DALAM konsep negara integralistik disodorkan pemahaman bahwa negara merangkul seluruh bangsa dan mempersatukan semua orang. Negara diimpikan sebagai himpunan seluruh kepentingan yang mengatasi semua kepentingan partai politik. Semua perbedaan harus ditiadakan dan diubah menjadi kesamaan nilai-nilai serta kepentingan. Konflik dicegah, diupayakan agar konsensus didahulukan.
Negara merupakan pengejawantahan total atas bersatunya negara dan rakyat. Negara disimbolisasikan sebagai kesatuan yang organik dengan rakyatnya.Dengan demikian, tidak disukai keberadaan dualisme negara dan masyarakat.
Ide tentang kesatuan rakyat dan pemerintah oleh kebatinan Jawa ini, dinisbatkan sebagai Manunggaling Kawula lan Gusti. Pandangan ini menekankan semua hal, dunia luar antar pribadi dalam semesta alam (makro kosmos) dan dunia dalam internal pribadi, kehidupan kecil dan alam semesta, kesatuan buruh dan majikan/pengusaha, diinterpretasikan sebagai kesatuan antara penguasa dan yang dikuasai.
Perjumpaan filosofi Jawa tersebut ke dalam penyusunan UUD 1945 pertama kali dikemukakan oleh Prof Mr Soepomo dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 31 Mei 1945.
Pada Medio 1985, setelah 40 tahun sejak 1945 – konsep integralistik seperti terlupakan itu – ternyata dibangkitkan kembali. Diperkenalkan oleh Prof Padmo Wahyono, murid Prof Mr. Djoko Soetono sebagai negara integralistik Indonesia, dengan membuang latar belakang historisnya.
Ketika dikemukakan, Soepomo menyatakan: menurut aliran pemikiran ini, tidak akan ada dualisme antara ‘staat’ dan individu’, oleh karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari staat.
Seraya mengutip pernyataan Adam Spinoza dan Friedrich Hegel, Profesor Soepomo juga menunjukkan model – kita kini terperangah – yakni praktik totaliterisme Jerman dan paham kekeluargaan (kosyitsu) Jepang.
Lebih jauh baca Pandangan Negara Integralistik – Sumber , Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Oleh: Marsilam Simanjuntak, Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1994.
Lihat juga, Konstituante: Perjuangan Menuju Pemerintah Konstitusional di Indonesia oleh Adnan Buyung Nasution (terjemahan disertasi Andan Buyung Nasution dalam The Aspiration Konstitusional Government in Indonesia oleh Yekti Maunati, Rijks Universiteit Utrecht, 4 November 1992 ).
Prinsip dari Manunggaling Kawulo Gusti, pada intinya adalah anti demokrasi, melegitimasi hubungan hirarki yang ketat antara pemerintah dan yang diperintah. Tsuchiya (1987:8-9) memberikan penjelasan juga pengertian Manunggaling Kawulo lan Gusti sebagai penyatuan manusia dan Tuhan, berikut ini: ”Persatuan Raya dengan Jiwa Ketuhanan juga menunjukkan prinsip Manunggaling Kawula lan Gusti, di mana hubungan patron-klien Jawa itu bersandar.”
Akhirnya, hubungan yang diperoleh antara Tuhan dan raja juga bisa dimengerti untuk memperoleh landasan filosofis dalam hubungan antara raja dan pegawai tertingginya, pada gilirannya pada setiap tingkatan antara pegawai yang lebih tinggi dan bawahannya.
Paham Anti-Demokrasi
Filosofi Jawa itu dijadikan rujukan, bagaimana menempatkan hubungan rakyat dan negara yang pada gilirannya akan mengatur bagaimana interaksi dan interelasi di dalamnya. Melalui hubungan model semacam ini maka Manunggaling Kawula lan Gusti diciptakan, orde/tatanan kerajaan diciptakan.
Pada sidang Juli 1945, Mohammad Hatta mengajukan koreksi dengan usulan kebebasan berbicara dan berpendapat. Namun Soepomo dan Moh Yamin, nampaknya menerimanya tanpa merasa perlu mencantumkan pasal-pasal hak-hak asasi manusia dan rinciannya sebagaimana pada UUD 1945 yang diamendemen pada awal era reformasi
Soepomo menyampaikan agar hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat itu kelak diatur dalam undang-undang saja, bukan dalam bab dan pasal UUD 1945. Soekarno yang mendukungnya dengan lantang menambahkan bahwa kita tak menganut individialisme, liberalism, agar kita menganut gotong royong saja.
Jelas, bahwa prinsip dari Manunggaling Kawula lan Gusti pada intinya adalah tidak menghendaki rakyat berdaulat. Ia anti-demokrasi dan melegitimasi hubungan hierarki yang ketat antara pemerintah dengan yang diperintah.
Bisa jadi, Soepomo membayangkan bahwa pemerintah pasca proklamasi 17 Agustus 1945 akan tidak sama dengan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Jepang yang pernah dialami generasinya. Ia berharap, semoga di masa depan pemerintah seperti orang tua yang ideal, ayah bagi rakyat yang diposisikan sebagai anaknya itu.
Ketika pembuatan UUDS 1950-1959 rupanya Prof Soepomo telah meninggalkan konsep negara kekeluargaan atau negara integralistik, mengingat beliau adalah pemimpin perancang UUD S itu. Anehnya, ketika Orde Baru berkuasa justru malah menghidupkan kembali negara persatuan yang paternalistik yang didasari konsep negara integralistik: Manunggaling Kawula lan Gusti.
Semoga ke depan pemerintah tak menggunakan alasan sebagaimana paham integralistik itu dipeluk kembali.