KEBUTUHAN akan pangan yang halal dan thayyib bukan hanya soal kepercayaan dan prinsip hidup umat Islam, melainkan juga merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap kesehatan publik. Namun temuan Dinas Pangan dan Pertanian (Dispaperta) Kabupaten Sidoarjo mengungkap fakta mengejutkan.
Sebanyak 88 persen daging sapi yang dijual di lima pasar besar Sidoarjo terindikasi merupakan daging gelonggongan—daging dari sapi yang dipotong secara tidak sah, bukan di Rumah Potong Hewan (RPH) resmi.
Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap rantai distribusi pangan. Daging gelonggongan dipotong di tempat ilegal, yang tidak menjamin standar kebersihan, kesehatan hewan, maupun kehalalan proses penyembelihan. Padahal, bagi umat Islam, kehalalan bukan hanya simbolik, melainkan menyangkut keberkahan hidup dan kesehatan tubuh.
Situasi ini menjadi semakin genting setelah temuan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait tujuh produk berlabel halal yang ternyata mengandung unsur babi. Kejadian ini mengguncang rasa aman publik Muslim dan memunculkan pertanyaan mendasar: kepada siapa lagi umat harus percaya jika label halal pun bisa keliru?
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dengan tajam menyoroti krisis ini. Ia menyerukan agar semua pihak—baik pelaku usaha besar maupun kecil—mengutamakan transparansi, kejujuran, dan kehalalan dalam setiap proses produksi. Seruan ini bukan sekadar moralistik, tapi harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret.
Dalam situasi ini, Muhammadiyah sebagai organisasi besar dengan jaringan amal usaha yang luas, sangat mungkin dan penting untuk mengambil peran aktif yang lebih konkret. Langkah awal yang mendesak adalah mendirikan amal usaha dalam bentuk Rumah Potong Hewan (RPH) Halal Muhammadiyah.
RPH ini harus menjamin proses penyembelihan sesuai syariat, serta memenuhi standar higienitas dan kesehatan hewan. Selain itu, RPH ini juga bisa menjadi pusat distribusi daging halal internal Muhammadiyah, menjawab kebutuhan warganya dan publik secara luas.
Langkah berikutnya adalah membentuk Korps Juru Sembelih Halal Muhammadiyah (Julehamu). Korps ini harus diisi oleh kader Muhammadiyah yang telah tersertifikasi secara resmi, dengan kemampuan teknis dan pemahaman syariah yang memadai. Profesi juru sembelih tidak bisa dilakukan sembarangan. Ia butuh pelatihan, verifikasi, dan pengawasan, agar daging yang dihasilkan benar-benar halal dan tayyib.
Untuk menyokong rantai pasok daging halal ini, Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) perlu mengoordinasikan jaringan peternak dari kalangan warga Muhammadiyah. Mereka bisa menjadi pemasok hewan sehat ke RPH Muhammadiyah. Dengan skema ini, tercipta ekosistem ekonomi internal yang mandiri, bersih, dan berkeadilan—mulai dari peternak, juru sembelih, hingga konsumen.
Pentingnya sertifikasi halal juga telah menjadi perhatian pemerintah. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan—yang juga merupakan kader Muhammadiyah—menyatakan bahwa mulai Oktober 2024, semua pemotongan ayam dan hewan ternak wajib memiliki sertifikasi halal. Ia mencontohkan praktik lama di pedesaan, di mana ayam mati karena terlindas kendaraan kemudian dipotong dan dijual. Praktik semacam itu jelas tidak memenuhi syarat halal dan higienis.
Sertifikasi halal dalam pemotongan hewan menjamin bahwa proses tersebut diawasi oleh dokter hewan, dilakukan dengan alat yang bersih, serta mengutamakan kesejahteraan hewan. Maka dari itu, jika Muhammadiyah memiliki RPH tersendiri yang bersertifikat halal, maka bukan hanya kehalalan yang terjamin, tetapi juga kesehatan konsumen dan keberlanjutan ekonomi umat.
Hingga kini, belum ada kabar resmi tentang pembentukan Julehamu di wilayah DKI Jakarta. Ini adalah kekosongan yang harus segera diisi. Dengan sumber daya, jaringan, dan kepercayaan yang telah dimiliki, Muhammadiyah tidak boleh hanya menjadi penonton dalam krisis pangan halal ini. Saatnya bertindak—tidak hanya untuk warganya, tapi juga untuk bangsa yang lebih sehat dan bermartabat.