JAKARTAMU.COM | KH Ahmad Dahlan menjadi guru dan organisator yang dikenal oleh banyak orang. Dengan demikian, karena waktunya sudah habis digunakan untuk berorganisasi, tidak begitu banyak karya tulis yang ditinggalkan.
Beberapa karya yang ditinggalkan banyak dijadikan pedoman bagi para guru sekolah Muhammadiyah, yang memungkinkannya untuk menggunakan model peran, mengatasi peran adat, agar memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang Islam, yang kemudian disebarkannya kepada pengikutnya.
Pedoman yang digunakan oleh para guru ini lebih banyak menggunakan bahasa Islami, seperti apa itu kebahagiaan di akhirat dan realita ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun Kiai Ahmad Dahlan menolak mistik Sufi, ia menggunakannya dalam karyanya, khususnya penolakannya terhadap nafsu manusia dan rujukan akan arti pentingnya kesadaran manusia.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923)” bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra” menyebut bagi Ahmad Dahlan, peran pengikat kehidupan manusia terdiri atas:
- Ilmu Pengetahuan yang terlalu besar untuk dipikirkan;
- Ummat harus mempelajarinya dengan serius dan mempelajarinya secara cermat;
- Untuk mengatur dirinya, manusia hendaknya menggunakan instrumen Al Qur’an.
Kiai Ahmad Dahlan juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan yang membuat setiap manusia memiliki perasaan yang sama. Pertama-tama umat manusia, dari mana pun asal etnisnya, pada dasarnya berasal dari satu leluhur yakni Adam dan Hawa.
Dengan demikian, manusia harus saling berhubungan karena mereka berasal dari satu darah. Alasan keduanya adalah manusia dalam hubungannya satu dan lainnya, membentuk tatanan yang damai dan bahagia dalam kehidupannya.
Hal ini tidak akan dapat diperoleh bila tidak memiliki perasaan yang sama dan hati terpadu. Bagi Ahmad Dahlan, hal ini merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan.
Ia menilai bahwa sejak zaman Nabi, para sahabatnya, hingga para pemimpin komunitas muslim saat ini, tidak memiliki kesamaan perasaan dan hati terpadu di antara umat manusia.
Meski ada individu yang sangat terkenal dan terdidik sepanjang hidupnya dan telah berjuang dalam waktu yang lama, mereka itu belum berhasil untuk mencapai kesamaan ini.
Ia menyadari bahwa prinsipnya ini sangat bisa untuk dibantah atau diabaikan. Namun ia mendasarkan prinsipnya itu atas beberapa alasan, antara lain:
a. Kebodohan yang bersifat umum;
b. Ketidaksepakatan dengan mereka yang membawa kebenaran;
c. Berpegang pada cara tradisional yang telah ditanamkan oleh leluhurnya;
d. Rasa ketakutan terpisah dari kerabat dan sahabatnya; dan
e. Ketakutan kehilangan kehormatan, posisi, status, pekerjaan, dan kesenangan.
Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa:
a. Orang memerlukan agama;
b. Sejak awal agama telah menerangi ummat manusia, namun makin lama terangnya makin redup. Sebenarnya bukan agamanya yang redup, melainkan orang yang memeluk agama itu yang meredup;
c. Hendaknya umat mengikuti aturan yang dibuat sesuai dengan petunjuk ahli agama. Jangan pernah membuat keputusan sendiri dalam hal agama;
d. Ummat harus terus mencari pengetahuan baru. Hendaknya umat tidak cepat merasa puas dengan pengetahuan yang sudah ada saat ini. Juga janganlah langsung menolak pengetahuan yang asalnya dari orang atau kelompok lainnya sebelum mengkajinya secara serius.
e. Umat perlu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya, dan janganlah membiarkan pengetahuan itu berlalu. Bagi Ummat Islam, ciptaan Tuhan itu memiliki takdir. Setiap takdir berubah menjadi tujuan dan sebenarnya terdapat jalan untuk mencapai tujuan itu.
Menurut ajarannya, Tuhan telah menciptakan waktu dan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, takdir dapat dicapai dengan mengikuti waktu dan jalannya.
Sementara, setiap kondisi tergantung pada kehendak Tuhan dan Tuhan telah memberikan semua kondisi yang diperlukan.
Menurut pedoman yang digariskannya, sebenarnya manusia tidak memiliki takdir kecuali keamanan dan kebahagiannya di dunia dan akhirat. Untuk mencapai takdir itu, diperlukan penggunaan akal sehat, yakni kemampuan intelektual.
Seorang intelektual yang baik ditandai dengan kemampuan untuk memilih berdasarkan akal dan pertimbangannya, dan mengambil keputusan berdasarkan keteguhan hatinya.
Sifat intelektual yang dimaksudkannya adalah menerima semua pengetahuan. Pengetahuan menjadi modal intelektual, karena inteletual mirip benih yang tumbuh di tanah.
Agar supaya benih itu dapat tumbuh subur, maka benih tersebut perlu diairi dan dipenuhi segala kebutuhannya. Begitu pula intelektual, yang tidak akan tumbuh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan.
Menurut Kiai Dahlan, semua ini mutlak sesuai dengan kehendak Tuhan. Ajaran logika dilakukan melalui pemahaman ilmu mantiq, yaitu pengetahuan logika yang menunjukkan realita.
Ilmu hanya bisa diperoleh melalui proses belajar dan mengajar, karena manusia tidak akan mengenal nama dan bahasa tanpa guru yang mendapatkan pengetahuan dari guru mereka sebelumnya.
Ketergantungan pada proses belajar ini menunjukkan bahwa umat manusia tidak memiliki kekuatan untuk menjangkau sumber pengetahuan utama, kecuali mereka yang mendapatkan bimbingan dari Tuhan.
Selanjutnya manusia yang memperoleh lebih banyak ilmu pengetahuan prinsipnya bagaikan mirip orang yang mengambil perhiasan, memasangnya, dan memakainya sebagai dekorasi busananya.
Hal ini berarti bahwa seorang yang mampu berbicara dengan jelas dan lurus atas suatu permasalahan, ia benar-benar didukung oleh pengetahuan lain yang dimilikinya.