MASJID Nabawi di Madinah adalah pusat pemerintahan. Rasulullah SAW duduk di situ dalam mengatur segala persoalan umum, begitu juga di masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kalau diperlukan musyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, maka diserukan azan bahwa salat sudah siap.
Sesudah orang banyak berkumpul di Masjid, Nabi mengajak mereka bermusyawarah. Musyawarah demikian itu juga yang kemudian dilakukan oleh kedua orang penggantinya. “Juga Utsman meneruskan cara ini,” tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Akan tetapi, kata Haekal, Utman belum puas dengan bangunan Masjid itu sebagai pusat pemerintahan, yang juga demikian pada masa Nabi dan kedua Khalifah itu. Malah ia berpendapat akan melengkapi Masjid itu dengan lambang kewibawaan, sehingga dipandang pantas sebagai tempat yang akan mengeluarkan segala ketentuan kepada para petinggi di daerah-daerah yang tinggal dalam gedung-gedung mewah di Damsyik (Damaskus), Fustat, Kufah dan Basrah.
Masjid Nabawi pada mulanya dibangun sangat sederhana. Dinding dari bata jemur, langit-langit dari pelepah daun kurma dan tiang-tiangnya dari batang pohon kurma. Selama enam tahun keadaan Masjid berturut-turut tetap seperti itu. Tak ada yang diubah sementara Islam sudah berkembang dan kota Madinah sudah bertambah makmur dan Allah sudah melimpahkan rezeki kepada penduduknya.
Sesudah Muslimin membebaskan Khaibar dan kota Madinah khusus hanya untuk kaum Muslimin jumlah orang yang dibukakan hatinya oleh Allah kepada Islam sudah bertambah banyak. Maka mau tak mau bangunan Masjid itu harus diperluas. Nabi sudah menambah luas Masjid seratus meter persegi atau lebih, tanpa mengubah bangunannya yang dari bata jemur, pelepah daun kurma dan batang pohon kurma itu.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar tak ada perubahan kecuali ada dituturkan bahwa kedua dinding Masjid yang sudah rapuh dibangun kembali.
Selama masa Umar bin Khattab, karena jumlah Muslimin di Madinah terus bertambah dan Masjid harus diperluas lagi, maka Umar menambah luasnya, tetapi bangunan Masjid tidak mengalami perubahan. Ia membangun dindingnya seperti yang dibangun oleh Rasulullah dan dasarnya dari batu dengan bata jemur di bagian atasnya, tiang-tiangnya dibuat dari kayu dan langit-langitnya dari pelepah daun kurma.
Pintu Masjid dijadikan enam buah, dan di samping ada tempat yang diberi nama al-Batha’; jika ada orang mau mengucapkan kata-kata atau mau berbicara dengan suara keras, harus keluar ke tempat itu, sehingga tidak menodainya seperti dalam urusan perdagangan atau hal-hal yang tidak semestinya.
Sesudah kekhalifahan beralih ke tangan Utsman, maka yang pertama disampaikannya kepada umum ialah rencana perluasan Masjid. Keluhan masyarakat adalah Masjid itu terasa sudah terlalu sempit untuk salat Jumat, setelah penduduk Madinah bertambah dalam jumlah besar, sejalan dengan bertambahnya wilayah-wilayah yang dibebaskan. Utsman bermusyawarah dengan beberapa pemuka dan mereka sepakat untuk merobohkan Masjid itu, lalu membangun kembali dan memperluasnya.
Utsman menambah perluasan Masjid itu besar-besaran, namun tidak hanya menambah perluasannya seperti yang dilakukan oleh Umar, melainkan ia mengadakan pembaruan dalam bangunan itu sesuai dengan kecenderungan aspirasinya.
Langkah ini telah menimbulkan keberatan sekelompok jemaah Muslimin ketika itu, yang menginginkan pembangunan Masjid seperti yang dibangun oleh Rasulullah. Tetapi Utsman tidak peduli apa yang mereka katakan.
