JAKARTAMU.COM | Malu (al-haya’) adalah akhlak mulia yang menjadi salah satu pilar keimanan. Sifat ini bukan hanya sekadar perasaan takut atau segan terhadap sesama manusia, tetapi lebih dari itu, ia merupakan bentuk kesadaran spiritual yang mendalam terhadap Allah ﷻ. Seseorang yang memiliki rasa malu kepada Allah akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat, sebab ia menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman.”
(HR. al-Bukhari no. 8, Muslim no. 35)
Hadis ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah tanda keimanan yang hakiki. Seorang mukmin yang memiliki rasa malu kepada Allah tidak akan dengan mudah melakukan perbuatan dosa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Hakikat Malu kepada Allah
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ
“Malu dan iman saling berbarengan, apabila salah satunya diangkat maka diangkat pula yang lainnya.”
(HR. al-Hakim no. 58, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3198)
Hadis ini memberikan peringatan bahwa jika seseorang kehilangan rasa malu, maka keimanannya pun akan berkurang. Malu kepada Allah harus menjadi pendorong bagi setiap Muslim untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan perintah-Nya dengan penuh ketulusan.
Bentuk Malu kepada Allah yang Sebenarnya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Barang siapa merasa malu kepada Allah untuk berbuat dosa, maka Allah akan merasa malu untuk menghukumnya pada hari ketika ia bertemu dengan-Nya.”
Makna dari perkataan ini sangat dalam. Jika seorang hamba memiliki kesadaran dan rasa malu yang tinggi kepada Allah hingga ia menahan dirinya dari dosa, maka Allah akan memberikan kasih sayang-Nya dan menghindarkannya dari azab.
Rasulullah ﷺ juga memberikan penjelasan tentang hakikat malu kepada Allah:
اِسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَسْتَحْيِي، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ: لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَاكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ
“Malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dipahaminya (penglihatan, lisan, pendengaran), dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2382, dihasankan oleh al-Albani)
Hadis ini mengajarkan bahwa rasa malu kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk nyata, yaitu:
- Menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya
Tidak melihat hal yang haram
Tidak mendengarkan hal yang tidak bermanfaat
Tidak berkata kecuali yang baik
- Menjaga perut dan apa yang dimasukkan ke dalamnya
Tidak makan dari harta yang haram
Menjaga diri dari berlebih-lebihan dalam makanan
- Mengingat kematian dan kehancuran dunia
Tidak terlena dengan dunia yang fana
Senantiasa bersiap menghadapi akhirat
Malu kepada Allah di Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk melatih rasa malu kepada Allah. Ketika seorang Muslim berpuasa, ia menahan diri bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari segala bentuk kemaksiatan yang dapat merusak puasanya.
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga mendidik jiwa agar lebih dekat kepada Allah dengan menanamkan rasa malu untuk berbuat dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَسْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan jangan pula berbuat gaduh. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa’.”
(HR. al-Bukhari no. 1904, Muslim no. 1151)
Hadis ini mengajarkan bahwa puasa adalah benteng bagi orang beriman. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, ia tidak akan melakukan perbuatan yang mengurangi pahala puasanya.
Kesimpulan
Malu kepada Allah adalah akhlak yang harus senantiasa ditanamkan dalam diri setiap Muslim. Rasa malu ini bukan hanya sekadar perasaan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata seperti menjaga lisan, mata, perut, tangan, dan kaki dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Di bulan Ramadhan, kita memiliki kesempatan besar untuk memperkuat rasa malu kepada Allah. Dengan berpuasa dan meningkatkan ketakwaan, kita melatih diri untuk selalu merasa diawasi oleh Allah sehingga terhindar dari dosa dan maksiat.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada-Nya, sehingga kita dijauhkan dari azab-Nya dan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya. آمِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. (Dwi Taufan Hidayat)