Senin, April 28, 2025
No menu items!

Kualitas dan Jatidiri Seseorang Tampak dari Cara Berkomunikasi

Must Read

DALAM kehidupan sehari-hari, kita tak pernah lepas dari aktivitas berkomunikasi. Baik secara lisan, tulisan, gerak tubuh, bahkan diam sekalipun bisa menjadi bentuk komunikasi yang bermakna. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan kemampuan berbicara sebagai nikmat besar, namun kemampuan itu juga menjadi ujian. Cara seseorang berkomunikasi mencerminkan kedalaman jiwanya, kejernihan akalnya, dan kemuliaan adabnya.

Allah Ta’ala berfirman:

﴿ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ ﴾

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Ayat ini mengajarkan bahwa setiap kata yang terucap tercatat, menjadi saksi atas siapa diri kita. Maka siapa yang ingin menjaga kualitas dirinya, harus menjaga ucapannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Komunikasi bukan hanya tentang berbicara, tapi juga tentang mendengar dengan hati, merespons dengan adab, dan menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti. Dalam Islam, berbicara yang baik (qaulan ma’rufan) merupakan ciri keimanan dan bagian dari amal shalih. Allah berpesan:

﴿ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا ﴾

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Betapa banyak perselisihan yang bermula dari lidah yang tidak dijaga, dan betapa banyak pula kedamaian yang terlahir dari satu kata yang penuh kasih dan bijaksana. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah teladan terbaik dalam berkomunikasi. Beliau berbicara dengan jelas, sederhana, sesuai kemampuan pendengar, tidak berlebihan, dan selalu memancarkan rahmat dalam ucapannya.

Dalam sebuah hadis, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

«مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ»

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, melainkan beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya selama tidak berdosa. Jika berdosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Bukhari no. 3560 dan Muslim no. 2327)

Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam memilih kata dan sikap, Rasulullah mengutamakan kelembutan, kemudahan, dan menghindari kekerasan hati.

Adab berbicara juga termasuk menahan diri dari ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan ucapan kotor. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperingatkan:

«لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ، وَلَا اللَّعَّانِ، وَلَا الْفَاحِشِ، وَلَا الْبَذِيءِ»

“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.” (HR. Tirmidzi no. 1977, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Berkomunikasi dengan baik tidak berarti harus selalu memuji atau menyenangkan orang, namun berbicara dengan niat yang benar, pilihan kata yang tepat, dan niat untuk membangun, bukan merobohkan. Kita diajarkan dalam Islam prinsip qaulan sadidan (perkataan yang benar dan lurus), sebagaimana firman Allah:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)

Maka, kualitas seseorang tak diukur dari seberapa banyak dia berbicara, tapi seberapa besar kebaikan dan kejujuran yang terlahir dari lisannya. Kata-kata yang jujur, santun, penuh kasih sayang, adalah cermin bening dari hati yang bersih.

Sungguh, lisan itu ibarat anak panah; sekali meluncur, sulit kembali. Sebab itu, Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah pernah berpesan:

“Jika seseorang ingin berbicara, hendaklah ia berpikir dulu. Jika tampak bahwa dalam diam ada keselamatan, maka diamlah. Jika berbicara lebih bermanfaat, maka berbicaralah dengan baik.”

Dalam dunia modern yang serba cepat ini, kita kerap tergoda untuk asal berbicara, tergesa merespons, tanpa memikirkan dampaknya. Padahal, sebijak apa kita menahan lidah adalah sebijak itulah kita menjaga kehormatan diri. Semakin tinggi keimanan seseorang, semakin halus dan bijaksana pula ucapannya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ»

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kata yang diridhai Allah, tanpa ia menyadarinya, Allah akan mengangkat derajatnya karenanya. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kata yang dimurkai Allah, tanpa ia menyadarinya, maka ia akan terjerumus karenanya ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 6478)

Akhirnya, marilah kita berusaha memperbaiki cara kita berkomunikasi. Jadikan setiap kata sebagai amal saleh, jadikan setiap ucapan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya. Ingatlah selalu, jatidiri kita sesungguhnya terbaca dari apa yang kita ucapkan, bagaimana kita berbicara, dan bagaimana kita membawa diri dalam pergaulan.

Semoga Allah membimbing lisan kita untuk selalu berkata benar, berkata baik, dan berkata yang menghidupkan hati.

اللهم أصلح لساني وقلبي وجوارحي، واجعل كلامي ذكرًا، وصمتي فكرًا، ونظري عبرةً

“Ya Allah, perbaikilah lisanku, hatiku, dan seluruh anggota tubuhku. Jadikanlah ucapanku sebagai zikir, diamku sebagai tafakur, dan pandanganku sebagai pelajaran.”

Berpikir Kritis Seperti Ibrahim

MENJELANG Iduladha 1446 Hijriah, kisah ketakwaan Nabi Ibrahim AS kembali menjadi bahan renungan banyak orang. Sebagaimana diceritakan dalam berbagai...
spot_img

More Articles Like This