Oleh: M. Fuad Nasar | Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang.
JIKA dihitung waktunya sejak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) menyetujui Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama untuk disahkan menjadi Undang-Undang tanggal 29 Desember 1989, maka Desember tahun 2024 ini genap 35 tahun bangsa Indonesia memiliki Undang-Undang Peradilan Agama dalam sistem hukum nasional.
Pengadilan Agama telah dikenal sejak sebelum Belanda menjajah Tanah Air kita. Peradilan atau “al-qadha” adalah fardhu kifayah yakni kewajiban kolektif bagi umat Islam untuk menegakkannya sama seperti fardhu kifayah lainnya. Pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi eksistensi Pengadilan Agama, tetapi tidak menghendakinya menjadi institusi yang berwibawa dan mandiri. Semasa kekuasaan kolonial Raad Agama (Pengadilan Agama) ditempatkan di bawah pengawasan Landraad (Pengadilan Negeri).
Dalam buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila dapat dibaca pokok-pokok pikiran Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., MCL mengenai logika hukum Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang menjadi polemik sekitar tahun 1989. Ismail Suny menjelaskan, “Penafsiran sistematis dari pasal 27 ayat 1 (Undang-Undang Dasar 1945) yang menjamin persamaan di depan hukum dengan pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing, adalah hubungan lex generalis dengan lex specialis. Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi oleh sebab-sebab ras, warna kulit, golongan, kepercayaan dan sebagainya. Ini berlaku umum, jadi lex generalis. Lex specialis adalah hak untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kepada semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadat agamanya masing-masing. Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu dan akibatnya adanya peradilan khusus untuk pemeluk agama tertentu.”
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, pakar hukum tata negara yang sekarang menjabat Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan menyanggah pendapat yang memandang bahwa kalau Peradilan Agama memutuskan perkara dengan hukum Islam lantas Indonesia berubah menjadi negara Islam, tidak benar. Semula, Peradilan Agama memang milik orang Islam, milik kesultanan-kesultanan Islam sejak zaman pra-kolonial. VOC dan pemerintah Hindia Belanda kemudian mengakui eksistensinya walau mereka juga mempreteli kekuasaan dan wewenangnya. Di masa merdeka, negara Republik Indonesia mengukuhkannya dan menjadikannya peradilan negara.
Yusril Ihza Mahendra dalam tulisan di Majalah Panji Masyarakat No 616/Juli 1989 lebih jauh mengatakan bahwa sejak merdeka tak pernah negara tak mengurusi agama. Mula-mula diurus oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), kemudian dalam Kabinet Sjahrir I diurus oleh Menteri Negara Haji Rasjidi, BA. Dalam Kabinet Sjahrir II barulah ada Kementerian Agama yang juga dipimpin oleh Haji Rasjidi, BA.
Merunut sejarahnya upaya mempersiapkan Undang-Undang Peradilan Agama telah dirintis sejak tahun 1971. Menteri Agama K.H.M. Dachlan dan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali tahun 1971 dan 1972 pernah mengajukan izin prinsip dan konsep Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) kepada Presiden Soeharto, namun menurut pertimbangan Menteri Kehakiman Prof. Oemar Senoadji, SH, penyiapan RUU-PA sebaiknya dilakukan setelah proses penyiapan RUU tentang Peradilan Umum dan RUU tentang Mahkamah Agung selesai. Bila prinsip-prinsip kedua RUU itu telah diterima oleh DPR-RI, maka akan mudah diterapkan pada Peradilan Agama.
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH patut dikenang jasanya mengawal proses lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama menjelang akhir dekade 80-an. Salah seorang sesepuh Kementerian Agama Muchtar Zarkasyi, SH, pernah menceritakan sekelumit sejarah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama ketika kami berjumpa saat menghadiri pemakaman jenazah almarhum Busthanul Arifin di TPU Menteng Pulo Jakarta Selatan pada 23 April 2015. Muchtar Zarkasyi yang sewaktu pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama menjabat Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama mengenang kerjasama Kementerian Agama dengan Mahkamah Agung dalam mengawal RUU Peradilan Agama (RUU-PA).
Dalam riwayat kronologisnya RUU-PA disampaikan kepada DPR-RI tanggal 28 Januari 1989 oleh Pemerintah yang diwakili Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA. Kementerian Agama bersama perwakilan dari Mahkamah Agung, Kementerian Kehakiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Universitas Indonesia dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta duduk dalam satu tim yang solid. Tim yang diketuai Busthanul Arifin menyiapkan dua naskah RUU yaitu RUU Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama dan RUU Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Dua RUU tersebut disatukan menjadi RUU Peradilan Agama.
