JAKARTAMU.COM | Di tengah riuhnya Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar, tempat kapal-kapal besar merapat dan pergi membawa ribuan harapan, seorang perempuan dengan tubuh kecil dan wajah yang mulai menua sebelum waktunya memanjat bambu panjang yang tersandar di lambung kapal. Tangannya yang kasar menggenggam erat batang bambu yang licin oleh debu laut, sementara kakinya dengan lincah meniti setiap langkah yang bisa saja menjadi yang terakhir.
Dia adalah Mariama, ibu lima anak yang kini viral karena keberaniannya yang nyaris tak masuk akal: menyeberang dari tepi dermaga ke bibir kapal hanya dengan bertumpu pada sebatang bambu rapuh, demi menjual roti kepada penumpang. Tanpa alat pengaman, tanpa jaminan keselamatan, hanya keyakinan bahwa hidup harus terus berjalan.
Jatuh Bangun Seorang Ibu yang Berjuang Sendiri
Mariama bukanlah seorang pencari sensasi atau penggila adrenalin. Dia adalah ibu tunggal, seorang perempuan berusia 32 tahun, yang sejak bercerai dengan suaminya harus menghidupi anak-anaknya sendirian. Lima mulut kecil menunggu di rumah, berharap ibunya pulang dengan sedikit rezeki untuk mengganjal perut mereka yang kerap kosong lebih lama dari seharusnya.
Tak ada pilihan lain. Tak ada warisan. Tak ada pendidikan tinggi yang bisa membawanya ke kantor ber-AC dengan gaji tetap setiap bulan. Yang ada hanyalah roti-roti sederhana yang dia beli dengan modal pas-pasan, lalu dijual dengan keuntungan tak seberapa kepada para penumpang kapal.
Namun, menjual roti di daratan tidak cukup. Pelabuhan adalah arena pertarungan hidup yang keras, dan para pedagang kecil harus berani mengambil risiko jika ingin mendapat sedikit lebih banyak rezeki. Maka, bambu panjang yang tersandar dari tepi dermaga ke kapal menjadi jembatan nasib Mariama. Setiap hari, dengan langkah penuh waspada, ia memanjat dan meniti bambu itu, membawa kantong berisi roti di satu tangan, sementara tangan lainnya berpegangan pada tali yang menjuntai di sisi kapal.
Ketakutan, Hujan, dan Ombak yang Tak Peduli
Tak ada yang bisa menebak kapan bahaya benar-benar datang. Angin kencang di pelabuhan sering kali menggoyangkan bambu yang ia pijak. Ombak yang menghantam lambung kapal membuat tubuhnya limbung, seolah setiap saat siap menelan keberaniannya. Jika hujan turun, bambu menjadi lebih licin, membuatnya harus lebih berhati-hati. Tapi Mariama tak punya kemewahan untuk menunggu cuaca bersahabat.
Ada kalanya, kakinya tergelincir, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak sejenak. Namun, dalam kepanikan itu, ia selalu berhasil menemukan keseimbangan dan kembali meniti jalannya dengan gemetar. Di dalam hatinya, hanya ada satu doa: semoga aku pulang dengan selamat, semoga anak-anakku bisa makan hari ini.
Setelah berhasil mencapai kapal, ia menawarkan roti-roti jualannya kepada para penumpang. Tak jarang, sebagian dari mereka terkejut melihat bagaimana roti-roti itu sampai ke tangan mereka. Ada yang terharu, ada yang kagum, tetapi tak sedikit pula yang menawar dengan harga yang hampir tak masuk akal.
Namun, Mariama tahu bahwa di dunia ini, iba saja tidak cukup. Tak semua orang akan membeli rotinya hanya karena cerita perjuangannya. Ia tetap harus menjual dagangannya dengan harga yang wajar, walau setiap hari ia harus bertaruh nyawa untuk itu.
Ketika Hidup Tidak Memberi Pilihan
Mariama mungkin viral, tetapi ketenarannya bukanlah sesuatu yang ia cari. Ia hanya seorang ibu yang menjalani hidup dengan cara yang keras, karena tidak ada jalan lain yang bisa ia tempuh.
Ketika videonya beredar di media sosial, banyak orang yang berkomentar tentang betapa berbahayanya apa yang ia lakukan. Beberapa menyarankan agar ia mencari pekerjaan lain, tetapi tak banyak yang tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan bagi perempuan sepertinya—seorang ibu tunggal tanpa pendidikan tinggi, tanpa modal usaha yang besar, dan tanpa dukungan keluarga.
Ia bukan tidak takut. Ia bukan tidak ingin hidup dengan lebih nyaman. Tetapi jika hidup tidak memberi pilihan, maka satu-satunya cara untuk bertahan adalah berani menghadapi ketidakpastian dan menantang bahaya setiap hari.
Bagi sebagian orang, bambu yang tersandar di tepi kapal itu mungkin hanya sebatang kayu tak berarti. Namun bagi Mariama, bambu itu adalah jembatan antara harapan dan putus asa, antara kelaparan dan kenyang, antara hidup dan mati.
Dan selama anak-anaknya masih membutuhkan makanan di meja, selama ia masih memiliki kekuatan untuk memanjat dan berjualan, ia akan terus meniti bambu kehidupan itu—hari demi hari, napas demi napas, langkah demi langkah. (Dwi Taufan Hidayat)