JAKARTAMU.COM | Orang-orang Yahudi Madinah sejak sebelum perang Badar sudah mulai menggerutu dan sering berkonflik dengankaum Muslimin. Karena ada perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka konflik itu tidak sampai meletus menjadi besar.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” (Pustaka Jaya, 1980) menceritakan begitu kaum Muslimin memenangkan Perang Badar, beberapa kelompok di sekitar Medinah mulai saling bermain mata dan berkomplot.
“Mereka mulai dihasut dan dibuatkan sajak-sajak yang sifatnya membangkitkan semangat mereka,” tutur Haekal.
Dengan demikian, gelanggang revolusi itu kini pindah dari Makkah ke Madinah. Dari bidang agama ke bidang politik. Jadi yang diperangi kala itu bukan hanya dakwah Nabi Muhammad dalam bidang agama saja, melainkan kewibawaan dan pengaruhnya juga membuat hati mereka jadi kecut.
“Faktor ini yang menyebabkan mereka berkomplot dan membuat rencana hendak membunuhnya,” ujar Haekal.
Semua rahasia itu diketahui oleh Nabi Muhammad. Bahkan beliau sudah mengetahui semua berita dan setiap rencana yang ditujukan kepadanya.
Baik pada pihak Muslimin ataupun pihak Yahudi, dari hari ke hari, sedikit demi sedikit hati mereka sudah sarat oleh rasa kebencian. Satu sama lain tinggal lagi menunggu adanya bencana yang akan menimpa lawannya.
Sampai pada waktu kaum Muslimin mendapat kemenangan di Badar, mereka masih merasa takut juga kepada penduduk Madinah. Mereka belum berani mengadakan serangan balasan apabila ada seorang Muslim yang diserang.
Tatkala mereka sudah kembali membawa kemenangan itu seorang yang bernama Salim bin’Umair telah mengambil tindakan sendiri terhadap Abu ‘Afak (dari Banu ‘Amr bin ‘Auf).
Orang ini membuat sajak-sajak yang isinya menyerang Nabi Muhammad dan kaum Muslimin. Juga telah membakar semangat golongannya supaya memerangi Muslimin. Sampai pada waktu peristiwa Badar selesai ia masih terus menghasut orang.
Suatu malam ketika angin sedang bertiup kencang Salim mendatangi Abu ‘Afak. Ia sedang tidur di beranda rumahnya. Oleh Salim ditancapkannya pedangnya ke arah hatinya hingga menembus sampai ke pelaminan.
Demikian juga ‘Ashma, binti Marwan (dari Banu Umayya bin Zaid). Wanita ini selalu memaki Islam, menyakiti hati dan mengerahkan orang supaya melawannya. Hal ini dilakukannya terus sampai pada waktu sesudah selesainya perang Badar.
Pada suatu malam buta ia didatangi oleh ‘Umair bin ‘Auf yang masuk sampai ke dalam rumahnya. Ia dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang tidur, ada pula yang sedang disusui.
Sebenarnya penglihatan ‘Umair lemah sekali. Ia meraba-raba dengan tangannya dan terpegang olehnya bayi yang sedang disusui itu. Dihalaunya bayi itu dari sisi ibunya, kemudian dipusatkannya pedangnya ke dada wanita itu sampai menembus punggungnya.
Bila ‘Umair kemudian kembali dari tempat Nabi setelah menyampaikan berita itu, ia melihat anak-anaknya dan beberapa orang sedang menguburkan wanita tersebut. Mereka datang menemuinya seraya bertanya:
“Umair, kau yang membunuh wanita itu?”
“Ya,” jawabnya. “Jalankanlah tipu-muslihatmu itu terhadapku dan jangan lagi ditunda-tunda. Aku bersumpah demi Dia Yang memegang hidupku kalau kamu semua mengeluarkan kata-kata seperti wanita itu, akan kuhantam kamu dengan pedangku ini. Aku yang mati, atau kamu semua kubunuh,” lanjutnya.
Sikap ‘Umair yang berani ini telah membawa akibat lahirnya Islam di tengah-tengah kabilah Banu Khatma itu. Suami Ashma’ adalah dari kabilah ini juga. Dari golongan ini yang tadinya masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi, sekarang sudah berani mereka berterang-terang dan menggabungkan dia ke dalam barisan dan bersama-sama dengan kaum Muslimin lainnya.
