Minggu, Desember 29, 2024
No menu items!

Mengukur Tingkat Partisipasi Warga di Pilkada DKI Jakarta

Polarisasi yang berkurang mungkin menekan konflik, tetapi juga menghilangkan daya tarik kompetisi politik yang dapat memobilisasi partisipasi.

Must Read

Banyak ulasan mengenai alasan rendahnya partisipasi public di Pilkada DKI Jakarta. Mulai profil paslon yang bertanding hingga macetnya mesin para parpol pendukung.

Partisipasi Politik dalam Demokrasi

Tetapi benarkah rendahnya partisipasi itu menunjukkan warga DKI Jakarta memandang negatif pilkada dan tidak mendukung proses demokrasi? Apakah biaya politik yang tinggi mengharuskan dihentikannya pilkada langsung (one man one vote)? Apakah partisipasi politik hanya semata pada angka pemberian suara?

Miriam Budiarjo dalam buku Partisipasi dan Partai Politik menyatakan sesungguhnya pengukuran partisipasi melalui hitungan prosentase dari warga yang memilih atau menggunakan hak pilih hanyalah formalistik dan kurang canggih.

Menurut Miriam Budiardjo, tolok ukur partisipasi perlu dilengkapi dengan penilaian terhadap kegiatan politik lain. Misalnya, menghadiri rapat organisasi politik serta rapat umum, ikut aktif dalam kampanye pemilihan, bekerja dalam organisasi politik secara penuh waktu, dan lain sebagainya. Di negara-negara yang demokrasinya mulai tumbuh, mungkin perlu juga ada penelitian tentang seberapa jauh pemilih bersifat spontan atau dimobilisasi.

Hal ini senada dengan pandangan Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences. Ia menyebut, sikap acuh tak acuh terhadap pemilu bisa jadi menandakan tingkat kepercayaan tinggi terhadap sistem politik. Masyarakat yang puas cenderung tidak merasa perlu terlibat langsung dalam pemilu.

Jadi, apatis dalam pandangan ini tidak menunjuk pada rasa kecewa atau frustasi. Sebaliknya hal itu adalah sikap yang justru menunjukkan tingkat kepuasan dan kepercayaan pada sistem politik yang sedang berlangsung. Berarti stabilitas dari sistem politik terjaga dan jauh dari ancaman. Robert Dahl termasuk yang meyakini tesis tersebut.

Galen  A Irwin dalam “Political Efficacy, Satisfaction and Participation” menyimpulkan, perasaan puas menyebabkan partisipasi yang lebih rendah. Namun para sarjana ini sependapat bahwa yang penting adalah meneliti sebab-sebab mengapa seseorang tidak memberikan suaranya.

Konflik dan Polarisasi

Pertanyaannya, betulkah ajakan persatuan dalam KIM Plus menekan polarisasi dan menguatkan stabilitas? Koalisi besar yang seharusnya mencerminkan persatuan justru mengurangi semangat kompetisi.

Polarisasi yang berkurang mungkin menekan konflik, tetapi juga menghilangkan daya tarik kompetisi politik yang dapat memobilisasi partisipasi. Polarisasi bisa meningkatkan partisipasi pemilih atas desakan kompetisi, kendati berpotensi mengundang instabilitas. Lihatlah Pilkada Jakarta 2017.

Sejak awal muncul kekecewaan sebagian masyarakat yang menghendaki Anies Baswedan menjadi calon gubernur pada 2024. Sang idola gagal karena kehabisan kendaraan politik yang dibaca sebagai pengkhianatan parpol atas nama kepentingan politik atau sandera hukum penguasa.

Anies, yang pernah dinamai Bapak Politik Identitas lalu bermanuver lalu bergandengan dengan salah satu calon, yang sebelumnya berposisi sebagai musuh politik identitas. Pada ujungnya, politik tak akan menemukan batas akhir ketika kekuasaan itu memang menjadi fitrah dari kebutuhan penyelenggaraan negara dengan sektor dan regional yang saling mengkait.

Cerita Saksi Mata soal Kebrutalan dan Penghinaan Israel saat Serbu RS Gaza

JAKARTAMU.COM | Tim medis dan pasien Rumah Sakit Kamel Adwan di utara Jalur Gaza menjadi korban kekerasan terbaru militer...

More Articles Like This