JAKARTAMU.COM | Pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memicu perdebatan serius terkait prinsip supremasi sipil dan netralitas militer dalam sistem pemerintahan demokratis. Mayor Teddy, yang sebelumnya ajudan Prabowo saat menjabat Menteri Pertahanan, kini menduduki jabatan strategis yang seharusnya diperuntukkan bagi sipil.
Namun, statusnya sebagai perwira aktif TNI menjadi dasar kritik utama. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil, kecuali pada 10 instansi tertentu, seperti Kementerian Pertahanan dan BIN. Sekretariat Kabinet tidak termasuk dalam pengecualian ini, sehingga secara hukum pengangkatan Mayor Teddy dapat dianggap menyalahi aturan.

Dampak Terhadap Profesionalisme Militer dan Demokrasi
Keputusan ini menimbulkan dua konsekuensi besar. Pertama, dari sisi profesionalisme militer, langkah ini membuka celah bagi kembalinya dwifungsi militer—sebuah praktik era Orde Baru yang menempatkan perwira TNI di jabatan-jabatan sipil, mengaburkan batas antara militer dan pemerintahan. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan aktif militer dalam politik justru melemahkan demokrasi dan menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua, dari sisi pemerintahan sipil, kehadiran perwira aktif dalam jabatan strategis dapat mengancam independensi kebijakan publik. Seorang Seskab memiliki peran vital dalam mengoordinasikan kebijakan antar kementerian dan lembaga negara. Keputusan yang diambil bisa menjadi bias dan berorientasi pada kepentingan militer, bukan kepentingan sipil yang lebih luas.

Dalih Pembenaran dan Celah Hukum
Pendukung pengangkatan Mayor Teddy berdalih bahwa posisinya berada di bawah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), sehingga dianggap tidak melanggar aturan. Namun, argumen ini lemah karena UU TNI secara eksplisit melarang prajurit aktif menjabat di luar institusi yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut, kenaikan pangkat Mayor Teddy menjadi Letnan Kolonel melalui mekanisme Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP) juga menimbulkan kecemburuan di antara perwira menengah TNI lainnya. Mekanisme ini seharusnya diberikan kepada personel dengan prestasi luar biasa dalam tugas kemiliteran, bukan karena kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.

Kembali ke Demokrasi Konstitusional
Jika pemerintah ingin menegakkan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme militer, maka pilihan yang paling sesuai dengan konstitusi adalah meminta Mayor Teddy untuk mengundurkan diri dari dinas militer sebelum menjabat sebagai Seskab. Ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal etika tata kelola pemerintahan yang baik.
Langkah ini akan menjadi bukti nyata bahwa pemerintahan baru tetap berpegang pada prinsip demokrasi konstitusional dan menghindari pengaruh militer dalam birokrasi sipil. Jika tidak, ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka jalan bagi semakin banyaknya perwira aktif TNI yang masuk ke pemerintahan tanpa mekanisme yang jelas, menghidupkan kembali dwifungsi militer yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Keputusan ini bukan hanya soal satu jabatan, tetapi menyangkut masa depan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. (Dwi Taufan Hidayat)