Masyarakat adat telah lama menjadi penjaga hutan, namun eksistensi mereka terancam oleh industrialisasi dan kebijakan yang tidak berpihak.
“Mereka memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi sering menjadi korban pelanggaran HAM dan kriminalisasi,” kata Abdon Nababan.
RUU Masyarakat Adat diharapkan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat. Salah satu usulan penting dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah pembentukan Komisi Nasional Masyarakat Adat yang memiliki kewenangan untuk verifikasi, pendataan, dan penyelesaian sengketa.
Tak hanya itu, urgensi masyarakat adat juga penting untuk melindungi masyarakat yang menjaga hutan. “Masyarakat adat di Indonesia terus menghadapi konflik agraria di wilayah hutan yang tiada henti. Sampai sekarang tercatat lebih dari 100 kasus di lapangan. Inilah salah satu pentingnya RUU Masyarakat Adat di Indonesia,” tambah Abdon.
Menurut Abdon, masyarakat adat terbukti mampu menjaga hutan. Hal ini dapat dilihat dari data hutan primer yang terjaga di wilayah adat seluas 14.008.795 hektar. Sementara itu, hutan sekunder di wilayah masyarakat adat tercatat seluas 7.246.658 hektar.
“Ini sekali lagi bukti bahwa masyarakat adat atau first nation mampu menjaga hutan an berkontribusi pada penurunan emisi atau pembangunan rendah karbon,” tegasnya.
Perempuan dan Penyelamatan Hutan
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah membawa perspektif gender dengan menyoroti peran perempuan dalam penyelamatan hutan dari sudut pandang lintas agama.
Hening menegaskan bahwa hutan bukan sekadar kumpulan pohon dan satwa liar. Ia adalah sumber kehidupan, tempat di mana manusia dan alam saling terhubung dalam harmoni yang abadi.
“Bagi perempuan, hutan memiliki makna yang lebih dalam. Mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai ruang spiritual yang mengajarkan kesabaran, ketahanan, dan kebijaksanaan,” ungkapnya.
Direktur Direktur GreenFaith Indonesia ini menekankan pentingnya menjaga hutan dan melakukan advokasi perlindungan hutan tropis di Indonesia melalui kerja sama lintas agama.
Menurutnya, pendekatan lintas agama dalam advokasi ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari metode advokasi lainnya.
“Kerja sama lintas agama dalam advokasi perlindungan hutan dapat menggunakan pendekatan berbasis nilai-nilai agama sebagai sarana pencerahan, dakwah, atau sosialisasi. Metode ini bisa disampaikan dalam bentuk khutbah, doa, atau cara-cara lain yang biasa digunakan dalam kegiatan keagamaan, sehingga proses advokasi dapat berjalan dengan baik dan lebih diterima oleh masyarakat,” ujar Hening Parlan.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dalam proses advokasi diperlukan tujuan yang jelas. Namun, langkah-langkah yang diambil tidak bisa bersifat frontal, melainkan harus dilakukan dengan strategi yang bijak dan efektif.
Pendekatan yang lebih halus dan berbasis nilai-nilai keagamaan diharapkan dapat memperkuat kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial.
Pernyataan Hening Parlan ini selaras dengan pandangan berbagai pemuka agama yang juga menekankan bahwa lingkungan hidup, termasuk hutan tropis, merupakan amanah yang harus dijaga bersama.
Dengan mengedepankan kerja sama lintas agama, advokasi lingkungan diharapkan dapat lebih berdampak luas dan berkelanjutan.
Sebuah refleksi tentang peran agama dalam perjuangan melawan korupsi dan kerusakan lingkungan disampaikan Bustar Maitar, CEO Eco Nusa. Dia mengungkapkan pentingnya “Non-Violence Direct Action” (Aksi Langsung Tanpa Kekerasan) sebagai bagian dari kampanye.
Bustar juga mencatat bahwa dalam banyak kasus, pemuka agama dapat berperan sebagai suara moral dalam pergerakan sosial, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang mendukung RUU Masyarakat Adat atau berdoa untuk menghukum pelaku perusakan hutan.