Ia tidak lagi membaharui Masjid dengan bata jemur, tiang-tiangnya tidak lagi menggunakan kayu dan langit-langitnya juga bukan lagi dari pelepah daun kurma, tetapi seluruh dindingnya dibuat dari batu yang diukir dan tiang-tiangnya dari batu yang dipahat dan mengisinya dengan batang besi, dicor dengan timah serta bagian luarnya diukir dan langit-langitnya dibuat dari kayu bermutu tinggi.
Dengan demikian bangunan Masjid itu dibangun kembali dari dasarnya, beberapa macam hiasan dan ornamen dihilangkan. Dengan demikian tindakannya itu oleh beberapa sahabat Rasulullah dianggap aneh. Mereka mengecamnya, karena telah menyalahi kelaziman Rasulullah dan kedua penggantinya, Abu Bakar dan Umar.
Utsman telah melengkapi Masjid Nabi itu dengan lambang kewibawaan, sebab kini sudah menjadi pusat pemerintahan. Semua perintah dikeluarkan dari sana untuk para petinggi di daerah-daerah yang tinggal dalam gedung-gedung mewah di Damsyik, di Fustat, Kufah dan Basrah.
Beda dengan Masjidilharam
Haekal mengatakan ketika Utsman mengadakan perluasan Masjidilharam di Makkah, yang demikian itu tidak dilakukannya. Kakbah sebagai Baitullah, yang ada berdiri di sekitarnya hanyalah sebuah beranda sempit tempat orang salat di sana. Selama masa Nabi dan selama masa Abu Bakar keadaannya tetap seperti itu.
Sesudah Islam berkembang dan banyak orang yang menunaikan ibadah haji dan salat di sekeliling Kakbah di masa Umar bin Khattab, ruangan itu sudah terasa sempit sekali. Kemudian orang memasuki Masjid dari pintu-pintu rumah yang ada di sekitarnya.
Ketika itulah rumah-rumah di sekitar Kakbah itu dibeli oleh Umar kemudian dirobohkan dan digabungkan ke daerah suci Masjidilharam dan dipagari dengan tembok rendah.
Di masa Utsman orang datang menunaikan ibadah haji makin banyak lagi, maka Utsman pun mengikuti jejak Umar, membeli rumah-rumah di sekitarnya dan ditambahkan ke lingkungan Kakbah lalu dipagar dengan tembok rendah setinggi orang berdiri, seperti yang dilakukan Umar sebelumnya.
Jadi, kata Haekal, Utsman tidak memperlakukan Masjid di Makkah itu seperti Masjid di Medinah, sebab Masjid yang di Makkah semata-mata hanya untuk ibadah dan salat, sedang Masjid di Madinah sebagai pusat pemerintahan yang sekaligus juga untuk keperluan salat.
Tindakan Utsman membangun kembali Masjid, bukanlah hendak mendorong orang hanyut dalam kehidupan duniawi atau karena ia ingin memperlihatkan kekuasaan. Khalifah tua ini orang yang sangat bertakwa, sangat pemalu dan dengan iman yang sungguh-sungguh.
Pernah ia berkata: “Sekiranya hati kita ini suci, kita tak akan henti-hentinya membaca firman Allah. Saya tidak ingin pada suatu hari saya tidak melihat Mushaf Qur’an.”
Ketika kaum pemberontak menyerbu Utsman di rumahnya, mereka menjumpainya ia sedang membaca Qur’an, dan ketika ia meninggal Mushafnya sudah sobek-sobek karena terlalu sering ia merenunginya. Pada hari ketika ia terbunuh itu istrinya Na’ilah berkata kepada mereka yang sedang mengepung rumahnya: “Kalian membunuh dia atau membiarkannya, ia bangun salat di waktu malam satu rakaat dengan merangkum Qur’an.”
Kalau Utsman bangun malam untuk keperluan salat ia tidak membanguni siapa pun untuk membantunya berwudu, kecuali ada orang yang sedang terjaga. Sering dikatakan kepadanya: “Mengapa tidak membangunkan pembantu-pembantu itu?” Dia menjawab: “Tidak, dalam malam begini biarlah mereka beristirahat.”