PADA masa Khalifah Umar bin Khattab, kelaparan dan wabah menyerang Jazirah Arab. Ini terjadi karena kekeringan melanda. Selama 9 bulan tak turun hujan. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan. Akibatnya, semua tanaman di atasnya mati. Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Al-Faruq Umar” yang diterjemahkan Ali Audah menjadi “Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu” (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan pada tahun ini dinamai “Tahun Abu” (Amar Ramadah).
Akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan itu, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak.
Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar, orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik karena sudah begitu buruk.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya.
Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan.
Mereka yang datang mengungsi ke Madinah saban hari terus bertambah sehingga makin banyak jumlahnya. Kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Upaya Umar Mengatasi Kelaparan
Setelah kelaparan mencapai puncaknya pernah terjadi Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya.
Oleh Umar ia ditanya: “Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?”
“Ya,” jawab orang itu. “Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang.”
Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir.
Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu. Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya:
“Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham. Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan.”
“Saya tidak suka makan dengan berlebihan,” jawab Umar. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: “Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan.”
Alangkah agung dan mulianya kebijakan itu! Dan lebih agung lagi jika datangnya dari orang yang ketika itu segala harta milik Kisra dan Kaisar sudah ada di tangannya, dan yang dengan itu pula Muslimin dapat menyaingi Persia, Romawi dan dunia seluruhnya. Begitu juga harta kekayaan Irak dan Syam. Ketika itu Umar mampu menggunakan sekehendaknya segala kemewahan dan kenikmatan harta Persia dan Romawi itu.
Akan tetapi ia melihat semua kenikmatan itu menyangkut kehidupan dunia, dan kemewahan dapat membuat orang sesat. Dia lebih agung dari semua itu demi mengharapkan akhirat dan keridaan Allah.
Ia melihat – sebagai Amirulmukminin – bahwa tidak mungkin ia dapat memperhatikan kehidupan rakyatnya jika dia sendiri tidak merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang hidup lebih miskin dan lebih sengsara.
Dia harus bertindak cepat untuk mengatasi kemiskinan dan kesengsaraan itu.
Umar yang warna kulitnya putih kemerahan, pada Tahun Abu itu orang melihatnya sudah berubah menjadi hitam. Dulu ia menyantap samin, susu dan daging. Setelah bencana kekeringan menimpa wilayahnya, ia mengharamkan semua makanan itu untuk dirinya.
Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan, sehingga banyak orang yang mengatakan setelah melihat apa yang menimpanya itu: “Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin.”
Dalam kenyataannya ia memang sangat prihatin, dan demi kepentingan mereka ia sudah berusaha sekuat tenaga. Ia menulis surat kepada wakil-wakilnya di Irak dan di Syam meminta pertolongan agar membantu penduduk Semenanjung.
Kata-katanya kepada mereka itu keluar dari hati yang tulus, yang memperlihatkan betapa besar rasa tanggung jawabnya. Perasaannya begitu peka, bahwa mengenai setiap pribadi dari rakyatnya dia bertanggung jawab di depan Allah dan di depan hati nuraninya sendiri.
Kepada Amr bin Ash di Palestina ia menulis: “Salam sejahtera bagi Anda. Anda melihat kami sudah akan binasa, sedang Anda dan rakyat Anda masih hidup. Kami sangat memerlukan pertolongan, sekali lagi pertolongan!”
Dalam jawabannya Amr mengatakan: “Segera akan saya kirimkan kepada Anda kafilah unta, yang terdepan di tempat Anda dan yang terakhir di tempat saya.”
Surat serupa dikirimkan juga oleh Umar kepada Mu’awiah bin Abi Sufyan dan Abu Ubaidah bin Jarrah di Syam, juga kepada Sa’d bin Abi Waqqas di Irak. Semua mereka menjawab yang kira-kira sama dengan jawaban Amr bin Ash.
Bantuan dari Syam dan Irak
Abu Ubaidah bin Jarrah paling cepat memenuhi seruan Umar dan segera memberi pertolongan kepada Semenanjung, mendahului yang lain. Sebanyak 4.000 unta dengan muatan makanan segera dikirimkan.
Umar pun segera membagikannya kepada penduduk sekitar Madinah. Selesai mengerjakan itu Umar memerintahkan agar mengirimkan uang 4000 dirham kepadanya. Tetapi Abu Ubaidah membalas: “Amirulmukminin, saya tidak memerlukan itu! Saya mengharapkan Allah akan menerima amal saya. Janganlah sampai saya terpengaruh oleh dunia.”
