Oleh Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah
Pada saat kaum nasionalis dan Islam bersatu padu membebaskan negeri ini daricengkraman penjajah, kaum komunis berkhianat.
SETIAP pagi adalah harapan. Ia memulai langkah mengayun bersama matahari. Indonesia pada 1945 adalah pagi hari bagi puluhan juta penduduk di belasan ribukepulauan dipojok tenggara Asia yang baru menikmati usainya Perang Dunia II (1939 – 1945), khususnya di kawasan Pasifik.
Jagoan kate, Jepang, yang merajalela dengan pendudukan militer di Asia Tenggara setelah menghajar dalam dadakan di Pearl Harbour 1941, pun merebut Indonesia (waktu itu Hindia Belanda).
Sejak Maret 1942 – Agustus 1945 dalam pendudukan militernya di Indonesia, selain berlaku kejam-fasistis yang menyengsarakan itu, namun Jepang-lah yang membolehkan pemakaian kata I. N. D. O. N. E. S. I. A, pengibaran Sang Dwi Warna Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya.
Jepang juga melatih relawan para pemuda dalam organisasi militer (PETA: PembelaTanah Air) di Pulau Jawa) di samping Heiho dan Kaibodan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Juga mendirikan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai himpunan kerja politik bagi 62 tokoh bangsa antara lain Sukarno dan Mohammad Hatta. Dinamika kerja politiknya membawa ke arah PPKI (Panitia PersiapanKemerdekaan Indonesia), dengan Ketua Soekarno.
Sementara kekuatan militer seadanya telah tersusun, namun belum terstrukturmemusat. Berkekuatan sekitar 10 batalyon yang pimpinannya sebagian besar adalahtokoh pemuda Muslim, khususnya dari Muhammadiyah. Sebutlah, Sudirman – Karesidenan Banyumas, Mulyadi Joyomartono – Karesidenan Surakarta, Kasman Singodimejo – Karesidenan Jakarta.
Masih terpisah dan sebatas pada tiap karesidenan, kemudian ditambah kehadiran laskar militer sayap dari Masyumi: Hisbullah (untuk kaum muda Islam) dan Sabilillah (untuk kaum tua Islam berbasis di pesantren). Memang dalam kekuasaan pendudukan militer yang singkat (3,5 tahun), Jepang jelas mengangkat kekuatan politik Islam, baik dalam militer dan kelembagaan sosial politik.
Jangan dilupakan, terdapat Empat Serangkai : Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah) dalam gerakan Tiga A: Nippon pemimpin Asia, cahaya dan pelindung. Dibentuklah Kementerian Agama (Shomubu) dan kekuatan Islam disatukan ke dalam Masyumi.
Kekuatan nasionalis dan Islam bersatu bersiap diri untuk merdeka, ketika Perang Dunia II berkecamuk. Sementara Jepang menebar janji kemerdekaan dan untuk itu denganmembangun struktur kekuatan militer dan politik yang sesungguhnya diniatkan agar bangsa Indonesia bersedia “dimanfaatkan” untuk menghadapi laju invasi kekuatan sekutu di Asia Tenggara yang dikomandani Amerika Serikat.
Begitulah idiom politik pun “saling mengambil kesempatan dalam kesalinganpemanfaatan” terbangun. Hal itu berlaku pula antara Jepang di satu sisi yang butuhkawan menghadapi Sekutu di satu sisi dan kekuatan politik bangsa terjajah berniatmerdeka yang telah mengalami pencerahan sejak politik etisnya Belanda (lihat : kurun1908, 1928 dengan Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah, kemudian NU dll dalam momen Sumpah Pemuda dan gerakan politik kaum pergerakan tersebut).
Kaum komunis justru bergandengan tangan dengan kekuatan kolonialis yang kapitalis-imperialis sejak 1930-1945, bergerak di bawah tangan yang hal ini diakui para tokoh Komunis, semisal: Musso yang ditemani Amir Syarifudin.
Kecuali Tan Malaka, aktivis komunis 1926 yang nasionalis, tidak bersedia berkolaborasi sebagaimana dilakukan oleh Musso dkk. Kaderisasi Tan Malaka berjalan di kalangan kaum sosialis kiri dan muncul selepas Jepang takluk tanpa syarat 15 Agustus 1945, pasca pengeboman atom terhadap Nagasaki dan Hiroshima 6 Agustus dan 9 Agustus 1945.
