Jumat, Januari 24, 2025
No menu items!

Lika-liku Kehidupan Paruh Baya (2): Teman sekaligus Konselor

Must Read

Oleh: Sugiyati, S.Pd | Guru SMA Negeri 1 Ambarawa Kabupaten Semarang

MALAM itu, Nina tidak bisa tidur. Tatapan kosong Arman dan sikapnya yang menghindar terus terbayang di pikirannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak tahu bagaimana cara mendekatinya. Nina akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Rani, sahabat sekaligus konselornya.

Keesokan harinya, Nina mengunjungi Rani di kantornya. Setelah mendengar cerita Nina, Rani memberikan saran.

“Nina, saat ini fokusmu harus membantu Arman membuka dirinya. Jangan terburu-buru menuntut jawaban. Kadang, seseorang hanya butuh ruang untuk merasa bahwa mereka didengar.”

“Tapi, Rani, bagaimana kalau aku salah langkah? Bagaimana kalau aku justru membuat dia semakin menjauh?”

Rani tersenyum lembut. “Itu risiko yang harus kamu ambil. Tapi ingat, komunikasi yang baik membutuhkan kesabaran. Jika kamu merasa hipnoterapi bisa menjadi jalan, gunakan pendekatan itu secara perlahan.”

Nina memutuskan untuk mencoba metode sederhana yang ia pelajari dari kursus hipnoterapi. Malam itu, setelah anak-anak tidur, ia memberanikan diri mendekati Arman yang sedang duduk di balkon.

Baca juga: Lika-liku Kehidupan Paruh Baya (1): Mulai Berubah

“Mas, aku ingin bicara,” ucap Nina lembut.

Arman menghela napas. “Kamu nggak capek terus nanya kabarku?”

Nina tersenyum kecil. “Capek, tapi aku nggak akan berhenti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini untuk mendengarkan.”

“Mas, bolehkah aku membantu kamu rileks? Aku belajar beberapa teknik sederhana. Mungkin ini bisa membantu kamu merasa lebih tenang.”

Arman tidak langsung merespons, tetapi ia tidak pergi seperti biasanya. Nina melihat ini sebagai tanda bahwa mungkin, perlahan-lahan, ia bisa masuk ke dalam dinding emosional suaminya.

“Mas, bolehkah aku membantu kamu rileks? Aku belajar beberapa teknik sederhana. Mungkin ini bisa membantu kamu merasa lebih tenang.”

Arman menatap Nina dengan alis terangkat. “Teknik apa lagi sekarang?”

“Ini hanya latihan pernapasan dan relaksasi. Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa berhenti kapan saja.”

Setelah beberapa saat ragu, Arman akhirnya mengangguk pelan. Nina mulai memandu suaminya dengan suara lembut, meminta Arman menutup matanya dan fokus pada napasnya.

Meskipun sesi itu hanya berlangsung beberapa menit, Nina bisa merasakan perbedaan kecil. Ketika Arman membuka matanya, ia terlihat sedikit lebih tenang.

“Terima kasih,” katanya singkat sebelum bangkit dan masuk ke dalam.

Bagi Nina, itu sudah cukup untuk malam itu.

Namun, konflik di rumah semakin rumit. Keesokan harinya, Raka dan Hana terlibat pertengkaran besar. Hana menuduh Raka mengambil uang dari dompetnya, sementara Raka bersikeras bahwa ia tidak melakukannya.

“Bu, dia selalu nuduh aku! Aku ini bukan pencuri!” seru Raka dengan suara tinggi.

“Kalau bukan kamu, siapa lagi? Uang itu hilang begitu aja?” balas Hana dengan nada tajam.

Nina mencoba melerai, tetapi emosinya sendiri mulai terkuras. Ia sadar bahwa ketegangan antara Arman dan dirinya telah memengaruhi anak-anak.

“Sudah cukup!” Nina berseru. “Kita nggak akan menyelesaikan apa pun dengan saling tuduh. Biarkan Ibu yang cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Namun, situasi semakin runyam ketika Arman pulang lebih awal dari biasanya dan langsung mendengar keributan itu.