Akan tetapi Umar menjawab: “Terimalah. Tidak apa selama Anda tidak memintanya. Saya sudah pernah melakukan yang semacam ini dengan Rasulullah, lalu ia memberi saya sesudah saya katakan kepadanya seperti yang Anda katakan kepada saya.”
Uang itu diterima oleh Abu Ubaidah, setelah itu ia kembali ke tempat pekerjaannya.
Dari Palestina Amr bin As mengirimkan makanan dengan unta dan kapal melalui pelabuhan Ailah (Elat). Yang dikirim melalui laut dua puluh kapal bermuatan tepung dan lemak, yang melalui darat terdiri atas seribu ekor unta dengan muatan tepung.
Dari Syam Mu’awiah bin Abi Sufyan mengirim tiga ribu unta, sedang Sa’d bin Abi Waqqas mengirim dari Irak seribu unta, semua membawa tepung. Di samping itu Amr mengirim lima ribu pakaian dan Mu’awiah mengirim tiga ribu mantel.
Umar mengangkat beberapa orang untuk membagikan makanan dan pakaian ke kota-kota dan pedalaman kawasan itu, dan dia sendiri bertugas mengurus makanan penduduk Madinah dan orang-orang yang datang mengungsi ke sana.
Utusan-utusan Umar itu segera berangkat ke segenap penjuru Semenanjung untuk meringankan penderitaan penduduk. Para wakil yang ditugasi membagi-bagikan makanan yang dikirim Sa’d bin Abi Waqqas itu bertemu di pintu masuk ke Irak.
Mereka menyembelih hewan kemudian membagikannya kepada warga, begitu juga tepung dan pakaian. Maka dengan pertolongan Allah, kala itu mereka terangkat dari bencana yang selama ini menimpa mereka.
Begitu juga yang dikerjakan oleh utusan-utusan yang bertugas sepanjang Makkah dan Madinah. Umar berkata kepada utusannya yang dikirim untuk menemui kafilah dari Syam: “Mengenai makanan yang Anda terima bagikanlah kepada penduduk pedalaman, pembungkusnya dapat dijadikan selimut, begitu juga unta agar disembelih, dagingnya untuk makanan mereka dan lemaknya dapat mereka bawa dan jangan menunggu sampai mereka mengatakan, dengan itulah kami mengharapkan kelapangan hidup. Mengenai tepung dapat mereka olah dan mereka simpan sampai nanti Allah memberikan jalan keluar kepada kita.”
Umar sendiri menguruskan makanan penduduk Madinah dan mereka yang mengungsi ke sana. Ia mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. Beberapa hari sekali ia menyembelih hewan untuk lauk pauk roti kuah, lalu dimakan bersama-sama dengan orang banyak.
Sesudah unta yang dari Irak dan Syam datang setiap hari disembelih dua puluh ekor untuk makan mereka. Setiap malam mereka berkumpul dan melaporkan kepadanya segala yang mereka alami siangnya.
Selesai salat isya ia menyuruh orang menghitung jumlah mereka yang makan di sana dalam beberapa hidangan. Jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang.
Anggota keluarga yang tidak ikut serta, mereka yang sakit dan anak-anak mencapai jumlah 40.000. Dari hari ke hari jumlah mereka bertambah. Jumlah mereka yang makan malam di tempatnya itu sebanyak 10.000 dan dengan yang lain sampai 50.000 orang.
Orang-orang yang bekerja datang menjelang subuh ke tempat Umar dan mereka bekerja sampai pagi. Setelah itu hidangan asidah dan daging dibagikan kepada orang-orang yang sakit, anak-anak dan anggota keluarga yang tidak sempat makan bersama dengan Amirulmukminin.
Umar memberikan pelayanan sendiri kepada mereka dan menyertai mereka semua, dengan tujuan memberikan ketenangan bahwa dalam menghadapi bahaya kelaparan itu ada yang akan dapat mereka atasi.
Ia mengirimkan tepung, kurma dan rempah-rempah ke rumah-rumah orang yang masih mampu menghidangkan makanan mereka sendiri setiap bulan, membagikannya kepada mereka dengan sistem seperti “kartu jatah” di masa perang zaman kita sekarang.
Kurang atau lebih disesuaikan dengan keadaan orang itu. Dalam hal ini ia berkata: “Andai kata untuk meringankan beban orang saya harus membawakan perlengkapan mereka kepada keluarga di setiap rumah lalu mereka saling membagi makanan mereka sampai Allah memberi kelapangan, akan saya lakukan. Mereka tidak akan binasa karena makanan yang dibagi-bagikan.”