perawan. Dengan Siti Aisyah, hidup nabi sangat berwarna dan romantis.

Bila Siti Khadijah adalah wanita dewasa yang keibuan maka sebaliknya Siti Aisyah adalah wanita muda yang energik, lincah dan cantik.

Selain itu, beliau juga dikenal sebagai istri Nabi yang intelektualitasnya sangat tinggi. Beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.

Dr Mahmud Ṭahhan dalam “Taisīr Muṣṭalah al-Hadīts menempatkannya sebagai sahabat dalam urutan keempat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jumlahnya: 2210. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

Hikmah Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah

Salah satu hikmah dari pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah ra adalah menghapus anggapan orang-orang terdahulu yang menjadi norma yang berlaku di antara mereka yaitu ketika seseorang sudah bersahabat dekat, maka status mereka layaknya saudara kandung dan berlaku hukum-hukum saudara kandung.

Ketika Rasulullah hendak menikahi Aisyah, Abu Bakar sempat mempertanyakannya, karena ia merasa apakah yang demikian dihalalkan.

عن عروة أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب عائشة إلى أبي بكر فقال له أبو بكر: إنما أنا أخوك، فقال: أنت أخي في دين الله وكتابه وهي لي حلال.

Dari Aurah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Abu Bakar untuk melamar Aisyah. Lalu Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku ini saudaramu’. Nabi menjawab, ‘Iya, engkau saudaraku dalam agama Allah dan Kitab-Nya dan ia (anak perempuanmu) itu halal bagiku’.” (HR Bukhari).

Rasulullah hendak memutus kesalahpahaman ini dan mengajarkan hukum yang benar yang berlaku hingga hari kiamat kelak.

Menurut Muhammad Husain Haekal dalam buku “Sejarah Hidup Muhammad”, pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah lebih didorong karena mereka adalah putri sahabat dekatnya, Abu Bakar.

Hal yang sama juga kemudian dilakukan dengan Hafshah Binti Umar bin Khattab ra. “Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka,” tutur Haekal.

“Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Utsman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka.”

Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Nabi Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.

“Gadis itu dipinangnya kepada orang tuanya tatkala ia berusia 9 tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil,” tambah Haekal.

“Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi,” ujarnya. Haekal lalu menceritakan bagaimana Umar memarahi Hafsah karena berani menentang Rasulullah, suaminya.

Umar Memarahi Hafsah

“Sungguh,” kata Umar , “tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.”

Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: ‘Coba kau berbuat begini atau begitu.”

Jawab saya: “Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!”

Dia pun membalas: “Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah SAW sehingga ia gusar sepanjang hari.”

Kata Umar selanjutnya: “Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsah.

“Anakku,” kataku kepadanya. “Engkau menentang Rasulullah SAW sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!”

Hafshah menjawab: “Memang kami menentangnya.”

“Engkau harus tahu,” kataku. “Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan Rasul-Nya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah SAW.”

Katanya lagi: “Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”

Haekal mengatakan, “Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu.” (*)

Makna Mendalam Sayyidul Istighfar: Jalan Tobat yang Agung

JAKARTAMU.COM | Sayyidul Istighfar adalah doa yang mengandung makna mendalam tentang tauhid, penghambaan, dan pengakuan dosa. Dalam doa ini,...

More Articles Like This