| Oleh: Drs. SM Hasyir Alaydrus, S.Sos., MM
Sedangkan dalam hadits Nabi Saw, ditemukan juga prinsip-prinsip etika komunikasi. Rasulullah memberi arahan kepada ummat Islam dalam melakukan komunikasi atau pembicaraan, antara lain sebagai berikut:
1) Qulil haqqa walaukana murran (katakan apa yang benar (haq) walau pun pahit rasanya);
2) Falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak mampu, diamlah).;
3) Laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu);
4) Anjuran Nabi Saw lainnya, berbicara yang baik-baik saja, seperti: Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir. (HR Ibnu Abi Dunya);
5) Nabi Muhammad Saw juga berpesan: “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang… yaitu mereka yang memutar balikan fakta dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya”.
Pesan Nabi Muhammad Saw di atas bermakna luas dan mengandung etika bernilai tinggi (memanusiakan manusia dengan pendekatan fithrah). Beliau mengingatkan, agar dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta lapangan yang dilihat, didengar, dan dialami.
Hal tersebut menjadi prinsip dan etika yang dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim, ketika ia melakukan proses komunikasi; Baik ketika menyampaikan pesan-pesan da’wah, dalam pergaulan sehari-hari, mau pun ketika membangun SDM dalam aktivitas sosial, pemberdayaan potensi, membangun kultur sosial dan struktur sosial.
Ada pun dua dimensi bahasa sebagaimana diungkapkan di atas, adalah sebagai jembatan komunikasi utama bagi manusia. Saat Adam ‘Alaihis salam (As) diciptakan, bahasa sudah disiapsediakan oleh Alkhaliq. Terhadap Adam As, Allah memberikan pelajaran dalam berbahasa, sebagaimana diungkapkan Alqur-an Surat Al Baqarah ayat 31, sebagai berikut:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِى بِأَسْمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
Artinya: “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya; Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” (QS Al Baqarah: 31).
Pada ayat di atas terungkap, bahwa bahasa telah menjadi bagan utama pada proses informasi dan komunikasi. Ketika Allah mengajarkan kepada Adam untuk mengisi pikiran, memfungsikan hati, hingga Adam pun mampu menjelaskan (mengolah, berkreasi) atas adanya suatu pertanyaan; Adam As dapat menyebutkan benda-benda melalui simbol-simbol bahasa tertentu untuk dipahami oleh makhluq Allah yang lain (mengembangkan semangat untuk menggapai harapan).
Termaktub pula dalam hal itu, keunikan dan kehebatan manusia sebenarnya bukanlah semata-mata berada pada kecerdasan pikiran. Melainkan juga, sangat dipengaruhi oleh kemampuannya menggunakan bahasa untuk menjawab permasalahan kehidupan.
Manusia, tentunya tidak akan mampu mengarahkan pikiran dengan baik jika saja tidak dibekali dengan kebahasaan. Dan, tanpa bahasa yang dipahami, pikiran manusia belum tentu dapat dinamis seperti saat sekarang. Konon, mampukah manusia berpikir rumit dan abstrak seperti mengkaji berbagai kasus dalam kegiatan-kegiatan ilmiah tanpa dijembatani kebahasaan?
Tanpa bahasa, manusia tidak dapat menginformasikan dan mengomunikasikan pengalaman dan pengetahuannya kepada orang lain; Juga kepada Alkhaliq. Dengan adanya bahasa, terbuka luas kemungkinan, bahwa manusia dapat juga berpikir secara abstrak, menelaah obyek-obyek faktual dan realistis yang ditransformasikan ke dalam simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak pula. Sehingga juga, manusia mampu mengkaji realitas yang ada dalam upaya menerapkan gagasan ke dalam amaliah atau kegiatan-kegiatan nyata yang berhubungan dengan kepentingan dan kebutuhan jasmani-rohani dalam menjalani kehidupan.
| Berlanjut: Membangun Sinergi Kebersamaan Perspektif Muhammadiyah (5)