Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang
MALAM itu, Nina duduk di kamar sambil menatap telepon genggamnya. Ia memandangi nama Lia di layar ponsel, ragu untuk menekan tombol panggil. Meminta bantuan kepada kakaknya terasa seperti mengakui kegagalannya sebagai seorang istri dan ibu. Namun, Nina tahu ini bukan lagi soal harga diri; ini soal masa depan keluarganya.
Akhirnya, ia menguatkan hati dan menelepon Lia.
“Lia, aku butuh bantuanmu,” ucap Nina dengan suara yang hampir berbisik.
Di seberang telepon, Lia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Apa pun yang kamu butuhkan, Nina, aku akan membantumu.”
Air mata Nina mengalir deras. Ia menceritakan semua yang terjadi: hutang Arman, ancaman Wina, dan kondisi keluarganya yang nyaris hancur. Lia mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Kamu tidak sendirian, Nina. Kita akan cari jalan keluarnya bersama.”
Baca juga: Lika-liku Kehidupan Paruh Baya (6): Retakan yang Semakin Dalam
Keesokan harinya, Lia datang ke rumah Nina membawa secercah harapan. Ia mengusulkan agar mereka menjual salah satu aset keluarga yang nilainya cukup besar: tanah warisan dari orang tua mereka yang selama ini tidak pernah digunakan.
“Ini mungkin bukan solusi yang ideal, tapi setidaknya ini bisa meringankan beban kalian,” ujar Lia.
Namun, ide itu tidak diterima dengan mudah oleh Arman. “Itu warisan untuk anak-anak kita, Lia. Kalau kita menjualnya sekarang, apa yang akan mereka miliki di masa depan?”
Lia menatap Arman dengan tajam. “Arman, apa yang lebih penting sekarang? Menyelamatkan keluarga ini atau mempertahankan sesuatu yang belum tentu berguna di saat seperti ini?”
Diskusi itu berlangsung lama, tetapi akhirnya Arman setuju. “Baik, kita jual tanah itu. Tapi aku akan memastikan semua uangnya digunakan dengan bijak,” katanya dengan nada berat.
Sementara itu, Hana dan Raka mulai bekerja sama untuk membantu orang tua mereka. Raka, yang selama ini sibuk dengan pekerjaannya, memutuskan untuk mencari proyek tambahan agar bisa memberikan kontribusi finansial. Hana, yang masih sekolah, mencoba membantu dengan cara lain: ia mendekati Nina dan menawarkan dukungan emosional.
“Mama, aku tahu aku sering keras kepala, tapi aku tidak mau melihat Mama menderita sendirian,” kata Hana sambil memeluk Nina.
Pelukan itu membuat Nina merasa lebih kuat. “Terima kasih, Nak. Kamu tidak tahu betapa berartinya ini untuk Mama,” jawab Nina dengan suara bergetar.
Di sisi lain, Wina mulai merasa tekanan dari langkah-langkah yang diambil Nina dan Arman. Ketika mereka mengajukan proposal pembayaran sebagian hutang dengan uang hasil penjualan tanah, Wina awalnya menolak.
“Ini belum cukup,” katanya.
Namun, Lia yang ikut dalam pertemuan itu tidak tinggal diam. “Wina, kalau kamu benar-benar ingin masalah ini selesai, terima tawaran kami. Ini adalah langkah pertama untuk melunasi semuanya.”
Wina akhirnya setuju, meski dengan syarat ketat. “Baik, saya terima. Tapi kalian harus memastikan cicilan selanjutnya tepat waktu. Jika tidak, saya tidak akan memberi toleransi lagi.”
Setelah perjanjian itu ditandatangani, suasana di rumah mulai sedikit membaik. Namun, tantangan belum selesai. Arman merasa harus menebus kesalahannya dengan lebih bekerja keras, sementara Nina berusaha menjaga keharmonisan keluarga yang hampir retak.
Di tengah semua itu, Hana dan Raka menemukan cara untuk lebih memahami satu sama lain. Mereka mulai sering berbicara, membahas hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah mereka perhatikan.
“Kamu tahu, Hana,” kata Raka suatu malam, “aku selalu berpikir kamu masih anak kecil. Tapi ternyata kamu lebih kuat dari yang aku bayangkan.”
Hana tersenyum. “Dan aku selalu berpikir kamu kakak yang tidak peduli. Ternyata aku salah.”
Hubungan mereka perlahan membaik, membawa kehangatan baru di tengah badai yang mereka hadapi.
Akhir Seri 7: Di tengah perjalanan panjang ini, keluarga Nina menyadari bahwa kekuatan mereka bukan berasal dari uang atau aset, tetapi dari kebersamaan. Meski masalah belum sepenuhnya selesai, mereka mulai melihat harapan kecil di ujung jalan.
Namun, ancaman baru dari Wina yang tak sepenuhnya percaya pada kesepakatan mereka mengintai, dan keluarga ini harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang selanjutnya. (Bersambung)