Di mata Tan Malaka dan Amir Syarifudin, bahkan Syahrir, kemerdekaan RI itu hanyalah permen fasis Jepang. Mereka memperalat anak-anak muda khususnya di PETA Jakarta untuk menculik Soekarno Hatta.
Mereka tidak terlibat di BPUPKI, PPKI dan malam menjelang 17 Agustus 1945 masihbersembunyi di bawah tanah. Kelak, Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan dan menentang perundingan.Mereka tidak ikhlas akan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Mulai awal 1946 justru diplomasi mulai bergerak, antara lain muhibah Agus Salim ditemani Pamuncak, Rasyidi dan AR Baswedan ke timur Tengah. Mesir menjadi negara pertama kemudian diikuti beberapa negara Arab lainnya, yakni Irak, Syiria, Saudia Arabia, Yordania.
Palestina yang belum berdiri sebagai negara, melalui Muftinya sejak September 1944 mengakui dan mendukung perjuangan RI. Perjuangan diplomasi adalah upaya Syahriryang mulai November menjadi Perdana Menteri membela RI di belakang Sukarno-Hatta, menggerakkan diplomasi baik di dalam maupun di luar negeri hingga PBB sampai 99 kali sidang. (baca selanjutnya Perjuangan diplomasi, oleh Moh. Roem).
Di balik itu diam-diam, kaum Komunis menyatukan diri pada 1946 di Solo Jawa Tengah di saat RI tinggal sedaun kelor (Jogja- Solo – Madiun dan sebagian Kediri akibat Renville bikinan AS dan Sekutunya). Meletuslah September 1948 dan gagal.
Candradimuka Revolusi
Periode 1945- 1948 ini, Indonesia berada dalam kawah candradimuka Revolusi yang menggelora. Sekian revolusi sosial kaum kiri di Cumbok, Sumatera Barat, Banten, Cirebon, Tiga Daerah (Brebes, Tegal dan Pemalang) dan Surakarta justru semakinmenjelaskan, di situlah kaum Komunis ingin merobohkan RI yang masih jabang bayi.
Sementara di internal kekuatan kemerdekaan mengalami desintegrasi, datanglahSekutu yang kini AS menyerahkan kepada Inggris yang Belanda dengan NICA menyertainya, pada akhir September 1945. Berlagak sebagai pemenang perang Dunia II, Belanda bermimpi untuk berkuasa kembali seakan mengambil hak politik atas tanahjajahannya yang 3,5 tahun diduduki Jepang bagian dari kaum fasis dunia yang kalahperang.
Perlawanan militer dan diplomasi oleh kaum revolusioner Indonesia yang muda inimengagetkan dunia. Secara diplomasi setelah melalui Linggajati, Renville, Sidang PBB, Roem-Royen dengan berpuncak pada KMB maka Indonesia secara de jure melengkapide facto dan Belanda – Indonesia saling menyerahkan/mengakui: RI adalah Negara yang berdaulat. Minus Irian Barat, yang kemudian baru tuntas pada 1 Mei 1963 dan purna tuntas pada 1969.
Perlawanan Fisik
Pertempuran Surabaya yang telah dimulai sejak 21 Oktober dan memuncak pada 10 November 1945 adalah salah satu episode perwujudan perlawanan fisik oleh rakyat yang tak mau dijajah lagi oleh Belanda anggota Sekutu itu.
Rakyat yang menyenjatai sendiri dengan komando dari para eks PETA, Hisbullah, Sabilillah (ingat waktu Nopember 1945 baru sebulan terbentuknya TKR dari kompromibekas KNIl dan Peta serta Lasykar yang masih jauh dari terorganisasikan).
Di Surabaya inilah keberanian, pengorbanan dituntaskan habis-habisan. Semarang pada Oktober, menyusul Solo…. memang juga muncul pertempuran tetapi konteksnya adalahmelucuti tentara Jepang.
Kedatangan tentara Inggris yang antara lain beranggotakan tentara bayaran Gurkha dan Nica September di Jakarta, kemudian menjelang akhir Oktober di Surabaya, dinyatakan oleh kaum pejuang Revolusi 17 Agustus sebagai penjajahan kembali.
