Sabtu, Maret 1, 2025
No menu items!

Menelusuri Sejarah Salat Tarawih 20 Rakaat Umar bin Khattab di Madinah

Must Read

JAKARTAMU.COM | Salat Tarawih telah melalui perjalanan panjang dalam sejarahnya, khususnya di Masjid Nabawi, Madinah. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah: benarkah Umar bin Khattab, sang khalifah kedua, yang pertama kali menetapkan jumlah rakaat Tarawih menjadi 20?

Untuk menjawab ini, kita perlu menelusuri jejak sejarah yang tercatat dalam riwayat-riwayat kredibel, sekaligus memahami evolusi praktik ibadah ini dari masa ke masa.

Pada zaman Rasulullah SAW, salat Tarawih dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah, istri beliau. Jumlah ini mencakup 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir. Praktik ini menjadi teladan awal yang berlangsung di Masjid Nabawi.

Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah pada tahun 14 H/635 M, ia mulai menertibkan pelaksanaan Tarawih secara berjamaah di masjid tersebut. Ia memerintahkan agar salat ini dilakukan sebanyak 11 rakaat, sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah. Tak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Umar pernah mengubah kebijakan ini menjadi 20 rakaat.

Bahkan, dua khalifah setelahnya, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, juga tidak tercatat mengubah jumlah tersebut. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa selama masa Khulafa Rasyidin, salat Tarawih di Masjid Nabawi tetap 11 rakaat.

Namun, ada pandangan lain yang muncul dari Ibn al-Mulaqqin, seorang ulama hadis. Ia menyebutkan bahwa Umar awalnya menetapkan 11 rakaat, lalu mengubahnya menjadi 20 rakaat. Kemudian, pada masa akhir pemerintahan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, jumlahnya bertambah menjadi 36 rakaat.

Sayangnya, Ibn al-Mulaqqin tidak menyertakan bukti riwayat yang jelas untuk mendukung klaim bahwa Umar mengubah jumlah rakaat menjadi 20. Ia hanya menggabungkan dua riwayat, yakni atsar Yazīd Ibn Khuṣaifah dan Muḥammad Ibn Yūsuf. Atsar Yazīd.

Jika memang riwayat tersebut sahih, sebenarnya hanya menunjukkan bahwa beberapa sahabat di masa Umar melaksanakan Tarawih 20 rakaat secara pribadi, bukan bukti adanya perintah resmi dari Umar untuk mengubah praktik jamaah di Masjid Nabawi.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa salat Tarawih 11 rakaat terus berlangsung di Madinah hingga masa Mu‘awiyah (wafat 60 H/680 M). Barulah pada akhir pemerintahannya, beberapa tahun sebelum Perang al-Ḥarrah (63 H/683 M), ia mengubah jumlahnya menjadi 36 rakaat. Sejak saat itu, praktik di Masjid Nabawi menjadi 39 rakaat (termasuk 3 rakaat Witir), dan ini bertahan hingga abad ke-4 H.

Ketika Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah menguasai Hijaz pada abad ke-4 H, jumlahnya dipangkas menjadi 20 rakaat. Praktik ini berlangsung selama berabad-abad hingga abad ke-8 H. Lalu, Imam al-‘Irāqī (wafat 806 H/1403 M) mengembalikannya menjadi 36 rakaat ditambah 3 rakaat Witir (jadi 39 rakaat), dengan pembagian 20 rakaat di awal malam dan 16 rakaat menjelang Subuh.

Kondisi salat Tarawih 39 rakaat ini berlangsung hingga tahun 1344 H/1926 M. Saat Dinasti Saudi berkuasa di Jazirah Arab, sejak itu, salat Tarawih di Masjid Nabawi ditetapkan 20 rakaat hingga hari ini.

Perubahan-perubahan ini mencerminkan dinamika sejarah dan pengaruh kekuasaan politik-religius di Madinah. Namun, jika kita merujuk pada teladan yang paling otentik, menurut Majelis Tarjih, praktik Rasulullah SAW dengan 11 rakaat menjadi pegangan utama. Sebagaimana sabda beliau, “Salatlah sebagaimana kamu melihat aku salat,” ajaran Nabi adalah hujah yang paling kuat.

Jadi, benarkah Umar memulai Tarawih 20 rakaat? Berdasarkan riwayat yang ada, tidak ada bukti sahih yang mendukung klaim tersebut. Yang jelas, Umar menertibkan Tarawih berjamaah dengan 11 rakaat, sementara jumlah 20 rakaat baru muncul jauh setelah masa Khulafa Rasyidin. (sumber)

CERPEN: Cinta dalam Jebakan

Oleh: Dwi Taufan Hidayat Hujan turun deras, menghantam aspal dengan suara ritmis yang melankolis. Fajar duduk di dalam mobilnya,...

More Articles Like This