JAKARTAMU.COM | Salat tarawih berasal dari kata raaha atau tarwiihah, yang berarti istirahat. Esensi dari salat tarawih adalah pelaksanaannya yang dilakukan dengan santai dan diselingi dengan istirahat kecil.
Namun, dalam masyarakat kita, baik yang melaksanakan 11 maupun 23 rakaat, praktiknya sering kali justru terburu-buru. Baru saja duduk setelah salam dan hendak mengambil napas, imam sudah berdiri kembali untuk melanjutkan rakaat berikutnya.
Hal ini disampaikan Dr. H. Ahmad Rifa’i, M.Pd.I, anggota Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PWM DKI Jakarta, dalam kajian Persiapan Ramadan di Masjid Al Huda, Cipinang Kebembem, Jakarta Timur, pada Minggu (16/2/2025).
“Setelah empat rakaat, sebaiknya ada jeda yang lebih panjang. Bisa digunakan untuk minum teh atau kopi, serta menikmati camilan ringan,” ujar Ahmad Rifa’i.
Pada masa sahabat, setelah menunaikan empat rakaat, mereka beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali. Tarawih dilakukan dengan santai dan penuh ketenangan (tuma’ninah). Ada di antara mereka yang memanfaatkan jeda ini untuk thawaf, minum air zamzam, atau menikmati bekal yang mereka bawa.
Salat Tarawih pada zaman itu berlangsung sejak tengah malam hingga menjelang subuh, dan waktu sahur sering kali bertepatan dengan jeda istirahat dalam salat Tarawih.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menambah jumlah rakaat Tarawih di Masjid Nabawi menjadi 36 rakaat. Hal ini didorong oleh rasa ingin menyamai penduduk Makkah yang memiliki kesempatan untuk melakukan umrah di sela-sela ibadah Ramadan. Jumlah ini belum termasuk witir tiga rakaat, sehingga totalnya menjadi 39 rakaat.
Sejak wafatnya Sayyidina Ali r.a., jumlah rakaat salat Tarawih tidak mengalami perubahan berarti, yakni 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Salat tetap dilakukan berjamaah dengan jeda setelah setiap empat rakaat. Baru pada tahun ke-99 Hijriyah, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah dari Bani Umayyah, jumlah rakaat Tarawih ditambah menjadi 36 di luar witir.
Menghidupkan Malam di Bulan Ramadan
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang menghidupkan malam di bulan Ramadan dengan dasar iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa menghidupkan malam di bulan Ramadan tidak hanya terbatas pada salat atau membaca Al-Qur’an. Segala aktivitas yang bermanfaat dan sesuai dengan syariat Islam juga termasuk dalam kategori ini. Bagi wanita yang sedang haid, menghidupkan malam bisa dilakukan dengan berdzikir atau membaca buku yang bermanfaat.
Begitu pula bagi mereka yang bertugas di malam hari, seperti tentara, polisi, perawat, dokter, sopir bus malam, pilot, dan nakhoda kapal. Mereka yang bekerja untuk mencari nafkah atau membantu orang lain juga mendapatkan keutamaan dalam menghidupkan malam Ramadan.