Sebagian kalangan menganggap RUU-PA sebagai upaya untuk menghidupkan Piagam Jakarta. Asumsi itu bertentangan dengan kenyataan. Kalangan ahli hukum dan tokoh masyarakat yang memahami permasalahan memberikan tanggapannya. Bahkan Menteri Agama Pertama Prof. Dr. H.M. Rasjidi merasa terpanggil untuk menulis di majalah dan surat kabar seputar RUU-PA meski kondisi kesehatannya sudah mulai menurun karena usia lanjut.
Makalah Dasar-Dasar Pemikiran RUU Peradilan Agama sebagai naskah akademik disusun oleh Busthanul Arifin. Ia menjelaskan dasar hukum, dasar politis, dasar historis dan sosiologis RUU-PA serta perbandingan dengan negara lain. Bukti-bukti yang disampaikannya meyakinkan bahwa lembaga Peradilan Agama telah menyatu dengan kesadaran hukum umat Islam Indonesia, yang memiliki sejarah panjang dan terbukti memenuhi kebutuhan hukum kaum muslimin.
Menteri Kehakiman Ismail Saleh, SH, saat itu mengemukakan tiga dimensi pembangunan hukum nasional sebagai berikut:
Pertama, dimensi pemeliharaan yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang sudah ada, walaupun tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Dimensi ini perlu ada untuk mencegah kekosongan hukum dan merupakan konsekuensi logis dari pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, dimensi pembaruan yaitu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan hukum nasional.
Ketiga, dimensi penciptaan yaitu dimensi dinamika dan kreativitas, menciptakan suatu perangkat perundang-undangan yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada.
Setelah melalui mekanisme dan proses pembahasan di DPR, RUU Peradilan Agama disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989. Munawir Sjadzali, Menteri Agama yang menjabat dua periode dari tahun 1983 sampai 1993, dalam memoar 70 Tahunnya mengungkapkan, di banyak negara yang dalam undang-undang dasarnya yang tegas dinyatakan Islam sebagai agama negara, namun kedudukan mahkamah syariah-nya tidak sekokoh dan seterhormat Peradilan Agama di Indonesia. Ia mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dua pakar hukum, Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Ketua Muda Mahkamah Agung Untuk Urusan Lingkungan Peradilan Agama, dan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Wakil Sekretaris Kabinet dan Guru Besar di Fakultas Hukum UI.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama telah tersusun terlebih dahulu Kompilasi Hukum Islam. Kerja Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Islam diketuai Busthanul Arifin menghasilkan naskah kompilasi terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam Lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 – 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kompilasi Hukum Islam sampai kini masih dipakai sebagai salah satu rujukan hakim Pengadilan Agama dalam mengadili perkara di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Pada tanggal 15 April 1985 di Gedung Mahkamah Agung, Busthanul Arifin selaku Ketua Proyek Kompilasi Hukum Islam memberi pengarahan pertama tentang gagasan kompilasi hukum Islam dan cara-cara bekerja yang akan diterapkan oleh segenap anggota Panitia Kompilasi Hukum Islam. Menurutnya, kompilasi ini seharusnya telah ada di Indonesia lebih dari seratus tahun. Menteri Agama Munawir Sjadzali menimpali, “Saya sebaliknya bersyukur kepada Allah, kompilasi ini baru sekarang dikerjakan oleh pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Sebab, dengan begitu, saya diberi kesempatan ikut terlibat dalam kegiatan ini dan beruntung mendapatkan kesempatan pahala dunia dan akhirat.”
Sejak tahun 2004 Peradilan Agama beralih di bawah Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pada tanggal 30 Juni 2004 secara resmi organisasi, administrasi dan keuangan lingkungan Peradilan Agama beralih dari Kementerian Agama ke Mahkamah Agung. Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA dan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Baqir Manan menandatangani Berita Acara Serah Terima Peradilan Agama dalam suatu acara resmi di Gedung Mahkamah Agung.
Berdasarkan data Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama (1989) saat itu terdapat 324 Pengadilan Agama di tingkat kabupaten dan kota, dan 19 Mahkamah Syar’iyah di kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD). Untuk tingkat banding, terdapat 24 Pengadilan Tinggi Agama di provinsi, dan satu Mahkamah Syar’iyah Provinsi di NAD. Sampai batas akhir pengalihan Peradilan Agama dan Peradilan Militer ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam undang-undang paling lambat tanggal 30 Juni 2004, hanya Peradilan Agama yang diserahkan ke Mahkamah Agung, sedangkan pengalihan Peradilan Militer terlaksana pada 1 September 2004.
