JAKARTAMU.COM | Tatkala Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad, pertempuran Yamamah pun terjadi. Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi umat Islam. Kaum muslimin berangkat untuk berjuang menghadapi nabi palsu Musailamah .
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul “Rijalun haular Rasul” dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi “Kisah 60 Sahabat Nabi” menceritakan Salim bersama Abu Hudzaifah tidak ketinggalan dalam peperangan ini.
Salim adalah mantan budak Abu Hudzaifah. Dia kemudian diambil sebagai anak angkat. Ketika Islam menghapus tradisi memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, sahabat karib, serta budak yang telah dimerdekakan Abu Hudzaifah bin Utbah. Sahabat Rasul yang mulia ini kemudian dipanggil Salim Maula Abu Hudzaifah.
Salim adalah salah seorang dari empat orang yang dipercayai Rasulullah SAW untuk mengajarkan Al-Qur’an. “Ambillah olehmu Al-Qur’an dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, dan Salim Maula Abu Hudzaifah,” sabda Rasulullah.
Sedangkan Hudzaifah bin Utbah sendiri merupakan sosok lebih awal dan bersegera masuk Islam yang pada waktu itu menyebabkan ayahnya Utbah bin Rabi’ah murka dan kecewa, sehingga ketenangan hidup ayahnya itu menjadi keruh karena keislaman putranya itu.
Syahid di Yamamah
Pada awal pertempuran, kaum muslimin tidak mampu bertahan. Tetapi, setiap Mukmin telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama.
Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Komandan perang Muslim, Khalid bin Al-Walid. Ia menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan.
Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan saling berjanji siap mati syahid demi agama yang benar, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat.
Dua orang bersaudara dalam iman itu menerjunkan diri ke medan perang yang sedang bergejolak.
Abu Hudzaifah berseru meneriakkan, “Wahai para ahli Al-Qur’an, hiasilah Al-Qur’an dengan amal-amal kalian.”
Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagai angin topan dan ia menghunjamkan tusukan-tusukan kepada pengikut Musailamah.
Salim berseru, “Amat buruk nasibku sebagai ahli Al-Qur’an, apabila benteng kaum muslimin bobol karena kelalaianku.”
Abu Hudzaifah menyahut, “Tidak mungkin demikian, wahai Salim. Bahkan engkau adalah sebaik-baik ahli Al-Qur’an.”
Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang memberontak dan ingin mengembalikan kejahiliahan Quraisy dan memadamkan cahaya Islam itu.
Tiba-tiba, salah satu pedang orang-orang murtad itu menebas tangannya hingga putus. Itu merupakan tangan pemegang bendera Muhajirin setelah pemanggulnya yang pertama, Zaid bin Al-Khatthab, gugur.
Ketika tangan kanannya itu buntung dan bendera perang itu jatuh, ia segera mengambilnya dengan tangan kiri, lalu senantiasa mengacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran:146)
Sebuah semboyan yang sangat agung. Semboyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya.
Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbunya, hingga pahlawan itu tersungkur ke tanah. Tetapi, rohnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan kematian Musailamah Al-Kadzdzab dan kekalahan tentara murtad, dan kemenangan berada di tangan tentara Muslimin.
Ketika kaum muslimin mengidentifikasi kurban dan para syuhada, mereka menemukan Salim dalam sekarat maut. Ia sempat bertanya kepada mereka, “Bagaimana nasib Abu Hudzaifah?”
“Ia telah menemui syahidnya,” jawab mereka.
“Baringkanlah aku di sampingnya.”
“Ini dia di sampingmu, wahai Salim. Dia telah menemui syahidnya di tempat ini.”
Mendengar jawaban itu, bibir Salim menyunggingkan senyum yang terakhir, dan setelah itu ia tidak berbicara lagi. Dia bersama saudaranya telah menemukan apa yang mereka dambakan selama ini. Mereka masuk Islam bersama, hidup bersama, dan kemudian gugur syahid bersama pula. Persamaan nasib yang sangat mengharukan, dan suatu takdir yang sangat indah.
Mukmin yang agung itu kini telah pergi menemui Rabb-nya. Seorang beriman, yang mengenai dirinya ketika telah tiada, Umar bin Khattab pernah berkata, “Seandainya Salim masih hidup, pasti ia menjadi penggantiku nanti.”