DALAM dinamika wacana perbaikan sistem pendidikan nasional, kita kerap mendengar narasi yang menempatkan satu jenis lembaga pendidikan lebih tinggi daripada yang lain. Baru-baru ini, muncul pandangan yang menyiratkan bahwa hanya madrasah yang mampu menjaga ruh pendidikan melalui hafalan Al-Qur’an dan pembinaan akhlak, sementara pendidikan nasional dianggap gagal melaksanakan peran itu.
Sebagai bangsa yang besar, sudah semestinya kita menilai persoalan ini dengan kepala dingin, menggunakan pisau analisa rasional, fakta objektif, dan berlandaskan prinsip keadilan.
Ruh Madrasah adalah Esensi Pendidikan, Bukan Milik Institusi Tertentu
Ruh madrasah—yakni semangat membangun keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan penguasaan ilmu—bukanlah hak eksklusif madrasah formal atau pesantren. Esensi ini merupakan ruh dasar seluruh sistem pendidikan Islam dan nasional kita.
Jika hanya menilai keberhasilan pendidikan berbasis akhlak dari label institusi, kita terjebak pada pandangan formalis yang keliru. Banyak sekolah umum di Indonesia yang dalam satu dekade terakhir telah memasukkan program tahfiz Qur’an, pembinaan karakter, serta pembiasaan akhlak islami dalam keseharian siswa.
Program seperti Sekolah Ramah Anak, Kelas Tahfidz di Sekolah Negeri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Religius, membuktikan bahwa ruh pendidikan Islami bisa diintegrasikan dalam kurikulum nasional tanpa harus bergantung pada label “madrasah”.
Pendidikan Umum Juga Melahirkan Generasi Qurani
Di banyak daerah, fenomena siswa SD, SMP, bahkan SMA umum yang menghafal Al-Qur’an belasan hingga 30 juz sudah menjadi kenyataan. Misalnya, lomba Musabaqah Hifzhil Qur’an di tingkat provinsi maupun nasional, tidak hanya diikuti oleh santri madrasah atau pesantren, melainkan juga siswa sekolah negeri.
Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan umum juga mampu melahirkan generasi penghafal Qur’an dan berakhlak mulia, selama ada komitmen dan inovasi dari seluruh elemen pendidikan: guru, kurikulum, lingkungan, dan kebijakan.
Oleh sebab itu, mengklaim bahwa hanya madrasah yang mampu menjaga akhlak adalah bentuk reduksi yang tidak adil.
Realitas Madrasah dan Pesantren Tidak Luput dari Masalah
Sebaliknya, madrasah dan pesantren pun tidak steril dari berbagai tantangan moral. Kasus kekerasan, pelecehan, maupun pelanggaran etik juga terjadi di beberapa lembaga ini, meski tentu saja itu bukan cerminan mayoritas.
Ini membuktikan bahwa masalah akhlak adalah masalah manusiawi dan sistemik, bukan semata-mata terkait label lembaga. Yang dibutuhkan adalah pembinaan berkelanjutan, pengawasan ketat, dan pembenahan manajerial di semua jenis lembaga pendidikan.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendidikan Nasional Bertanggung Jawab Membentuk Karakter Bangsa
Dalam kerangka konstitusional, sistem pendidikan nasional diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Pasal ini menegaskan bahwa misi pendidikan nasional bukan hanya akademik, tetapi juga spiritual dan moral.
Sehingga, membangun generasi berakhlak bukan tugas madrasah semata, melainkan amanah bersama, termasuk di lembaga pendidikan umum, lembaga sosial, keluarga, bahkan masyarakat luas.
Sinergi dan Kolaborasi adalah Jalan Kemenangan
Saat ini, tantangan bangsa ke depan bukanlah pertarungan antar lembaga pendidikan, melainkan pertarungan melawan dekadensi moral, disrupsi budaya global, degradasi literasi, dan erosi nasionalisme.
Karena itu, diperlukan sinergi, bukan dikotomi.
Kita harus bersatu, berkolaborasi lintas lembaga, saling belajar satu sama lain. Madrasah, pesantren, sekolah umum, bahkan komunitas pendidikan informal perlu berjalan beriringan untuk membentuk generasi emas yang berilmu tinggi, berakhlak mulia, serta berjiwa nasionalis dan religius.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Menghindari Fanatisme Lembaga, Mengutamakan Kepentingan Umat
Fanatisme terhadap satu lembaga pendidikan yang berujung pada pelemahan institusi lain adalah tindakan tidak dewasa. Fanatisme sempit hanya akan menggerogoti semangat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan kebangsaan).
Sebaliknya, yang kita butuhkan adalah loyalitas kepada cita-cita besar umat dan bangsa: membangun peradaban mulia.
Seperti diingatkan dalam hadits Rasulullah:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Maka, ukuran keberhasilan lembaga pendidikan bukan semata jumlah hafalan atau atribut formal keagamaan, melainkan sejauh mana peserta didik mampu menjadi insan yang membawa kemaslahatan bagi sekitarnya.
Sinergi untuk Indonesia Berkemajuan
Saat ini adalah momentum emas untuk merevisi arah besar pendidikan nasional kita. Namun revisi itu harus dibangun atas dasar sinergi, persatuan, bukan persaingan yang melahirkan fragmentasi.
Mari kita bersama-sama:
- Menguatkan madrasah, sekolah umum, dan pesantren dalam satu napas perjuangan.
- Membangun generasi Qurani di semua lini pendidikan.
- Menjunjung nilai ukhuwah, bukan memperuncing fanatisme sektoral.
- Mengedepankan kepentingan umat dan bangsa, bukan ego institusional.
Semoga Allah membimbing kita untuk membangun pendidikan Indonesia yang berkemajuan, inklusif, dan berkeadaban. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin. (*)