Rabu, Februari 26, 2025
No menu items!

Masih Pantaskah Meninggalkan Puasa dengan Alasan Musafir?

Must Read

PARA sahabat yang ikut serta dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang berbuka, ada pula yang berpuasa. Nabi sendiri berpuasa dalam perjalanan seperti dikatakan Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu.

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadan dalam cuaca yang panas terik, sehingga ada sebagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala bagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala untuk berlindung dari panas matahari. Di kalangan kami tidak ada yang berpuasa selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Dalam Islam, seseorang yang sedang bepergian mendapat keringanan atau rukhsah untuk membatalkan puasa, seperti bunyi surat Al Baqarah ayat 185. ”Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Begitulah Islam. Agama yang mudah bagi pemeluknya. Namun tidak berarti bisa mencari-cari alasan untuk tidak melaksanakan kewajiban, apalagi alasan yang tidak tepat. Dengan kata lain, kewajiban yang sebenarnya tidak menyulitkan itu tidakdilaksanakan secara sungguh sungguh.

Musafir itu memiliki  rukhsah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan tetapi apakah driver ojek online bisa dapat disebut musafir? Pertanyaan ini disampaikan Ustaz Ahmad Yani dari PP Dewan Masjid Indonesia dalam kajian Ahad Pagi di Masjid Al Huda Pisangan Timur, Jakarta Timur, Minggu (23/2/2025)

”Driver ojol berkeliling kota mengantar penumpang berpuluh puluh kilometer, ber jam-jam dari pagi sampai sore mereka melakukan aktivitas. Jika tidak kuat, maka dia berhenti. Mampir di masjid, istirahat, mandi biar segar, sudah segar, silakan lanjutkan kerja mengambil order tapi tidak membatalkan puasa sampai waktunya berbuka,” terangnya.

”Di sinilah peran masjid dalam rangka syiar dakwah. Masjid mempunyai fasilitas toilet, kamar mandi yang memadai, hingga orang-orang yang mampir atau para musafir juga bisa memanfaatkannya hingga mereka menunaikan ibadah puasa dengan maksimal,” lanjut dia.

Safar atau puasa memiliki keunikan dari sisi hukum, yaitu menjadi salah satu ‘illat yang meringankan beberapa taklif seperti dalam masalah taharah, salat, puasa dan lainnya. Namun tidak seperti ‘illat-‘illat lainnya, ternyata safar ini karakternya berubah seiring dengan perubahan zaman.

Di masa lalu, safar dilakukan dengan susah payah, berjalan kaki atau naik unta menembus pekatnya lautan pasir tak bertepi. Ada begitu banyak risiko dan bahaya yang selalu mengintai para musafir.

Mereka bisa saja dirampok oleh para pencoleng di tengah padang pasir. Harta benda mereka dirampas lalu mereka dibunuh. Kadang bisa lebih menyakitkan, yaitu tidak dibunuh melainkan dijadikan budak dan dijual dengan harga yang murah, seperti yang pernah dialami Nabi Yusuf alaihissalam.

Intinya, menjadi musafir di masa lalu bukan hal yang mudah. Sehingga wajar ketika Rasulullah SAW pun menyebut bahwa safar itu bagian dari azab.

”Safar adalah bagian dari azab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka masuk akal ketika syariat Islam turun dengan memberikan berbagai keringanan bagi musafir, sebagaimana diberikan keringanan itu bagi orang sakit, wanita, anak-anak, orang gila, orang lupa, dan seterusnya.

Namun yang menarik, seiring perkembangan zaman, safar di masa kini sudah mengalami banyak perubahan. Bila dulu safar disebut bagian azab berikut risiko-risikonya, termasuk kematian, hari ini safar umumnya menjadi tradisi yang dilakukan kaum muslimin dengan sangat aman dari segala risiko itu.

Memang tetap ada saja kecelakaan dalam perjalanan, namun secara statistik safar di hari ini justru sangat aman tanpa risiko yang berarti.

Perjalanan mudik dalam kondisi berpuasa naik kereta api, tersedia gerbong restorasi. Di jalanan juga berderet tempat untuk membatalkan puasa. Lewat jalan tol, sepanjang Jakarta Banyuwangi banyak rest area dengan fasilitas lengkap. Dengan kemajuan teknologi, perjalanan manusia tak sesulit dulu. Antar provinsi di Indonesia bisa dicapai dalam itungan jam, apalagi kalau naik pesawat.

Dengan segala kemudahan itu, apakah kita akan begitu mudah meninggalkan kewajiban puasa dengan alasan menjadi musafir?

Konspirasi Yahudi: Kisah Pemilik Modal Internasional Mengatur Siasat Setan

JAKARTAMU.COM | Adolf Hitler (1889 – 1945) adalah Ketua Partai Nazi atau Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasional. Tokoh kelahiran...

More Articles Like This