JAKARTAMU.COM | Deep learning atau pembelajaran secara mendalam menjadi diskursus yang meluas sejak Abdul Mu’ti ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen). Masyarakat awam dan pengamat memahami konsep deep learning dalam beragam tafsir yang tidak sepenuhnya sejalan apa yang dimaksud Mu’ti.
Dalam Seminar Nasional dan Sosialisasi Program Deep Learning bertema Implementasi Deep Learning Dalam Rangka Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Mu’ti pun mengupas tuntas tentang apa itu deep learning.
”Saya menyampaikan pandangan tentang deep learning dan berbagai fondasinya di pengajian Ranting Muhammadiyah Pondok Cabe kemudian bocor ke mana-mana. Karena sudah bocor ya sudah, karena tidak mungkin ditambal ya teruskan saja. We are at the point of no return. The show must go on,” ujar Mu’ti mengawali paparan di Aula Ahmad Dahlan, Lantai 6, FKIP Uhamka, Senin (17/2/2025).
Baca juga: Mendikdasmen Canangkan Program Prioritas 2025, Ini Daftarnya
Mu’ti menjelaskan bahwa deep learning bukanlah sebuah kurikulum, melainkan pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman secara mendalam. Konsep ini bukan sesuatu menegaskan bahwa konsep ini sudah ada jauh sebelum istilah artificial intelligence populer seperti saat ini.
”Saya dijapri seorang profesor. ‘Mas, deep learning itu kan artificial intelligence?’ Saya katakan bisa ya, bisa tidak. Kalau yang dibuka Wikipedia munculnya memang itu. Tetapi deep learning itu sudah ada jauh sebelum Wikipedia itu ada, sebelum artificial intelligence itu seperti sekarang ini,” tutur Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.
“Saya pertama kali mengenal istilah deep learning saat menempuh S2 di Australia pada tahun 1995. Dalam salah satu mata kuliah, Cognitive Psychology and Its Implications, saya menemukan buku The Process of Learning karya John Biggs yang menjelaskan konsep deep learning,” lanjut Mu’ti.
Baca juga: Selamat Tinggal Kurikulum Merdeka?
Antitesis Pendekatan Pendidikan Kuantitatif
Mu’ti mengungkapkan, konsep deep learning telah diperkenalkan sejak tahun 1976 di negara-negara Skandinavia seperti Norwegia dan Swedia. Ia mengutip tulisan Marton dan Säljö yang mengusulkan pendekatan kualitatif dalam pembelajaran sebagai alternatif dari metode kuantitatif yang cenderung berorientasi pada akumulasi pengetahuan tanpa pemahaman mendalam.
“Pendekatan kuantitatif berfokus pada what atau ‘apa yang dipelajari’, bukan how well atau ‘seberapa baik seseorang memahami’. Siswa seringkali hanya menghapal fakta tanpa memahami bagaimana menggunakannya dalam kehidupan nyata,” jelasnya.
Sebagai contoh, ia menyoroti pembelajaran matematika yang seringkali hanya berorientasi pada hapalan rumus, tanpa mengaitkannya dengan pemecahan masalah nyata. Hal ini menyebabkan siswa tidak memahami konsep di balik rumus tersebut.