KOTAK amal masjid tidak ada di zaman Nabi Muhammad. Sebagai kepala negara di Kota Madinah, Rasulullah SAW membuat kebijakan mendanai operasional masjid. Bisakah hal yang sama diterapkan di masa kini?
Setiap tahun pemerintah memang mengalokasikan dana bantuan untuk masjid. Namun hampir pasti dana yang disediakan belum atau tidak akan menjangkau seluruh masjid. Dengan kata lain, masjid tak mungkin mengandalkan dana pemerintah.
Masjid-masjid besar dengan jumlah jamaah banyak, boleh jadi mampu memenuhi biaya operasional dari uang infaq. Apalagi kalau sebagian jamaah itu berharta lebih, mereka biasanya menjadi donatur tetap masjid.
Baca juga: Sertifikasi Mubalig Muhammadiyah, Kapan Dimulai?
Tapi bagaimana dengan masjid-masjid yang lain? Masjid-masjid di Indonesia, termasuk masjid yang dikelola Muhammadiyah, sebagian besar menggantungkan kebutuhan dana operasional dan honor marbot dari pemasukan kotak amal. Selain itu dari pendapatan zakat infaq sedekah (ZIS) tahunan di bulan Ramadan.
Unit Bisnis
Di masa kini, model pengelolaan masjid seperti itu sudah ketinggalan zaman. Kalau tidak disebut sebagai suatu keharusan, setiap masjid saat ini perlu memiliki unit usaha. Modal awalnya pengembangan usahanya bisa diambilkan dari sumbangan jamaah.
Ditambah dengan penguatan networking dengan berbagai pihak, bukan tidak mungkin usaha kecil yang dirintis di awal bisa berkembang lebih besar lagi dan lagi. Muhammadiyah punya ribuan masjid yang tersebar di seantero Indonesia punya peluang menjadi motor untuk memacu ekonomi umat.
Sayangnya sebagian pengurus masjid Muhammadiyah diduga belum tercerahkan. Mereka belum tahu bagaimana cara membangun ekonomi umat berbasis masjid. Pengurus masjid yang umumnya awam bisnis bahkan bingung memikirkan usaha seperti apa yang akan mereka buat.
Ekspedisi dan Logistik
Kendala utama lain adalah belum terhubungnya masjid-masjid Muhammadiyah. Padahal bila masjid-masjid ini bisa terhubung langsung, akan lebih memudahkan pengelolaan dan pengembangan bisnisnya.
Satu masjid bisa membantu masjid lain. Sebagai contoh, model usaha atau bisnis yang bisa dijalankan antarmasjid adalah jasa ekspedisi dan logistik. Melihat perkembangan gaya hidup masyarakat saat ini, jasa ekspedisi dan logistic cukup menjanjikan di masa depan.
Baca juga: Catatan untuk Rakernas LAZISMU: Jangan Lupakan Asnab Fi Sabilillah..!
Mungkin saja harus merogoh kocek yang besar untuk memulai bisnis ini, misalkan untuk promosi branding, keperluan outlet, dan sebagainya. Namun jika antarmasjid Muhammadiyah sudah terkoneksi, separuh lebih kendala tersebut sudah terselesaikan.
Masjid Muhammadiyah biasanya langsung di bawah pembinaan ranting, cabang, atau Daerah (PDM). Ada yang dikelola amal usaha rumah sakit atau perguruan tinggi. Secara eksklusif kegiatan masjid-masjid ini dikelola takmir atau Dewan Kemakmuran Masjid.
Melalui kolaborasi pengelolaan antara Lazismu, LP UMKM, LPCR, LPPK, dan Majelis Tabligh, bisa diberikan arahan kepada para pengelola Masjid Muhammadiyah. Dengan begitu, insyaallah pengelolaan Masjid Muhammadiyah semakin profesional.
Sangat mungkin menyerahkan tanggung jawab pengelolaan seluruh Masjid Muhammadiyah sepenuhnya pada salah satu majelis. Bila sekolah dan madrasah dikelola Majelis Dikdasmen, rumah sakit dikelola Majelis PKU, maka tidak ada salahnya masjid bisa dikelola Majelis Tabligh.