Kematian Brigjen Mallaby sebagai komandan brigade kesatuan elite Inggris, nampaknyamemantik kemarahan Sekutu. Surabaya harus dihajar. Dan, …. nyatanya demikiandahsyat.
Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama Revolusi ( 1945-1949 ), sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Kelak dicatat sebagai bukti untukperundingan internasional, bahwa rakyat Indonesia memang anti penjajahan dan merupakan sinyal merah bagi Belanda untuk menjajah kembali.
Laksamana Madya Shibata Yaichiro, Panglima Jenapang senior dari Kaigun (berwilyahIndonesia Timur), memihak Republik Indonesia. Jatuhlah persenjataan Jepang ketangan para pejuang yang kemudian menyulut keberanian dan keperkasaan tentaraRepublik yang masih seadanya itu.
Sibata dan pasukannya menyerah kepada Sekutu pada 3 Oktober 1945 denganpengakuan bahwa kenyataan akan kekuasaan bangsa Indonesia atas kota itu dan menyerahkan senjatanya kepada Tentara Keamanan Rakyat setempat. Sekutu mulaimarah.
Pada pekan terakhir dan diulangi pada awal November para pemimpin NahdhatulUlama – dipimpin oleh KH Hasyim Asyaari dan Pimpinan Pusat Masyumi Dr Soekimanserta PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo menyatakan: Bahwa perangmempertahankan Tanah Air Indonesia adalah Perang Sabil itu menjadi kewajibanseluruh kaum muslimin.
Mulailah mengalir para santri dari Pondok Pesantren, terutama Jombang, Mojokerto, Gresik dan sekitarnya serta murid-murid sekolah-sekolah Muhammadiyah ke Surabaya untuk menghadapi Sekutu yang dipermalukan Jepang dengan pengakuan Shibata ataskekuasaan bangsa Indonesia atas kota Surabaya.
Lahir pula lasykar pemberontak yang dipimpin Soetomo (Bung Tomo) hadir bersamaribuan santri, Hisbullah, sabililah dan eks Peta dan mantan KNIL. Front sudah salingberhadapan. Surabaya mulai menunjukkan kenekadannya bersiap menghadapi 6000 pasukan Inggris yang tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Sementara sekitar belasan batalyon TKR yang baru terbentuk dan lebih dari 100 riburakyat khususnya para pemuda kita, santri dari Pondok Pesantren siap mati syahid. Selama sepekan pertempuran berdarah-darah, lalu Soekarno, Hatta dan Amir Syarifudinpada 30 Oktober 1945 tiba di Surabaya, gencatan senjata disepakati.
Namun pertempuran berlangsung kembali, gara-gara Brigadir Jenderal AWS Mallaby, terbunuh oleh pejuang Surabaya. Pecahlah aksi mombardir Surabaya oleh Inggris dan sekutunya, karena rakyat Surabaya menolak untuk menyerahkan senjata.
Serangan udara, laut dan udara Inggris pada 10 November 1945 dihadapi rakyat dan TKR Surabaya dengan habis-habisan dan teriakan Allahu Akbar membahana. Ini sejarah… kecintaan kaum muslimin terhadap tanah airnya demi keadilan dan hak -hakmanusia untuk merdeka. Pertempuran selama tiga hari yang beroik dengan korban jiwaribuan dan kehancuran kota Surabaya.
Di sini lah bukti fanatisme dan radikalisasi umat dicatat sejarah yang mendorongpenjajalh berpikir ulang untuk kembali menjajah. Bukan karena ke modern senjata dan logistik yang sempurna pihak Sekutu harus mengakui keperkasaan rakyat Surabaya tetapi menghadapi keberanian dan teriakan Allhu Akbar, tak bisa dibantah itulah yang mengecilkan hati kaum penjajah itu.
Pertempuran Surabaya juga merupakan titik balik bagi Belanda, karena peristiwa itutelah mengejutkan mereka dalam menghadapi kenyataan baru: Indonesia didukungoleh rakyat. Dikiranya RI hanya didukung oleh segerombola kolaborator fasis Jepang. Belanda salah menilai…
Runtuhlah keyakinan politik Belanda yang ingin selalu memecahkan belah rakyat, seakan rakyat tidak mendukungnya. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan telah terbukti di Surabaya. Rakyat bersatu adalah modal utama bagi suatu negara yang ingin maju. (*)