JAKARTAMU.COM | Namanya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ibunya Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ada juga yang meriwayatkan nama Ummu Hani’ adalah Hindun. Tapi yang populer dan banyak periwayatannya adalah Fakhitah.
Ketika Ummul Mukminin Khadijah wafat, Rasulullah merasa begitu sedih. Dalam keadaan itu, beliau sering menemukan penghiburan di rumah Umm Hani’. Keluarganya mendukung dan menghiburnya saat beliau sedang berkabut duka.
Umm Hani’ adalah sosok penting dalam sejarah Islam. Dari rumahnya, di bawah atap yang menjadi langit keluarganya, sebuah kemukjizatan pernah terjadi.
Kediamannya yang penuh berkah menjadi saksi peristiwa Isra Mikraj. Nabi Muhammad SAW datang ke rumah Umm Hani’, melakukan salat malam lalu tidur di sana.
Malam itu, rumah Ummu Hani’ dikunjungi malaikat paling mulia, Jibril as, untuk menjemput Nabi Muhammad SAW. Dari sanalah peristiwa Isra Mikraj bermula.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” (Pustaka Jaya, 1980) menceritakan malam itu Nabi Muhammad sedang berada di rumah Ummu Hani’.
Ketika itu Ummu Hani’ mengatakan: “Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat akhir malam, ia tidur dan kami pun tidur. Pada waktu sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami.”
Sesudah melakukan ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: ‘Umm Hani’, saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Baitul-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”
Kataku: “Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!”
“Tapi harus saya ceritakan kepada mereka,” jawabnya.
Dengan Roh
Orang yang mengatakan, bahwa Isra’ dan Mikraj Nabi Muhammad SAW dengan roh itu berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah: “Jasad Rasulullah SAW tidak hilang, tetapi Allah menjadikan isra’ itu dengan rohnya.”
Juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika ditanya tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia.” (Qur’an, 17:60)
Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Makkah ke Baitul Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad, bahwa dalam isra’ itu ia berada di pedalaman. Sedang mikraj ke langit adalah dengan roh.
Di samping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini di kalangan ahli-ahli ilmu kalam banyak sekali dan ribuan pula tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang.
Tentang Ummu Hani’
Ummu Hani’ adalah sepupu Nabi SAW. Rasulullah sangat mencintai putri paman Abu Thalib itu. Ketika orang tua dan kakek Nabi wafat, sang pamanlah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Nabi membalas kasih sayang pamannya dengan memberi perhatian dan cinta kepada sepupu-sepupunya yang masih kecil.
Diriwayatkan, sebelum masa kerasulan, Rasulullah pernah melamar Fakhitah. Namun Abu Thalib menolak tawaran itu. Dan menerima pinangan Hubayra bin Abi Wahb. Karena bani Makhzum, klan Hubayra, pernah menikahkan putri mereka dengan salah seorang dari kabilah Abu Thalib. Sehingga untuk menjaga hubungan baik, kabilah Abu Thalib membalas perlakuan itu. Nilai inilah yang berlaku dalam tradisi Arab kala itu.
Akhirnya Fakhitah menikah dengan Hubayra. Pasangan ini tinggal di Makkah dan dikaruniai empat orang anak. Yang tertua bernama Hani’. Karena itu Fakhitah dikenal dengan Ummu Hani’ (ibunya Hani’). Namun sayang, sang suami enggan memeluk Islam. Saat Fathu Makkah, ia lari keluar Makkah. Menolak memeluk Islam.
Ummu Hani’ pernah menemui Rasulullah di hari penalukkan Kota Makkah. Ia menceritakan, “Aku pergi menemui Rasulullah pada tahun penaklukkan Kota Makkah. Saat itu beliau sedang mandi. Dan putrinya Fatimah menutupinya (dengan tabir). Kuucapkan salam. Beliau (di balik tabir) bertanya, ‘Siapa itu?’ ‘Aku, Ummu Hani’ binti Abi Thalib’, jawabku. ‘Marhaban Ummu Hani’, sambut beliau.
Usai mandi beliau menunaikan salat 8 rakaat dengan berbalut satu pakaian. Setelah salat, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, saudaraku –Ali bin Abi Thalib-, ingin membunuh seseorang yang aku lindungi, Fulan bin Hubayra’.
Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani”. ‘Jika demikian jelas masalahnya’, jawab Ummu Hani’. (HR al-Bukhari juz: 5. Hal: 2280).