Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Kabir melangkah pelan di atas aspal yang panas, kaki kecilnya telanjang, menapak langsung pada jalanan yang penuh debu dan kerikil. Di bahunya, tas plastik berisi puluhan bungkus kerupuk bergoyang seiring langkahnya. Matahari bersinar terik, membakar punggungnya yang kurus, tapi ia terus berjalan, berkeliling dari satu gang ke gang lain, dari satu rumah ke rumah berikutnya.
“Kerupuk, Bu… beli kerupuknya, Bu…” suaranya lirih namun tetap berusaha terdengar ramah.
Seorang ibu yang sedang menyapu halaman meliriknya sebentar, lalu menggeleng. “Maaf, Nak, lagi nggak ada uang kecil.”
Kabir tersenyum tipis. Ia sudah sering menerima jawaban seperti itu. Tanpa banyak bicara, ia melanjutkan langkahnya, menuju warung kecil di ujung jalan.
Kabir baru berusia tujuh tahun, tapi hidup sudah mengajarinya banyak hal. Ia tinggal bersama neneknya, seorang buruh cuci panggilan yang pendapatannya tak menentu. Ibunya entah di mana, dan ayahnya hanya kabar angin yang sesekali terdengar. Sejak kecil, Kabir sudah mengerti bahwa ia tidak bisa hanya menunggu rezeki datang. Ia harus mencarinya sendiri.
Setiap pagi, Kabir pergi ke sekolah dengan seragam yang sudah kusam, namun tetap rapi. Pulang sekolah, ia tidak langsung bermain seperti anak-anak lain. Ia harus mengambil kerupuk dari rumah pemiliknya, lalu berkeliling menjualnya. Upahnya hanya Rp2.500 per bungkus, tapi bagi Kabir, itu sudah cukup untuk membeli nasi dan lauk sederhana.
Hari ini, Kabir harus menjual semua kerupuknya. Kontrakan neneknya sudah menunggak dua bulan, dan pemilik rumah mulai mengancam akan mengusir mereka.
“Nek, kalau kita diusir, kita tinggal di mana?” tanyanya tadi pagi sebelum berangkat sekolah.
Sang nenek hanya tersenyum lemah. “Allah pasti menolong kita, Nak. Kamu jangan khawatir.”
Tapi Kabir tetap khawatir. Ia tidak ingin tidur di emperan toko seperti beberapa anak jalanan yang sering ia lihat.
Siang semakin terik. Kabir menyeka keringat di dahinya. Perutnya mulai keroncongan, tapi ia menahan diri. Ia harus menjual kerupuknya dulu, baru bisa membeli makanan.
Di pinggir jalan, ia melihat seorang bapak tua duduk di atas becak, tampak kelelahan. Kabir mendekat.
“Pak, beli kerupuknya, Pak?”
Bapak itu membuka mata, tersenyum samar. “Berapa harganya, Nak?”
“Lima ribu satu bungkus, Pak.”
Bapak itu merogoh kantongnya, lalu menggeleng. “Maaf, Nak. Bapak lagi nggak ada uang.”
Kabir terdiam sejenak. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia membuka satu bungkus kerupuk dan menyerahkannya kepada bapak itu.
“Ini buat Bapak aja. Gratis,” katanya.
Bapak itu menatapnya heran. “Kamu yakin?”
Kabir mengangguk. “Iya, Pak. Bapak pasti capek. Kerupuk ini enak, kok.”
Bapak itu menerima kerupuk itu dengan tangan bergetar. “Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu.”
Kabir tersenyum. Ia tidak tahu apakah perbuatannya benar atau tidak, tapi setidaknya hatinya merasa sedikit lebih ringan.
Hari mulai sore, dan Kabir baru menjual separuh kerupuknya. Ia mulai cemas. Jika tidak laku semua, ia tidak akan punya cukup uang untuk membantu neneknya membayar kontrakan.
Di tengah pikirannya yang kusut, seorang pria dengan motor berhenti di depannya. “Dik, kamu jual kerupuk, ya?”
Kabir mengangguk. “Iya, Bang. Mau beli?”
Pria itu tersenyum. “Saya beli semua, ya?”
Kabir terbelalak. “Semua, Bang?”
“Iya, semua.” Pria itu mengambil dompetnya, menyerahkan sejumlah uang kepada Kabir. “Ini lebih, buat kamu beli minum juga.”
Kabir menerima uang itu dengan tangan gemetar. “Makasih, Bang… makasih banyak.”
Pria itu hanya tersenyum, lalu pergi. Kabir menatap uang di tangannya. Lebih dari cukup untuk membayar kontrakan.
Ia ingin berlari pulang dan memberi tahu neneknya. Tapi, sebelum itu, ia singgah di warung, membeli sebungkus nasi dan es teh dingin.
Ia berjalan perlahan, menikmati nasi hangat dan es teh yang menyegarkan tenggorokannya. Hari ini berat, tapi ia berhasil melewatinya.
Hidup memang tidak pernah mudah, tapi Kabir percaya, selama ia terus melangkah, selalu ada harapan di depan sana.