“Ada apa lagi sekarang?” tanyanya dengan nada dingin.

Hana melirik ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah, Raka ambil uangku, tapi dia nggak mau ngaku!”

“Aku bilang aku nggak ambil!” Raka balas berteriak.

Arman menghela napas panjang. “Cukup. Aku nggak mau dengar satu kata pun lagi. Kalau kalian nggak bisa berhenti bertengkar, jangan heran kalau Ayah nggak betah di rumah.”

Kalimat itu menghantam semua orang seperti pukulan keras. Hana langsung berlari ke kamarnya, sementara Raka pergi keluar rumah tanpa pamit.

Nina berdiri terpaku, menatap Arman dengan mata penuh amarah. “Mas, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap seperti ini! Anak-anak butuh kamu!”

“Dan aku butuh ketenangan!” balas Arman sebelum masuk ke kamar dan membanting pintu.

Hari-hari berikutnya, Nina mencoba mendekati Hana dan Raka secara terpisah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku cuma pengen Ayah nggak cuek sama kita, Bu,” ucap Hana sambil menangis. “Kalau dia perhatian, aku nggak bakal merasa harus ngeluh ke Ibu terus.”

Raka, di sisi lain, merasa semakin jauh dari keluarganya. “Ayah nggak pernah ada buat aku, Bu. Kenapa aku harus terus peduli?”

Perkataan kedua anaknya membuat Nina semakin tertekan. Ia sadar bahwa situasi di rumah tidak bisa dibiarkan seperti ini.

Pada suatu malam, Nina memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Ia mengatur pertemuan keluarga di ruang tamu.

“Mas, aku minta kita semua duduk bersama malam ini. Ada yang perlu kita bicarakan.”

Arman awalnya menolak, tetapi akhirnya setuju setelah melihat kesungguhan Nina.

Ketika semua sudah berkumpul, Nina membuka pembicaraan. “Aku tahu akhir-akhir ini banyak masalah di rumah. Kita semua merasa frustrasi, tapi ini bukan alasan untuk saling menyalahkan.”

Hana langsung menyela. “Bu, aku nggak ngerti kenapa Ayah nggak pernah peduli lagi sama kita.”

Arman membuka mulut untuk membalas, tetapi Nina mengangkat tangan untuk menghentikannya.

“Aku tahu kita semua punya perasaan masing-masing. Tapi kalau kita nggak bicara dari hati ke hati, masalah ini nggak akan selesai.”

Suasana menjadi tegang, tetapi perlahan-lahan, semua mulai berbicara. Raka mengungkapkan rasa kesepiannya, Hana menyuarakan kebutuhannya akan perhatian, dan Nina berbagi kekhawatirannya tentang keluarga mereka.

Arman mendengarkan semuanya dengan wajah datar, tetapi matanya menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang mendalam.

Namun, sebelum Nina sempat menyimpulkan pertemuan itu, Arman tiba-tiba berdiri.

“Maaf, aku nggak bisa. Ini terlalu berat buatku.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia meninggalkan ruang tamu dan keluar rumah.

Nina terduduk dengan perasaan hancur, sementara Hana dan Raka saling menatap dengan kebingungan.

“Bu, apa Ayah benar-benar nggak peduli lagi sama kita?” tanya Hana dengan suara kecil.

Nina menggeleng pelan. “Ibu yakin Ayah peduli, tapi mungkin dia sedang berjuang dengan sesuatu yang belum bisa dia ceritakan.”

Malam itu, Nina bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu bahwa Arman membutuhkan bantuan, tetapi kali ini ia harus melibatkan pihak lain.

Arman berjalan di bawah hujan, pikirannya penuh dengan konflik yang tak terucapkan. Sementara itu, Nina mulai merencanakan langkah berikutnya, bertekad untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. (bersambung)

Makna Mendalam Sayyidul Istighfar: Jalan Tobat yang Agung

JAKARTAMU.COM | Sayyidul Istighfar adalah doa yang mengandung makna mendalam tentang tauhid, penghambaan, dan pengakuan dosa. Dalam doa ini,...

More Articles Like This