Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

Korupsi, antara Budaya dan Kejujuran: Renungan Dunia dan Akhirat

spot_img
Must Read

JAKARTAMU.COM | Di dunia yang semakin modern ini, perbincangan tentang budaya sering kali memenuhi ruang-ruang diskusi. Kita berbicara tentang kebanggaan terhadap tradisi, mempertahankan nilai-nilai leluhur, serta menolak pengaruh asing yang dianggap merusak identitas bangsa. Namun, di balik semua itu, ada ironi yang tidak bisa kita abaikan: apakah kita benar-benar menjaga budaya yang luhur, atau justru membiarkan kebiasaan buruk tumbuh subur dalam kehidupan kita?

Budaya Korupsi: Luka yang Menggerogoti Bangsa

Salah satu penyakit sosial yang masih mengakar kuat di banyak tempat adalah korupsi. Korupsi bukan hanya tentang uang negara yang disalahgunakan, tetapi juga tentang kebiasaan berbohong, mencurangi hak orang lain, menyalahgunakan jabatan, hingga mengkhianati kepercayaan. Seorang pedagang yang menakar dagangannya dengan curang, seorang pekerja yang mengurangi waktu kerja tetapi tetap menerima gaji penuh, seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi—semuanya adalah bentuk korupsi.

Maka, jika ada yang berkata bahwa budaya kita adalah korupsi, itu bukanlah tuduhan tanpa dasar. Ini adalah cerminan kejujuran yang menyakitkan—bahwa kita telah lama terbiasa dengan ketidakjujuran, bahwa kita telah menganggap keburukan sebagai sesuatu yang wajar. Lebih mengerikan lagi, ketika sebuah kebiasaan buruk dilakukan secara terus-menerus, ia tidak lagi dianggap salah, melainkan menjadi bagian dari budaya yang diterima oleh masyarakat.

Padahal, Islam menempatkan kejujuran dan amanah sebagai pilar utama kehidupan. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ

“Barang siapa yang menipu, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)

Jika kejujuran telah hilang, maka kehancuran adalah keniscayaan. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan bahwa tanda awal kehancuran sebuah umat adalah ketika amanah telah disia-siakan.

Dunia dan Akhirat: Jalan Lurus atau Jembatan yang Runtuh?

Namun, renungan kita tidak berhenti hanya pada fenomena korupsi di dunia ini. Ada satu realitas yang jauh lebih besar, yang menanti setiap manusia setelah kematian: Shiratal Mustaqim.

Shiratal Mustaqim adalah jembatan yang membentang di atas neraka Jahannam, yang harus dilalui setiap manusia pada hari kiamat. Ia lebih tipis dari sehelai rambut dan lebih tajam dari pedang. Bagi mereka yang bertakwa, jembatan ini akan dilalui dengan mudah, seperti kilatan cahaya. Namun, bagi mereka yang penuh dosa, jembatan ini akan menjadi malapetaka—tempat mereka tergelincir dan terjatuh ke dalam api neraka.

Allah berfirman dalam QS. Maryam: 71-72:

وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا ۝ ثُمَّ نُنَجِّي ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَنَذَرُ ٱلظَّـٰلِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا

“Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zalim di dalamnya dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 71-72)

Inilah pertanyaan besar yang harus kita renungkan: Apakah kita sedang mempersiapkan diri untuk melewati jembatan ini dengan selamat? Ataukah kita sedang menggali lubang kejatuhan kita sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang merusak?

Jika di dunia ini kita masih gemar mengkhianati amanah, masih menganggap kejujuran sebagai sesuatu yang langka, masih membiarkan korupsi menggerogoti moralitas, bagaimana kita bisa berharap akan selamat saat melewati Shiratal Mustaqim?

Refleksi: Kembali ke Jalan yang Lurus

Allah telah memberikan kita pilihan: berjalan di atas Shiratal Mustaqim di dunia ini, atau terjatuh dari jembatan Shiratal Mustaqim di akhirat kelak. Shiratal Mustaqim di dunia adalah jalan keimanan, jalan kejujuran, jalan yang lurus menuju ridha Allah. Namun, jika kita memilih jalan yang bengkok, menormalisasi kebohongan, membiarkan korupsi menjadi bagian dari kehidupan kita, maka kita sedang menggiring diri kita sendiri ke dalam jurang kehancuran.

Maka, mari kita bertanya pada diri sendiri:

Apakah kita sudah menjadikan kejujuran sebagai prinsip hidup?

Apakah kita sudah memegang amanah dengan sebaik-baiknya?

Apakah kita sudah benar-benar menjauhi korupsi dalam bentuk sekecil apa pun?

Karena pada akhirnya, yang akan menyelamatkan kita bukanlah seberapa keras kita berteriak menolak budaya luar, tetapi seberapa dalam kita membenahi budaya kita sendiri.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

“Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita ingin selamat melewati Shiratal Mustaqim di akhirat, maka mulailah dari sekarang—dengan berjalan di atas jalan kejujuran dan kebaikan di dunia ini.

Semoga Allah membimbing kita semua ke jalan yang lurus dan menyelamatkan kita saat melewati jembatan Shiratal Mustaqim. Aamiin. (Dwi Taufan Hidayat)

spot_img

Posisi Prabowo dalam Dinamika Politik Kekuasaan Indonesia

MELIHAT perjalanan Prabowo kecil, remaja, hingga tumbuh dewasa dan kini tergolong lansia, plus pengalaman dinas militer dan keluarga yang...

More Articles Like This