Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang
PAGI itu, suasana rumah Nina dan Arman terasa tegang. Setelah malam penuh air mata dan rahasia, keluarga mereka tampak seperti bom waktu yang siap meledak. Arman duduk di meja makan dengan tatapan kosong, sementara Nina sibuk dengan ponselnya, mencoba mencari informasi tentang Wina. Hana dan Raka, yang biasanya ceria, lebih memilih berdiam diri di kamar masing-masing.
Namun, ketegangan itu pecah ketika Hana tiba-tiba keluar dari kamarnya dengan sebuah koper kecil di tangan.
“Mama, aku mau tinggal di rumah Tante Lia untuk sementara,” ucapnya tegas.
Nina yang sedang memeriksa ponsel langsung berbalik. “Apa maksudmu, Hana? Kenapa kamu mau pergi?”
“Aku merasa tidak ada yang peduli di sini. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Mama dan Papa terus bertengkar, dan Raka… dia bahkan tidak pernah peduli dengan aku,” jawab Hana dengan suara bergetar, meski mencoba terlihat tegar.
“Hana, ini rumahmu. Kita bisa menyelesaikan ini bersama-sama,” Nina mencoba menahan tangisnya.
“Tidak, Ma. Aku butuh waktu untuk sendiri. Kalau Mama dan Papa benar-benar peduli, selesaikan masalah kalian dulu,” jawab Hana sebelum berjalan keluar rumah.
Nina ingin mengejarnya, tetapi Arman menghentikannya. “Biarkan dia pergi sementara. Dia butuh waktu,” katanya dengan nada lelah.
Kepergian Hana semakin memperburuk suasana di rumah. Raka, yang diam-diam mendengar percakapan itu, mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, tetapi ia juga merasa bersalah karena tidak memahami perasaan adiknya.
Di sisi lain, Nina semakin tenggelam dalam usahanya mencari tahu lebih banyak tentang Wina. Ia akhirnya menemukan profil media sosial wanita itu dan beberapa postingan lama yang menunjukkan keterlibatan Arman dalam proyek besar beberapa tahun lalu. Proyek itu ternyata gagal, meninggalkan hutang besar yang hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan.
Nina memutuskan untuk menghadapi Arman lagi. Kali ini, ia ingin jawaban yang jelas.
“Arman, aku sudah cukup lelah dengan semua ini. Jika kamu tidak jujur padaku sekarang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada keluarga kita,” ucap Nina dengan nada tegas.
Arman menatap Nina dengan wajah penuh penyesalan. “Baik, aku akan cerita semuanya. Tapi aku mohon, dengarkan aku sampai selesai.”
Nina mengangguk, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran.
Arman mulai bercerita tentang proyek besar yang ia jalani dengan Wina sepuluh tahun lalu. Saat itu, mereka berdua adalah rekan kerja yang sangat dekat. Proyek tersebut menjanjikan keuntungan besar, tetapi karena kesalahan perhitungan dan beberapa keputusan buruk, proyek itu gagal total. Akibatnya, Arman dan Wina harus menanggung hutang yang besar.
“Waktu itu, aku takut memberitahumu, Nina. Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri, tapi ternyata tidak semudah itu. Wina membantuku mencicil sebagian hutang itu, tapi sekarang dia meminta bagian yang seharusnya menjadi tanggung jawabku,” jelas Arman.
Nina terdiam, mencoba mencerna cerita itu. “Dan apa hubunganmu dengan Wina selain rekan kerja?”
Arman terlihat ragu, tetapi akhirnya menjawab. “Kami memang sempat dekat secara emosional, tapi tidak lebih dari itu. Aku tidak pernah mengkhianatimu, Nina. Itu yang harus kamu percaya.”
Namun, ucapan itu tidak sepenuhnya menenangkan Nina. Ada sesuatu dalam ekspresi Arman yang membuatnya merasa bahwa ia belum mendengar seluruh kebenaran.
Sementara itu, di rumah Lia, Hana mulai merasa sedikit tenang. Tante Lia, kakak Nina yang selalu ceria, mencoba membantu Hana melupakan masalah di rumah. Tetapi di balik senyumannya, Lia juga khawatir tentang kondisi adiknya.
“Hana, kamu tahu, Mama dan Papa sangat menyayangimu. Mereka hanya sedang menghadapi banyak masalah. Mungkin kamu bisa membantu mereka, bukan meninggalkan mereka,” ujar Lia suatu malam.
“Aku sudah mencoba, Tante. Tapi mereka tidak mendengarkan aku. Rasanya seperti aku tidak ada di rumah itu,” jawab Hana.
Lia tersenyum lembut. “Terkadang, orang dewasa juga butuh bantuan, Hana. Mereka mungkin tidak menunjukkannya, tapi mereka pasti merindukanmu.”
Kata-kata itu membuat Hana merenung. Ia mulai berpikir untuk kembali ke rumah, tetapi rasa kecewanya pada Arman dan Nina masih sangat besar.
Di tempat lain, masalah baru muncul. Wina, yang merasa Arman tidak bergerak cepat menyelesaikan hutangnya, mulai menghubungi Nina secara langsung.
“Jika suamimu tidak bisa menyelesaikan ini, aku akan mengambil langkah hukum,” ancam Wina dalam sebuah panggilan telepon.
Nina merasa terpojok. Ia tidak ingin anak-anaknya tahu lebih jauh tentang masalah ini, tetapi ia juga tidak bisa terus menyembunyikannya.
Puncak ketegangan terjadi ketika Raka, yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia menemukan dokumen hutang yang disimpan Arman di kamar kerjanya.
“Papa, apa maksud semua ini?” tanya Raka dengan nada marah.
Arman terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi sebelum ia sempat memberikan penjelasan, Nina masuk ke ruangan.
“Kita harus bicara sebagai keluarga,” ujar Nina dengan tegas.
Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka bertiga duduk bersama membicarakan semua masalah. Nina dan Arman akhirnya menjelaskan situasi sebenarnya kepada Raka.
“Aku tidak ingin kalian menyembunyikan apa pun lagi dariku,” ujar Raka. “Kalau kita memang keluarga, kita harus menyelesaikan ini bersama.”
Nina merasa sedikit lega, tetapi masalah belum selesai. Mereka harus menemukan cara untuk menyelesaikan hutang itu tanpa melibatkan pihak luar.
Di tengah kekacauan ini, Hana tiba-tiba pulang ke rumah. Tetapi saat melihat ketegangan yang masih ada di antara Nina, Arman, dan Raka, ia bertanya dengan dingin, “Apa aku terlalu cepat kembali. (Bersambung)