Selasa, April 15, 2025
No menu items!

Mafia Peradilan dan Komitmen Pemberantasan Korupsi Presiden Prabowo

Must Read

DI tengah perayaan Syawal yang seharusnya menjadi momentum perbaikan diri, aparat penegak hukum justru kembali mengungkap borok sistem peradilan Indonesia. Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus suap dalam penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di saat yang hampir bersamaan, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menolak hukuman mati bagi koruptor menyulut kekecewaan publik serta aktivis antikorupsi.

Empat tersangka yang diumumkan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar pada Sabtu (12/2025) berasal dari kalangan hakim hingga pengacara. Mereka diduga kuat terlibat dalam suap dan gratifikasi terkait putusan lepas dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), yang sempat membuat gaduh jagat hukum Indonesia.

Salah satu tokoh kunci dalam skandal ini adalah Zarof Ricar, mantan Kepala Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung periode 2017–2022. Ia ditengarai menyuap majelis hakim kasasi sebesar Rp5 miliar demi meringankan vonis kliennya.

Bersama pengacara Ronald Tannur dan Lisa Rachmat, mereka diduga bermain peran dalam praktik suap yang mencoreng dunia peradilan. Yang mencengangkan, saat penggeledahan di kediamannya pada Oktober 2024, penyidik menemukan uang tunai sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas yang diduga hasil gratifikasi perkara sejak 2012 hingga 2022.

Bukan Suap Biasa

“Ini bukan sekadar suap biasa, ini sudah masuk ke level industrialisasi korupsi di sektor peradilan,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Ia menilai bahwa tanpa hukuman maksimal, termasuk pidana mati, efek jera terhadap kejahatan luar biasa seperti korupsi tak akan pernah tercapai.

Namun, di tengah membara harapan publik atas penindakan keras terhadap korupsi, Presiden Prabowo Subianto justru menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati bagi koruptor. Dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi media nasional yang tayang di kanal YouTube Harian Kompas pada 8 April 2025, Prabowo beralasan bahwa sistem hukum masih memiliki potensi kesalahan.

“Saya tidak setuju hukuman mati, karena kalau sudah dieksekusi, tak ada ruang koreksi jika ternyata terjadi kekeliruan,” kata Prabowo.

Pernyataan itu sontak menimbulkan gelombang kritik. “Presiden boleh punya pandangan pribadi, tapi sebagai kepala negara, pernyataan itu tak bisa sembarangan. Ini menyangkut arah pemberantasan korupsi kita,” kata Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof. Yenti Garnasih.

Sikap Presiden tersebut dinilai melemahkan semangat para penegak hukum yang tengah bekerja keras membongkar mafia peradilan. “Ketika Kejaksaan tancap gas, Presiden justru seperti mengempeskan balon semangat itu,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati.

Landasan Hukum dan Realita Internasional

Padahal, Indonesia sejatinya sudah memiliki dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu—misalnya saat bencana alam atau krisis nasional.

Dalam KUHP baru, Pasal 99 dan 100 juga membuka ruang hukuman mati dengan masa percobaan sepuluh tahun. Artinya, narapidana korupsi yang menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku dapat diubah hukumannya menjadi seumur hidup.

“Ini mekanisme yang sudah adil. Ada kesempatan koreksi, tapi juga ancaman keras bagi pelaku kejahatan luar biasa. Jadi tidak ada alasan untuk menolaknya mentah-mentah,” ujar mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Sementara itu, banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, masih mempertahankan pidana mati. Sebanyak 32 dari 50 negara bagian di AS masih menerapkannya. Bahkan Mahkamah Agung AS menegaskan bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi. Pemerintah federal AS juga hanya menanganinya dalam kasus kejahatan luar biasa terhadap negara.

Mengapa Harus Hukuman Mati?

Dalam pandangan hukum Islam, yang relevan di negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, hukuman mati untuk kejahatan berat memiliki justifikasi kuat. “Hukum Islam tidak statis, ia adaptif dan menekankan maslahat umat. Hukuman mati adalah bentuk perlindungan kolektif dari kerusakan sistemik,” kata pakar hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Imron Baehaqi.

Pakar lain, Anwar Harjono, juga menyatakan bahwa menunda-nunda hukuman mati atas nama HAM tanpa mempertimbangkan konteks sosial Indonesia yang korupsi sudah membudaya justru kontraproduktif. “Gerakan penghapusan hukuman mati seringkali hanya berorientasi pada popularitas dan keuntungan politik,” ujarnya.

Korupsi yang menembus institusi peradilan sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara dan rakyat. Keberanian Presiden Prabowo untuk bersikap tegas akan menjadi titik balik pemberantasan korupsi di tengah kondisi tersebut. (*)

Menggali Potensi Wakaf Uang untuk Mewujudkan Keadilan Sosial

Oleh Achmad Fauzi | Anggota BWI DKI Jakarta, Anggota LPCRPM PP Muhammadiyah Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak...
spot_img

More Articles Like This