Senin, Januari 27, 2025
No menu items!

Lika-liku Kehidupan Paruh Baya (6): Retakan yang Semakin Dalam

Must Read

Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang

Pagi yang seharusnya membawa harapan baru dimulai dengan keheningan yang mencekam. Pertanyaan Hana semalam masih menggantung di udara. Nina mencoba mendekatinya, tetapi tatapan dingin Hana membuatnya mengurungkan niat. Arman, yang biasanya menjadi penengah, malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Raka, yang baru mulai memahami skala masalah, hanya mengamati dari kejauhan.

Ketegangan semakin memuncak ketika Wina kembali menghubungi Nina, kali ini dengan nada yang lebih tegas. “Saya sudah cukup sabar, Nina. Kalau Arman tidak segera melunasi hutangnya, saya tidak punya pilihan selain mengambil jalur hukum.”

Nina merasa terpojok. Ia tahu keluarga mereka tidak memiliki sumber daya untuk menyelesaikan hutang dalam waktu singkat. Namun, ia tidak ingin anak-anaknya tahu lebih banyak tentang ancaman ini. “Berikan kami waktu. Saya akan bicara dengan Arman,” jawab Nina, berusaha tetap tenang.

Namun, Nina tahu bahwa ini bukan hanya tentang waktu. Wina semakin agresif, dan Nina mulai khawatir bahwa masalah ini akan membawa dampak lebih besar bagi keluarganya.

Di sisi lain, Raka mulai merasa terbebani dengan kenyataan yang baru diketahuinya. Ia mendekati Hana, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka yang retak.

“Hana, aku tahu aku bukan kakak yang baik. Aku sering sibuk dengan duniaku sendiri,” kata Raka dengan nada tulus.

Hana menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Kamu tahu apa, Kak? Aku cuma butuh seseorang yang mendengarkan aku. Tapi semua orang di rumah ini selalu sibuk dengan masalah mereka sendiri.”

“Aku janji akan lebih banyak mendengarkan,” jawab Raka. “Tapi sekarang, kita perlu bersatu untuk Mama dan Papa. Mereka butuh kita.”

Hana terdiam. Kata-kata Raka menyentuh hatinya, meski ia masih merasa kecewa dengan keadaan keluarga mereka.

Sementara itu, Nina dan Arman mencoba mencari solusi. Mereka memutuskan untuk menemui Wina secara langsung, berharap bisa membujuknya memberikan waktu tambahan.

Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe kecil. Wina, yang terlihat tegas dan tak kenal kompromi, menyambut mereka dengan senyum tipis. “Saya tidak mau bicara panjang lebar. Kalau kalian tidak bisa melunasi hutang, saya akan membawa ini ke pengadilan.”

Arman mencoba menjelaskan, “Wina, kami sedang berusaha. Saya mohon, beri kami waktu sedikit lagi.”

Namun, Wina tetap tidak goyah. “Arman, ini bukan hanya soal uang. Ini soal tanggung jawab. Dan saya lelah menunggu.”

Nina, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Wina, apa sebenarnya yang kamu inginkan dari kami? Jika ini soal dendam, selesaikanlah dengan saya. Tapi jangan libatkan anak-anak kami.”

Perkataan Nina membuat Wina terdiam sejenak, tetapi ia segera mengalihkan pembicaraan. “Saya hanya ingin hak saya. Tidak lebih.”

Pertemuan itu berakhir tanpa hasil yang memuaskan. Nina dan Arman pulang dengan perasaan hancur, sementara Wina tampak semakin yakin dengan keputusannya.

Di rumah, Hana akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya. Ia duduk di ruang tamu bersama Nina dan Arman, sementara Raka berdiri di sudut ruangan.

“Mama, Papa, aku ingin tahu semuanya. Aku lelah dengan semua rahasia di rumah ini,” ujar Hana tegas.

Nina dan Arman saling berpandangan. Mereka tahu ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada anak-anak mereka.

“Baik, Hana,” jawab Nina. “Kami akan menceritakan semuanya.”

Malam itu, mereka mengungkap seluruh masalah yang selama ini disembunyikan. Tentang proyek gagal Arman, hutang kepada Wina, dan ancaman yang kini menghantui keluarga mereka.

Hana dan Raka mendengarkan dengan seksama, meski hati mereka terasa berat. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Raka setelah semuanya terungkap.

“Kita akan mencari jalan keluar bersama,” jawab Nina dengan nada penuh tekad.

Namun, masalah semakin rumit ketika Wina mengirim surat peringatan resmi kepada Arman. Surat itu menjadi puncak dari segala ketegangan di rumah. Hana, yang biasanya pendiam, akhirnya meledak.

“Kenapa kita harus terus-terusan dihantui oleh kesalahan masa lalu, Papa? Kenapa Mama harus menanggung semuanya sendirian?”

Arman tidak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, merasa bersalah atas semua yang terjadi.

Raka mencoba menenangkan adiknya. “Hana, kita harus fokus mencari solusi. Marah tidak akan membantu.”

Nina, yang berusaha tegar, akhirnya tak bisa menahan air matanya. “Maafkan Mama dan Papa, Nak. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian.”

Akhir Seri 6: Di tengah keputusasaan, sebuah ide muncul. Raka menyarankan agar mereka menjual aset yang selama ini tidak terpakai untuk melunasi sebagian hutang. Namun, langkah ini tidak akan cukup tanpa bantuan pihak ketiga. Nina mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini ia hindari: meminta bantuan kepada Lia.

Di tengah konflik yang belum usai, mereka mulai menyadari bahwa kekuatan keluarga adalah satu-satunya harapan yang mereka miliki. (bersambung)

DMI Bangun 10 Masjid di Gaza, Ditargetkan Selesai Awal Ramadan

JAKARTAMU.COM | Dalam langkah yang penuh harapan, Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengumumkan rencana pembangunan 10 masjid semi-permanen di Jalur...

More Articles Like This