Oleh Lambang Saribuana, Ketua Lazismu DKI Jakarta
PEMERINTAH Indonesia secara resmi meluncurkan program makan bergizi gratis dengan sasaran utama balita, anak-anak sekolah, santri, serta ibu hamil dan menyusui. Program ini menargetkan memberikan 15 juta porsi hingga akhir 2025 dan 82,9 juta porsi hingga 2029.
Kepercayaan kepada Muhammadiyah sebagai mitra strategis melalui nota kesepahaman dengan Badan Gizi Nasional, merupakan sebuah kehormatan sekaligus tantangan. Bagaimana Muhammadiyah memanfaatkan kesempatan ini akan menentukan apakah langkah ini menjadi sekadar aktivitas temporer atau awal dari sebuah inisiatif besar yang berkelanjutan.
Kepercayaan itu bukan hanya alasan untuk berbangga, tetapi juga momentum untuk berpikir lebih strategis. Muhammadiyah memiliki rekam jejak panjang dalam pengelolaan amal usaha, dari sektor pendidikan hingga kesehatan.
Namun program makan bergizi gratis menawarkan potensi baru yang belum sepenuhnya digarap: sektor bisnis kuliner berbasis amal usaha. Pendekatan terhadap program ini dapat dilakukan dengan dua cara: sebagai perantara keuntungan jangka pendek atau sebagai pengembang usaha berkelanjutan.
Baca juga: Merindukan Kembalinya Etos Saudagar Muhammadiyah
Dalam perspektif jangka pendek, program ini dapat dijalankan dengan menunjuk satu atau dua orang untuk mengelola dana pemerintah. Lalu orang yang ditunjuk akan memilih vendor yang tepat. Dan pada akhirnya menyalurkan makanan kepada sasaran.
Pendekatan ini terlihat praktis dan sangat mudah. Namun cara ini minim akuntabilitas dan sangat berisiko untuk disalahgunakan demi kepentingan pribadi.
Dalam memilih vendor, sehebat apa pun dalam menentukan pilihan, akan timbul pertanyaan. ”Mengapa vendor A dipilih? Mengapa tidak vendor B yang lebih murah?” atau “Ketika memilih vendor C, itu usaha siapa?” dan “Siapa pula yang akan diuntungkan?”
Apa pun jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas akan memiliki potensi konflik internal. Dan, jika tidak dikelola dengan baik, dampak jangka panjangnya jelas mencoreng reputasi organisasi.
Selain itu, model bisnis “calo” ini hanya memberikan manfaat sesaat tanpa menciptakan dampak ekonomi jangka panjang bagi Muhammadiyah.
Baca juga: Sebuah Rahasia di Balik Kalender Gratis
Manatap Peluang Masa Depan
Sebaliknya, melihat program ini sebagai peluang usaha jangka panjang membuka pintu bagi Muhammadiyah untuk membangun entitas bisnis baru di bidang kuliner yang profesional dan berkelanjutan.
Pendekatan ini tidak hanya soal margin keuntungan, tetapi tentang membangun sistem yang solid untuk mendukung kemandirian ekonomi organisasi.
Adapun langkah pertama untuk membangun amal usaha baru kuliner adalah bermusyawarah, melibatkan majelis, lembaga, dan ortom di Muhammadiyah untuk membentuk badan usaha khusus.. Entitas ini idealnya berbentuk perseroan terbatas (PT) yang memiliki struktur kepemilikan saham berdasarkan prinsip ex officio.
Artinya, pejabat internal dalam Muhammadiyah (atau yang ditunjuk) secara otomatis melekat sebagai pemegang saham. Jika masa jabata berakhir, maka secara otomatis berakhir pula kepemilikan sahamnya. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan kesinambungan kepemimpinan tanpa menimbulkan konflik kepentingan.
Direksi badan usaha ini harus dipilih berdasarkan kompetensi, dengan tanggung jawab utama memastikan perusahaan berkembang dan memberikan keuntungan. Jika direksi membuat usaha merugi, wajib hukumnya diberhentikan.
Goal bisnis hanya ada satu, yaitu mencetak laba atau keuntungan. Jika direksi bisa memberikan keuntungan pada perusahaan, maka jabatannya dilanjutkan.
Baca juga: Prinsip Ekonomi Pelaku Korupsi
Tata kelola yang transparan juga penting, misalnya dengan membatasi kewenangan direktur dalam pengelolaan dana dan mewajibkan koordinasi dengan komisaris untuk keputusan strategis.
Dengan struktur yang kuat, Muhammadiyah dapat menciptakan model bisnis yang tidak hanya melayani program makan bergizi, tetapi juga merambah pasar lain seperti katering haji, atau katering rumah sakit. Artinya, keberhasilan dalam program ini dapat menjadi batu loncatan bagi Muhammadiyah untuk membangun amal usaha kuliner.
Bayangkan peluang-peluang bisnisnya. Muhammadiyah mampu mengakses pemenuhan katering haji, juga memenuhi kebutuhan katering rumah sakit hingga kampus.
Dengan visi jangka panjang, Muhammadiyah dapat membangun entitas usaha yang tidak hanya menopang program makan bergizi gratis. Tetapi juga menciptakan kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Keputusan tetaplah berada pada pimpinan: apakah Muhammadiyah cukup puas menjadi perantara atau ingin menjadi pelopor dalam membangun bisnis kuliner berbasis sosial yang berbasis nilai-nilai Islam yang berorientasi pada masa depan?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah Muhammadiyah dalam dekade mendatang. (*)