Selanjutnya ada pula peristiwa matinya Ka’b bin Asyraf. Ketika mendengar matinya beberapa orang pemuka-pemuka Makkah, dialah orangnya yang mengatakan. “Mereka itu bangsawan-bangsawan Arab dan pemimpin-pemimpin. Sungguh, kalau Muhammad sampai mengalahkan mereka, maka lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi.”
Dia pula orangnya yang telah berangkat ke Makkah – setelah mendapat kabar yang pasti -mengerahkan orang untuk melawan Nabi Muhammad. Mereka menyanyikan sajak-sajak dan menangisi mereka yang terkubur dalam perigi.
Dia juga yang kemudian setelah kembali ke Madinah berusaha mencumbu wanita-wanita Islam. Orang tahu betapa watak dan perangai orang Arab dalam hal ini, betapa mereka menghargai arti kehormatan ini. Untuk itu semangat mereka bangkit.
Kaum Muslimin begitu marah. Mereka sudah sepakat hendak membunuh Ka’ab. Beberapa orang dari mereka sudah berkumpul. Salah seorang di antara mereka mendatanginya sambil memancingnya dengan memburuk-burukkan Nabi Muhammad.
“Kedatangan orang ini kemari membawa bencana,” kata salah seorang di antara mereka. “Membuat orang-orang Arab saling bermusuhan dan berpecah-belah. Hubungan kerabat kita terputus, sanak-keluarga hilang dan orang melakukan perjalanan jauh jadi sukar.”
Setelah saling beramah-tamah dengan Ka’ab, maka ia dan teman-temannya minta uang kepada Ka’ab dengan jalan menggadaikan baju besinya. Ka’ab pun setuju asal nanti dibawa. Ketika ia sedang berada di rumahnya yang agak jauh dari Madinah, pada waktu menjelang malam terdengar Abu Na’ila [salah seorang yang berkomplot] memanggilnya.
Ia keluar menghampirinya, sekalipun sudah diperingatkan oleh istrinya jangan keluar rumah pada waktu malam begitu. Kedua orang itu terus berjalan hingga bertemu dengan teman-teman Abu Na’ila.
Ka’ab tenang saja tidak merasa takut. Mereka bersama-sama berjalan kaki hingga agak jauh dari tempat-tinggal Ka’ab, sambil terus bercakap-cakap. Mereka bercerita tentang diri mereka sendiri dan betapa mereka itu mengalami kesukaran. Ka’ab merasa makin tenang.
Sementara mereka sedang berjalan itu Abu Na’ila meletakkan tangannya di atas kepala Ka’ab, dan tangannya itu kemudian diciumnya.
“Belum pernah aku mengalami malam seharum ini,” katanya
Setelah dilihatnya Ka’ab tidak menaruh curiga lagi kepada mereka, kembali lagi Abu Na’ila meletakkan tangannya di rambut Ka’ab, kemudian digenggamnya kedua pelipis orang itu seraya berkata:
“Hantamlah musuh Tuhan ini!”
Mereka menghantamnya dengan pedang, dan saat itu ia menemui ajalnya.
Kejadian ini membuat pihak Yahudi bertambah cemas. Mereka semua merasa khawatir akan nasibnya sendiri. Tetapi sampai nyawa mereka melayang pun, mereka tidak juga mau berhenti mengecam Nabi Muhammad dan kaum Muslimin.
Yahudi Melakukan Pelecehan
Ada seorang perempuan Arab datang ke pasar Yahudi Banu Qainuqa’ dengan membawa perhiasan. Ia sedang duduk menghadapi tukang emas. Mereka berusaha supaya ia memperlihatkan mukanya. Tapi wanita itu menolak.
Tiba-tiba datang seorang Yahudi dengan diam-diam dari belakang. Disematkannya ujung baju wanita itu dengan sebatang penyemat ke punggungnya, dan bila wanita itu berdiri, maka tampaklah auratnya.
Mereka ramai-ramai menertawakannya. Wanita itu menjerit-jerit. Waktu itu juga seorang laki-laki Muslim langsung menerkam tukang emas tersebut – seorang Yahudi dibunuhnya. Orang-orang Yahudi yang lain datang ramai-ramai mengikat laki-laki Muslim itu lalu mereka bunuh juga.
Saat itu keluarga Muslim ini minta bantuan kaum Muslimin dalam menghadapi pihak Yahudi, yang selanjutnya sampai timbul bencana besar antara mereka dengan pihak Yahudi Banu Qainuqa’.
