Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang
MALAM itu, Nina termenung di ruang tengah. Suara jam dinding terdengar jelas di tengah keheningan rumah yang biasanya penuh obrolan. Hana, putrinya, baru saja masuk ke kamarnya dengan wajah yang murung, sementara Arman belum juga pulang dari pekerjaan. Perasaan Nina tidak tenang. Sejak Arman menerima telepon misterius beberapa hari lalu, suasana di rumah menjadi berbeda. Suaminya tampak semakin sering melamun, menghindari percakapan, dan lebih sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas.
Ketika Nina tengah berusaha memecahkan kebisuan pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal:
“Anda mungkin tidak mengenal saya, tetapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui tentang suami Anda.”
Nina terdiam, membaca pesan itu berulang kali. Ada perasaan takut dan penasaran yang bercampur aduk. Ia ingin mengabaikannya, tetapi rasa ingin tahunya terlalu besar. Dengan hati-hati, ia membalas pesan tersebut. Balasan itu datang dengan cepat:
“Datanglah ke kafe di ujung jalan besok siang. Saya akan menunjukkan sesuatu.”
Keesokan harinya, Nina mencoba mencari alasan untuk pergi tanpa diketahui oleh Arman atau anak-anaknya. Ia berkata kepada Raka bahwa ia ada urusan dengan Rani, sahabatnya, yang memang biasa menjadi tempatnya berbagi cerita. Di kafe yang disebutkan dalam pesan, Nina bertemu dengan seorang wanita yang tampak berusia sekitar 40-an tahun, berpakaian rapi, dan membawa sebuah amplop cokelat.
“Apa maksud pesan Anda?” tanya Nina dengan nada tegas, tetapi berusaha tetap tenang.
Wanita itu tersenyum tipis. “Nama saya Wina. Saya… seseorang dari masa lalu Arman.”
Nina terpaku, mencoba mencerna ucapan wanita itu. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Wina menyerahkan amplop itu kepadanya. “Lihatlah ini. Anda perlu tahu apa yang telah ia sembunyikan dari Anda selama ini.”
Dengan tangan gemetar, Nina membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa foto lama Arman bersama Wina, terlihat akrab dan mesra. Ada juga beberapa dokumen yang tampaknya berkaitan dengan hutang besar.
“Saya tidak datang untuk menghancurkan keluarga Anda,” ujar Wina. “Saya hanya ingin memastikan Arman memenuhi janjinya kepada saya.”
Nina menatap wanita itu dengan penuh emosi. “Apa sebenarnya hubungan Anda dengan suami saya? Dan apa yang Anda inginkan?”
“Semua ada di dalam dokumen itu. Jika Anda ingin tahu lebih banyak, tanyakan langsung pada Arman,” jawab Wina sebelum pergi, meninggalkan Nina yang masih terdiam di kursinya.
Ketika Nina pulang, ia mencoba bersikap normal, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apa sebenarnya yang terjadi antara Arman dan Wina? Mengapa suaminya tidak pernah bercerita tentang hal ini? Malam itu, ketika anak-anak sudah tidur, Nina akhirnya memutuskan untuk mengkonfrontasi Arman.
“Arman, kita perlu bicara,” ujar Nina saat suaminya baru saja duduk di sofa.
“Ada apa, Nina?” tanya Arman, tampak lelah.
Nina menunjukkan amplop cokelat yang ia bawa pulang dari pertemuannya dengan Wina. “Apa ini? Dan siapa Wina?”
Wajah Arman seketika berubah. Ia terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Nina, aku bisa jelaskan semuanya. Tapi ini bukan saat yang tepat.”
“Bukan saat yang tepat? Sudah berapa lama kau menyimpan rahasia ini dariku? Kau tahu betapa sulitnya aku menjaga keluarga ini tetap utuh, sementara kau…” Suara Nina bergetar, mencoba menahan emosinya.
Arman menghela napas panjang. “Dengar, aku memang mengenal Wina. Tapi dia adalah bagian dari masa lalu. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”
“Benarkah? Lalu apa maksud dari dokumen-dokumen ini? Hutang? Kau bahkan tidak pernah bercerita tentang masalah keuangan ini padaku!”
Sebelum Arman sempat menjawab, suara Hana terdengar dari lantai atas. Ia menangis keras, memanggil Nina. Dengan cepat, Nina berlari ke kamar putrinya, meninggalkan Arman di ruang tamu yang tampak bimbang.
Di kamar Hana, Nina menemukan putrinya duduk di lantai dengan wajah basah oleh air mata.
“Ada apa, sayang? Apa yang terjadi?” tanya Nina lembut, mencoba menenangkan Hana.
“Aku… aku merasa tidak ada yang peduli padaku,” ujar Hana sambil terisak. “Papa selalu sibuk, dan Mama… Mama juga hanya memperhatikan Raka. Aku merasa tidak ada tempat di rumah ini.”
Hati Nina terasa hancur mendengar ucapan putrinya. Ia sadar bahwa di tengah semua kekacauan yang sedang ia hadapi dengan Arman, ia tanpa sengaja mengabaikan perasaan Hana.
Nina memeluk Hana erat, membelai rambutnya. “Maafkan Mama, sayang. Mama tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Kamu selalu penting untuk Mama.”
Hana terus menangis di pelukan Nina, sementara di luar kamar, Arman berdiri diam, mendengar semuanya. Ia tampak tertekan, tetapi tidak tahu harus melakukan apa.
Malam itu berlalu dengan perasaan tidak menentu. Nina merasa ada begitu banyak hal yang harus ia urus: rahasia suaminya, perasaan putrinya, dan keinginannya sendiri untuk menjaga keluarganya tetap utuh. Sementara itu, Arman mulai menyadari bahwa keputusan-keputusan yang ia buat di masa lalu kini menghantuinya.
Ketika Nina akhirnya mencoba beristirahat di kamar, ia menerima pesan lain dari nomor tak dikenal:
“Ini belum selesai.”
Pesan itu membuat Nina semakin waspada. Ia tahu bahwa apa pun yang sedang terjadi, ini baru permulaan dari konflik yang lebih besar.
Nina menatap layar ponselnya dengan wajah penuh kebingungan dan kekhawatiran, sementara di ruang lain, Arman duduk termenung, memegang amplop yang berisi foto-foto dan dokumen dari Wina. Hana terjaga di kamarnya, memikirkan keputusannya untuk tinggal di rumah atau meninggalkan keluarga. (Bersambung)