| Oleh: Drs. SM Hasyir Alaydrus, S.Sos., MM
Pemberdayaan SDM dalam Teknis Kerja Muhammadiyah
Berbicara Muhammadiyah, tidak dapat terlepas dari dua sumber pokok, yaitu: Alqur-an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (Saw). Artinya, jika membicarakan Muhammadiyah sudah tentu membahas pesoalan-persoalan kehidupan ummat dalam menjalankan dan mempraktikan ajaran Islam bergender kemanusiaan di alam fana ini. Suprastruktur bicaranya, adalah dengan menggunakan dua dimensi bahasa sekaligus.
Pertama merupakan bahasa bernuansakan kepribadian yang dicirikan oleh rasa tanggung jawab di hadapan Alkhaliq dan berlaku dari waktu ke waktu. Sedangkan yang kedua, merupakan bahasa bersifat universal dalam menata kehidupan bermasyarakat untuk membangun kultur sosial dan keadaban, di mana unsurnya antara lain dicirikan pada 4 (empat) sifat, yaitu: 1) Amanah; 2) Siddiq; 3) Tabligh; dan 4) Fathanah.
Dua dimensi bahasa di atas, agaknya, akan elegan digunakan jika dilakukan lebih dulu pendekatan-pendekatan melalui ayat-ayat Alqur-an dan Hadits Nabi Saw; Mau pun yang diambil dari pendapat para ahli, sepanjang memiliki kompetensi keilmuan berbasis ajaran Islam atau juga dari sumber-sumber lain namun dinamika ilmu pengetahuannya memiliki kesesuaian dengan Alqur-an dan Sunnah.
Upaya pemberdayaan SDM, tentu saja tidak lepas dari ragam teori komunikasi, sosial keummatan, kemasyarakatan, sosiologi, psikologi, kebudayaan, keibadahan, dan ilmu manajemen serta filsafat. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya Alqur-an, jauh-jauh hari telah mengklasifikasi tentang komunikasi yang memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain; Dengan maksud untuk mengajak orang lain memahami keperluan jasmani dan rohani masing-masing, ketika menempuh kehidupan di alam fana yang sarat tantangan.
Tanpa ada bangunan komunikasi yang baik (bernilai haq), tentu saja, SDM yang diberdayakan akan berbeda hasil dengan nilai-nilai al-haq sebagaimana yang dimaksudkan oleh Alqur-an dan Hadits Nabi Saw.
Ada kaifiyah atau persoalan cara dalam Alqur-an dan Hadits Nabi Saw yang ditemukan dari berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Hal ini, kemudian dapat pula didudukkan sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi berlabel Islam dimaksud, dapat pula menjadi acuan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi atau pembicaraan (qaulan); Baik itu dalam komunikasi intrapersonal, juga interpersonal dalam pergaulan sehari hari guna menyampaikan pesan-pesan risalah atau da’wah (lisan dan tulisan), mau pun dalam aktivitas-aktivitas pemberdayaan SDM agar tepat sasaran dan bernilai guna ketika menjalani kehidupan di dunia hingga akhirat.
Dalam berbagai literatur yang menyinggung tentang komunikasi melalui pendekatan wahyu dalam Alqur-an, setidaknya didapati 6 (enam) gaya komunikasi atau juga disebut dengan pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi berbasis ajaran Islam, yaitu:
1) Qaulan sadida (perkataan yang benar lagi jujur) QS. An Nisa ayat 9;
2) Qaulan baligha (efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti), QS. An Nisa: 63;
3) Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik, bijaksana), QS. Al Ahzab: 32;
4) Qaulan karima (perkataan yang mulia lagi hormatmenghormati), QS. Al Israa: 23;
5) Qaulan layyinan (perkataan yang lembut, hati-hati, tidak gegabah), QS. Thaha: 43-44;
6) Qaulan maysura (perkataan yang ringan atau tidak menambah kerumitan persoalan), QS. Al Israa: 28
| Berlanjut: Membangun Sinergi Kebersamaan Perspektif Muhammadiyah (4)