Permintaan Nabi Muhammad SAW
Kemudian Nabi Muhammad minta kepada mereka ini supaya jangan lagi mengganggu kaum Muslimin dan supaya tetap memelihara perjanjian perdamaian dan ko-eksistensi yang sudah ada. Kalau tidak mereka akan mengalami nasib seperti Quraisy. Akan tetapi peringatan ini oleh mereka diremehkan. Malah mereka menjawab:
“Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya.”
Jika sudah begitu, maka tak ada jalan lain kecuali harus memerangi mereka juga. Kalau tidak, kaum Muslimin dan kedudukan mereka di Madinah akan runtuh, dan selanjutnya akan menjadi bahan cerita pihak Quraisy, sesudah pihak Quraisy sebelum itu menjadi bahan cerita orang-orang Arab.
Kaum Muslimin saat itu bertindak dan mengepung orang-orang Yahudi Banu Qainuqa’ berturut-turut selama 15 hari di tempat mereka sendiri. Tak ada orang yang dapat keluar dari mereka itu, juga tak ada orang yang dapat masuk membawakan makanan.
Abdullah bin Ubay
Tak ada jalan lain lagi mereka harus tunduk kepada undang-undang Nabi Muhammad, menyerah kepada ketentuannya. Lalu mereka menyerah. Sesudah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka Muslimin, Nabi Muhammad menetapkan akan membunuh mereka itu semua.
Akan tetapi lalu datang Abdullah bin Ubay bin Salul – orang yang bersekutu baik dengan Yahudi maupun dengan Muslimin.
“Muhammad,” katanya. “Hendaklah berlaku baik terhadap pengikut-pengikutku.”
Nabi tidak segera menjawab. Lalu diulangnya lagi permintaannya. Tetapi Nabi menolak. Orang itu memasukkan tangannya ke saku baju besi Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berubah air mukanya.
Lalu kata Nabi: “Lepaskan!” Beliau marah. Kemarahannya itu tampak terbayang di wajahnya. Kemudian diulanginya lagi dengan nada suara yang masih membayangkan kemarahan. “Lepaskan! Celaka kau!”
“Tidak akan kulepaskan sebelum kau bersikap baik terhadap pengikut-pengikutku. Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang dengan baju besi telah merintangi aku melakukan perang habis-habisan, dan kau babat mereka dalam satu hari! Sungguh aku khawatir akan timbul bencana.”
Sampai pada waktu itu Abdullah bin Ubay adalah orang yang masih mempunyai kekuasaan atas orang-orang musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj, meskipun kekuasaan ini, dengan adanya kekuatan kaum Muslimin telah menjadi lemah.
Melihat desakan orang itu yang demikian rupa, Nabi kembali menjadi tenang. Apalagi setelah ‘Ubada bin’sh-Shamit datang kepadanya bicara seperti pembicaraan Ibn Ubayy.
Ketika itu ia berpendapat akan memberikan belas kasihannya kepada Abdullah bin Ubayy, dan kepada orang-orang musyrik pengikut-pengikut Yahudi supaya dengan budi kebaikannya dan rasa kasihannya itu mereka akan merasa berhutang budi kepadanya. Akan tetapi, sebagai akibat perbuatan mereka sendiri Banu Qainuqa’ harus mengosongkan kota Medinah.
Abdullah bin Ubay ingin bicara sekali lagi dengan Nabi Muhammad mengenai keadaan mereka yang masih ingin menetap di sana itu. Akan tetapi salah seorang dari kalangan Islam berhasil mencegah adanya pertemuan Ibn Ubay dengan Nabi Muhammad.
Mereka lalu bertengkar sehingga kepala Abdullah kena pukul. Ketika itu Banu Qainuqa’ berkata: “Kami bersumpah tidak lagi akan tinggal di kota ini sesudah kepala Ibn Ubay dipukul sedang kami tidak dapat membelanya.”
Dengan demikian, setelah mereka tunduk dan menyerah hendak meninggalkan Madinah, ‘Ubada membawa mereka itu ke Wadi’l-Qura dengan meninggalkan perlengkapan senjata dan alat-alat tukang emas yang mereka pergunakan.
Di tempat ini lama mereka tinggal, dan dari sini barang-barang mereka semua mereka bawa. Mereka menuju ke arah utara sampai di Adhri’at di perbatasan Syam.
Di tempat inilah mereka menetap. Atau mungkin juga mereka tertarik ingin ke sebelah utara lagi ke Tanah yang Dijanjikan (Palestina) yang selalu menjadi idaman orang-orang Yahudi. (*)