Jumat, Januari 24, 2025
No menu items!

Lika-liku Kehidupan Paruh Baya (3): Hadir untuk Raka

Must Read

Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang

HUJAN turun deras malam itu, seperti mencerminkan kekacauan yang sedang melanda keluarga Nina. Arman tak kembali ke rumah hingga larut malam. Nina, meskipun khawatir, berusaha menahan diri untuk tidak menghubungi suaminya. Ia tahu bahwa Arman butuh waktu untuk sendiri, tapi kegelisahannya tetap tak bisa hilang.

Di saat yang sama, Hana mengunci diri di kamar dengan perasaan marah dan kecewa. Sementara itu, Raka, yang biasanya melampiaskan emosinya lewat bermain basket di luar, hanya duduk di sofa, memainkan ponselnya tanpa suara. Nina memutuskan untuk membiarkan mereka sendiri malam itu, fokus utamanya adalah mencari cara untuk menjembatani konflik yang kian memanas.

Keesokan paginya, Arman pulang. Ia tampak lelah, rambutnya sedikit basah karena sisa gerimis. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Nina ingin bertanya di mana suaminya menghabiskan malam, tetapi ia menahan diri.

Ketika sarapan bersama, suasana tegang masih terasa. Hana hanya mengaduk-aduk bubur di mangkuknya tanpa makan, sementara Raka memilih makan di depan TV. Nina memandang Arman dengan harapan bahwa mungkin hari ini ada percakapan yang lebih baik, tetapi lelaki itu hanya fokus pada koran di tangannya.

“Mas,” Nina akhirnya membuka suara, “malam ini aku ingin kita bicara lagi, tapi kali ini dengan bantuan orang luar. Aku sudah menghubungi konselor keluarga.”

Arman mengangkat tatapannya. “Kamu pikir kita butuh orang lain untuk menyelesaikan masalah kita?”

“Mas, kita butuh bantuan. Ini bukan hanya soal kamu atau aku, ini soal kita semua.”

Arman menghela napas, tetapi tidak menjawab.

Nina akhirnya mengajak seluruh keluarganya ke kantor Rani, sahabatnya yang juga konselor keluarga. Awalnya, Arman tampak enggan, tetapi setelah sedikit bujukan dari Nina, ia akhirnya setuju.

Di ruang konseling, Rani memulai dengan lembut. “Terima kasih sudah datang. Saya tahu tidak mudah untuk berada di sini, tapi ini adalah langkah besar.”

Hana langsung angkat bicara. “Kenapa kita harus ada di sini kalau Ayah nggak mau dengar apa pun yang kita katakan?”

Raka menambahkan, “Iya, selama ini Ayah kayak nggak peduli sama kita.”

Arman mendesah panjang. “Aku peduli. Aku hanya… aku punya banyak hal yang kupikirkan.”

“Tapi kenapa Ayah nggak pernah cerita?” potong Hana dengan suara bergetar.

Rani menyela dengan lembut. “Baik, mungkin kita bisa mulai dengan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh Pak Arman. Apa yang sebenarnya sedang Anda rasakan?”

Namun, Arman hanya terdiam. Rani mencoba berbagai pendekatan, tetapi Arman tetap menutup diri.

Pertemuan itu berakhir tanpa hasil yang signifikan. Hana dan Raka tampak semakin kecewa, sementara Nina merasa semakin putus asa.

Di rumah, situasi semakin memburuk. Hana mulai sering menghindari ayahnya, bahkan untuk hal-hal kecil seperti meminta izin pergi ke rumah temannya. Sementara itu, Raka mulai menunjukkan tanda-tanda pemberontakan. Ia pulang lebih larut dari biasanya dan beberapa kali bolos latihan basket.

Suatu malam, Nina menemukan selembar surat peringatan dari sekolah Raka di laci meja belajar. Isinya menyatakan bahwa Raka telah beberapa kali absen tanpa izin.

“Raka!” Nina memanggil dengan nada tinggi.

Anaknya muncul dengan wajah santai. “Ada apa, Bu?”

“Apa ini?” Nina menunjukkan surat tersebut.

