Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Mbah Moedjair dan Air yang Mengalir

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Angin pesisir Pantai Serang berembus pelan, membawa aroma garam dan desir ombak yang seakan bercerita. Pasir basah menempel di telapak kaki Mbah Moedjair, seorang nelayan tua yang tak lagi hanya mencari ikan, tetapi sedang mencari jawaban atas renungan panjangnya. Laut telah memberinya banyak, tetapi kali ini ia ingin membawanya ke daratan.

Mbah Moedjair menatap ember bambu di tangannya. Beberapa ekor ikan yang ia temukan tampak menggeliat, tubuhnya berwarna keperakan, siripnya bergetar dalam air laut yang mulai berkurang. Nalurinya berkata, ikan ini berbeda. Ia tak tahu pasti apa, tetapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk mencoba sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Orang-orang di kampung menatapnya dengan heran. Seorang lelaki tua yang biasanya pulang dengan jala penuh ikan kini sibuk menenteng ember dan mengawasi ikan-ikan kecil itu di kolam buatan di belakang rumahnya.

“Apa yang kau lakukan, Mbah?” tanya seorang pemuda bernama Parjo.

“Aku ingin lihat apakah ikan ini bisa hidup di air tawar,” jawab Mbah Moedjair tanpa mengalihkan pandangannya dari permukaan air kolam yang masih tenang.

Parjo tertawa kecil. “Ikan laut ya di laut, Mbah. Kenapa mesti dipaksa ke daratan?”

Namun Mbah Moedjair hanya tersenyum. Ia tahu, tidak semua orang memahami hasratnya.

Malam turun, dan dengan hati-hati ia memindahkan beberapa ikan dari ember ke kolam air tawar. Awalnya, ikan-ikan itu berenang dengan lincah. Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu mulai mengapung. Esok paginya, mereka semua mati.

Mbah Moedjair tidak menyerah. Ia kembali ke Pantai Serang, menangkap ikan yang sama, mencoba metode yang berbeda. Ia mencampurkan sedikit air laut ke dalam kolam, lalu perlahan-lahan mengurangi kadar garamnya. Eksperimen ini ia lakukan berulang kali. Kadang ia gagal, tetapi kegagalan hanya seperti ombak—datang dan pergi.

Suatu hari, ketika ia membuka matanya di pagi buta, ia melihat sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Ikan-ikan di kolam masih hidup. Tidak hanya itu, mereka tampak berenang dengan lincah, seolah telah menerima rumah barunya.

Mbah Moedjair tertawa kecil, lalu menatap langit yang mulai memerah di ufuk timur. Ia tahu, pencariannya telah berakhir.

“Ikan ini akan menghidupi banyak orang,” gumamnya.

Kabar tentang ikan yang bisa hidup di air tawar itu segera menyebar ke seluruh kampung, lalu ke desa-desa lain, dan akhirnya ke banyak penjuru negeri. Orang-orang mulai membudidayakannya, memeliharanya di kolam-kolam kecil, lalu menjualnya ke pasar.

“Ikan ini harus punya nama,” kata seorang pejabat kolonial yang mendengar kisah Mbah Moedjair.

Seseorang mengusulkan, “Mujaer, seperti nama penemunya.”

Dan begitulah, ikan itu mendapat namanya.

Bertahun-tahun berlalu.

Mbah Moedjair tidak lagi muda. Rambutnya telah memutih, kulitnya penuh kerutan. Namun ia masih duduk di tepi kolam, menatap ikan-ikan yang berenang di dalamnya.

Anak-anak desa datang berlarian, membawa ember kecil. “Mbah, kami ingin beli benih ikan mujaer!”

Mbah Moedjair tersenyum. Ia memberikan beberapa ekor ikan ke dalam ember mereka. “Rawatlah baik-baik. Jangan lupa memberi makan. Air harus tetap mengalir.”

Mereka mengangguk bersemangat sebelum berlari kembali ke rumah masing-masing.

Di kejauhan, Mbah Moedjair menatap sungai yang mengalir pelan, membawa kisah yang tak pernah berhenti. Ia sadar, hidup seperti air. Ia mengalir, berubah, dan menyesuaikan diri, tetapi selalu menuju ke tempat yang lebih luas.

Ia tersenyum, lalu memejamkan matanya.

Angin berembus, membawa bisikan ombak yang jauh.

Laut dan darat telah menyatu dalam dirinya.

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This