Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Di malam sunyi yang penuh cahaya,
Rohman bersimpuh, khusyuk berdoa.
Sarungnya rapi, tasbih berkilauan,
Di bibirnya zikir, hatinya harapan.
“Malam ke-23,” bisiknya lirih,
“Seribu bulan, pahala tertinggi.”
Tunduk ia dalam sajadah panjang,
Mengharap rahmat, mengemis ampunan.
Namun di luar, di batas jalan,
Seorang bapak tetap bertahan.
Gerobak tua, minyak mendidih,
Gorengan hangus, napas tersedih.
Tangannya gemetar, matanya sayu,
Menunggu rezeki yang belum tentu.
Sekelompok pemuda datang tertawa,
Gerobaknya miring, dagangannya tumpah.
“Pak, gratisan! Tambah pahala!”
Tawa mereka mengiris luka.
Si bapak diam, tersenyum lemah,
“Maaf, Nak, ini untuk keluarga…”
Rohman melirik, sekilas saja,
Tapi ia kembali menunduk kepala.
“Malam ini suci, tak boleh terganggu,
Urusan dunia biar berlalu.”
Lantunan doa, kalam ilahi,
Membawa Rohman ke langit tinggi.
Namun esok fajar membuka tanya,
Sebuah khutbah menggema nyata:
“Ibadah bukan sekadar sholat,
Bukan sekadar dzikir yang khusyuk dan kuat.
Jika kau diam melihat dholim,
Di mana tanda imanmu yang hakiki?”
Rohman tersentak, jiwanya guncang,
Ingat kejadian semalam yang hilang.
Mungkin pahala ia buru berulang,
Tapi makna ibadah ia abaikan.
Apakah lailatul qadar sebatas ritual?
Atau seharusnya menjadi transformasi total?
Apakah hanya mengejar transaksi,
Atau mengubah diri dan hati?
Jika benar malam ini mulia,
Seharusnya ia membawa cahaya.
Mengubah diri, mengubah dunia,
Menjadi insan penuh makna.
Karena ibadah bukan sekadar doa,
Tapi juga peduli pada sesama.
Bukan hanya tunduk dalam sujud,
Tapi berdiri tegak melawan kezaliman yang wujud.
Lailatul Qadar, malam penuh kemuliaan,
Bukan sekadar angka, bukan sekadar hitungan.
Tapi cermin bagi jiwa yang jujur,
Adakah ibadahnya benar-benar luhur?