Raka mengangkat bahu. “Aku malas sekolah, Bu.”

“Kenapa malas? Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Karena percuma, Bu. Ayah nggak peduli sama aku. Aku mau sekolah bagus atau nggak, Ayah nggak akan lihat!”

Nina mencoba menenangkan dirinya. “Raka, Ayah peduli. Dia hanya—”

“Jangan bilang Ayah peduli kalau dia sendiri nggak pernah ada buat aku!” Raka memotong.

Perkataan itu menghantam Nina seperti pukulan. Ia tahu bahwa Arman harus segera dilibatkan lebih dalam sebelum semuanya terlambat.

Malam itu, setelah anak-anak tidur, Nina mendekati Arman yang sedang duduk sendirian di ruang tamu.

“Mas,” ucapnya perlahan, “kita nggak bisa terus seperti ini. Anak-anak butuh kamu.”

“Dan aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Nina. Kamu nggak ngerti apa yang aku rasakan.”

“Kalau begitu, ceritakan. Aku ingin mengerti.”

Arman terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbicara. “Aku merasa gagal, Nina. Di usia seperti ini, aku mulai meragukan semua keputusan yang pernah aku buat. Pekerjaan, keluarga, semuanya. Aku takut.”

Nina terkejut mendengar pengakuan itu. Ini adalah pertama kalinya Arman benar-benar membuka diri.

“Aku tahu ini berat, Mas. Tapi aku ada di sini untuk mendukungmu. Kita semua ada untuk kamu.”

“Aku nggak yakin aku pantas untuk itu,” jawab Arman dengan suara pelan.

Nina menggenggam tangan suaminya. “Mas, kamu harus percaya bahwa keluarga ini membutuhkanmu. Hana dan Raka butuh kamu.”

Arman mengangguk pelan, tetapi masih tampak ragu.

Beberapa hari kemudian, situasi berubah ketika Raka terlibat dalam masalah di sekolah. Ia ketahuan berkelahi dengan teman sekelasnya dan dipanggil ke ruang kepala sekolah.

Nina mendampingi Raka dalam pertemuan itu. Namun, kepala sekolah dengan tegas meminta agar Arman juga hadir dalam pertemuan lanjutan.

“Pak Arman perlu datang. Ini bukan hanya soal disiplin, tapi juga soal mendukung Raka secara emosional,” ujar kepala sekolah.

Nina tahu bahwa ini adalah momen penting. Ia harus meyakinkan Arman untuk hadir.

Malam sebelum pertemuan, Nina mendekati suaminya. “Mas, ini penting. Kalau kamu nggak datang, Raka akan merasa semakin jauh dari kamu.”

“Aku nggak tahu harus berkata apa,” jawab Arman pelan.

“Kamu nggak perlu berkata banyak. Kamu hanya perlu hadir. Itu saja sudah cukup buat dia.”

Pada hari pertemuan, Arman akhirnya datang. Meskipun awalnya canggung, kehadirannya membuat Raka merasa sedikit lebih tenang. Kepala sekolah berbicara panjang lebar tentang pentingnya peran keluarga dalam mendukung anak-anak, terutama di usia remaja.

Setelah pertemuan selesai, Arman menepuk bahu Raka. “Maaf kalau Ayah nggak selalu ada buat kamu. Tapi Ayah akan coba lebih baik.”

Raka menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah janji?”

Arman mengangguk. “Ayah janji.”

Namun, meski momen itu memberikan harapan, konflik lain diam-diam mulai mendekat. Nina menerima telepon dari seseorang yang mengaku mengenal Arman secara pribadi. Orang itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan—sesuatu yang membuat Nina merasa bahwa mungkin, masalah di keluarga mereka lebih besar daripada yang ia bayangkan.

Nina memandang ponselnya dengan tangan gemetar, hatinya penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya yang baru saja menelepon? Apa hubungannya dengan Arman? (Bersambung)

Pagar Laut Tangerang: Membaca Bahasa Tubuh Titiek Soeharto

JAKARTAMU.COM | Hari Rabu 22 Januari 2025 menjadi hari bersejarah bagi nelayan di Perairan perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang,...

More Articles Like This