JAKARTAMU.COM | Ketimpangan sosial di negeri ini bukan sekadar angka statistik. Ia nyata, terasa, dan semakin tajam membelah masyarakat. Bukan rahasia lagi bahwa hukum dan ekonomi sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kuasa, sementara rakyat kecil dibiarkan bertaruh nyawa bahkan hanya untuk bertahan hidup.
Ketidakadilan yang Sistemik
Dalam kehidupan sehari-hari, orang miskin dan orang kaya bisa melakukan kesalahan yang serupa, tetapi nasib mereka jauh berbeda. Masyarakat bawah yang terjebak dalam keterbatasan ekonomi dipaksa mengambil risiko besar demi sekadar bertahan hidup. Namun, setiap langkah mereka selalu diawasi dan mudah dijatuhi hukuman.
Sebaliknya, mereka yang berada di puncak ekonomi dan kekuasaan justru lebih leluasa melanggar aturan. Bahkan, pelanggaran mereka tidak hanya dibiarkan, tetapi juga sering kali mendatangkan keuntungan besar.
Orang Miskin: Berjuang di Bawah Ancaman
Rakyat kecil yang mencari nafkah dengan cara tak resmi, seperti pedagang kaki lima atau sopir ojek tanpa izin, sering kali menjadi sasaran razia. Jika tertangkap, mereka bisa kehilangan mata pencaharian dalam sekejap.
Pekerja upahan yang bergaji minim harus rela bekerja keras tanpa perlindungan hukum yang memadai. Ketika terjadi PHK sepihak atau eksploitasi, mereka hanya bisa menerima tanpa daya melawan.
Mereka yang putus asa karena tekanan ekonomi kadang terjerumus ke dalam tindakan ilegal kecil seperti mencuri makanan atau berjualan barang ilegal demi bertahan hidup. Hukum langsung menjerat mereka tanpa kompromi.
Orang Kaya: Semakin Licin, Semakin Beruntung
Pengusaha besar yang melanggar aturan ketenagakerjaan, menghindari pajak, atau merusak lingkungan dengan proyeknya sering kali mendapat perlindungan. Kasus mereka bisa lenyap dengan negosiasi atau sogokan.
Koruptor yang merampok uang negara hanya dijatuhi hukuman ringan, bahkan masih bisa hidup nyaman di dalam penjara dengan berbagai fasilitas mewah.
Konglomerat dan elite politik yang memanipulasi kebijakan demi kepentingan bisnis mereka justru semakin menguasai perekonomian negara.
Ketimpangan Hukum: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Kelemahan terbesar dalam sistem ini adalah hukum yang tidak berpihak pada keadilan. Masyarakat miskin dihukum atas pelanggaran kecil, sementara kejahatan besar oleh kaum elite bisa disulap menjadi kesalahan administratif yang tak berkonsekuensi.
Korupsi di kalangan aparat penegak hukum semakin memperparah situasi. Uang bisa membeli kebebasan, menghapus dosa, dan membalikkan keadaan. Hukum seolah menjadi permainan yang hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang punya sumber daya.
Ketimpangan Ekonomi: Kaya Makin Kaya, Miskin Makin Terhimpit
Struktur ekonomi yang timpang juga memperburuk situasi. Akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan peluang bisnis lebih banyak dimiliki oleh mereka yang sudah kaya. Sementara rakyat kecil harus berjuang keras untuk mendapatkan hak dasar mereka.
Upaya memperbaiki kondisi ini sering kali hanya menjadi janji politik tanpa realisasi nyata. Program bantuan sosial dan subsidi sering kali disalahgunakan atau tidak tepat sasaran, meninggalkan banyak masyarakat miskin tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Saatnya Mengakhiri Mabuk Ketimpangan
Ketimpangan ini tidak bisa terus dibiarkan. Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan secara merata, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Hukum harus ditegakkan bukan hanya terhadap rakyat kecil, tetapi juga terhadap mereka yang selama ini merasa kebal hukum.
Reformasi ekonomi harus memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak dan sejahtera. Tanpa perubahan nyata, ketimpangan ini hanya akan semakin melebar, membuat yang lemah semakin terhimpit, sementara mereka yang di atas terus berpesta menikmati mabuknya kekuasaan. (Dwi Taufan Hidayat)