Drs. H. Wahyu Widiana, MA adalah Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama terakhir di Kementerian Agama (dahulu Departemen Agama) yang selanjutnya dilantik sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pertama pada Mahkamah Agung. Drs. H. Taufiq SH, MH, Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI yang pernah menjabat Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama (1990 – 1992) adalah pionir Hakim Agung dari lingkungan Peradilan Agama. Peran dan jasanya dalam menjaga roh Peradilan Agama setelah lepas dari Kementerian Agama takkan terlupakan. Menurut Taufiq, rasa keagamaan tidak boleh hilang dari para Hakim Agama sampai kapan pun.
Dalam sebuah acara Taufiq berpesan kepada jajaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Suatu ketika kita di MA, memang ada tantangannya. Kita tidak boleh lengah. Perlu dijaga mental agar tidak goyah oleh fasilitas dan anggaran yang besar. Jangan sampai terjadi waktu gaji sedikit, fasilitas terbatas bisa menjaga integritas. Tetapi setelah berubah, fasilitas wah, gajinya lumayan, lalu mental ikut berubah.”
Taufiq yang setelah purnabakti terpilih sebagai Ketua Umum Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4 Pusat) mengingatkan, Peradilan Agama harus dibangun oleh warga Peradilan Agama sendiri. Tidak bisa mengharapkan orang lain. Sebagai contoh, penanganan perkara ekonomi syariah yang sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tiba-tiba pernah ada upaya untuk mengeluarkannya. Taufiq dan Wahyu Widiana (Dirjen Badan Peradilan Agama) berupaya mempertahankannya. Setelah dikonsolidasikan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengadilan Agama di daerah-daerah, muncul surat-surat dari daerah menyatakan tidak setuju apabila ekonomi syariah dikeluarkan dari kewenangan Peradilan Agama.
Dalam perjalanan waktu hampir empat dekade Undang-Undang Peradilan Agama telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Pengadilan Agama bukan hanya mengadili perkara perceraian, meski dua pertiga perkara yang masuk ke Pengadilan Agama adalah kasus perceraian. Dalam kaitan ini masyarakat tahu bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya mempersulit perceraian. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama selama ini telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengurangi jumlah perceraian.
Kewenangan Pengadilan Agama mengalami perluasan setelah perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pengadilan Agama semula hanya memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah, tetapi sekarang Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah.
Hakim Pengadilan Agama “alumni” Kementerian Agama secara alamiah semakin berkurang dan habis lalu diganti dengan hakim generasi baru. Pada akhir 2023 lalu Mahkamah Agung merilis saat ini terjadi kekurangan hakim pada tiga lingkungan peradilan sesuai perhitungan beban kerja pada satuan kerja pengadilan di seluruh Indonesia yaitu 4.224 orang, meliputi Peradilan Umum kekurangan hakim sebanyak 2.762 orang, Peradilan Agama sebanyak 1.347 orang, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebanyak 115 orang.
Dalam perbincangan dengan seorang Ketua Pengadilan Tinggi Agama di sebuah provinsi, saya mendengar urgensi penguatan sumber daya manusia Peradilan Agama. Sebuah fakta patut dicermati ketika dibuka penerimaan calon Hakim Peradilan Agama dengan jumlah formasi 600 orang, namun yang terisi hanya 300-an. Pelamar berjumlah ribuan, tapi yang memenuhi kualifikasi dan lolos seleksi kompetensi relatif sedikit.
Pengisian kebutuhan formasi hakim Pengadilan Agama yang berkompeten memerlukan kerjasama antara lain dengan perguruan tinggi dalam menghasikan sarjana di bidang syariah, hukum dan ekonomi Islam. Kelas khusus interdisipliner atau sejenisnya untuk Pendidikan Hakim Agama sebagai bagian dari program studi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dan Swasta, menurut hemat saya sudah selayaknya diformulasikan sebagai program percepatan (quick wins) pembibitan hakim agama. Idealisme PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) perlu dihidupkan kembali kendati dalam bentuk pelembagaan yang berbeda.
Pengadilan Agama berperan mengokohkan pilar negara hukum dan membina kesadaran hukum di masyarakat. Sebuah langkah positif Dirjen Badan Peradilan Agama menjelang akhir tahun ini menginisiasi Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama tentang Pendidikan, Praktik Kerja Lapangan/Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dengan beberapa Universitas Islam Negeri. Kualitas dan kredibilitas peradilan agama bukan hanya tanggungjawab sektoral, tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Salah satu indikator kualitas dan kredibilitas Pengadilan Agama ialah sedikitnya pengajuan banding dan kasasi atas putusan hakim.
Sebagai penutup, saya mengutip ungkapan Busthanul Arifin, tokoh pembangunan hukum yang berasal dari Sumatera Barat dan pelaku sejarah Undang-Undang Peradilan Agama, dalam pidato hikmah Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Istana Negara Jakarta beberapa dekade yang lampau mengatakan: hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi hidup manusia yang kalau udara itu tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan tidak enak dan keresahan akan timbul.
Selamat memperingati 35 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama.