DI tengah hiruk-pikuk jagat digital, kita semakin sering disuguhi berbagai narasi liar. Salah satunya, tuduhan tanpa dasar bahwa seorang tokoh politik tertentu adalah “boneka PKI”, “alat China Komunis”, hingga “penghujat Islam”. Beredarnya fitnah semacam ini, dengan nada emosional dan provokatif, bukan hanya mencoreng nama baik seseorang — tetapi juga mengancam keutuhan bangsa.
Sebuah narasi viral baru-baru ini menyasar Kang Dedi Mulyadi (KDM), mantan Bupati Purwakarta, yang dituduh sebagai “Gubernur PKI”, “proyek China Komunis”, dan “penista air zam-zam”. Namun, apakah tuduhan itu valid? Sejauh mana ia berdiri di atas akal sehat, syariat Islam, dan hukum negara? Mari kita urai dengan jernih.
Membedah Rasionalitas Tuduhan
Tuduhan yang menyebut seseorang sebagai antek PKI dan China Komunis, apalagi tanpa bukti sahih, adalah bentuk kesesatan logika yang dikenal sebagai argumentum ad hominem — menyerang pribadi tanpa membuktikan fakta. Tuduhan seperti ini:
- Tidak menyertakan bukti verifikasi dari lembaga berwenang.
- Mengambil potongan ucapan dan menggeneralisasi untuk membangun prasangka.
- Mengaburkan konteks, sehingga makna yang utuh menjadi hilang.
Dalam tradisi berpikir rasional, sebuah tuduhan serius seperti keterlibatan dalam organisasi terlarang (seperti PKI) harus:
- Dibuktikan melalui mekanisme hukum formal.
- Diuji oleh aparat penegak hukum.
- Dilihat dari perilaku dan rekam jejak nyata, bukan sekadar interpretasi liar.
Tanpa memenuhi tiga syarat ini, tuduhan itu hanya akan menjadi fitnah politik murahan yang merusak integritas kehidupan publik.
Islam Mengharamkan Fitnah dan Su’uzon
Dalam Islam, fitnah — apalagi dalam urusan politik dan kepemimpinan — adalah dosa besar. Al-Qur’an secara tegas memperingatkan:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللهُ فِي رَدْغَةِ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah akan menahannya di neraka hingga ia mencabut ucapannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim)
Islam juga memerintahkan untuk tabayyun (klarifikasi) sebelum menerima kabar:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Maka jelas, menyebarkan berita tanpa tabayyun adalah dosa. Memfitnah seorang muslim tanpa bukti adalah kebinasaan. Apalagi bila kita menyeret isu-isu agama, haji, air zam-zam — maka dosanya berlipat karena mengadu domba umat Islam sendiri.
Perlindungan Hukum di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, fitnah dan penyebaran ujaran kebencian diatur secara ketat, antara lain melalui:
- KUHP Pasal 310 dan 311 tentang Pencemaran Nama Baik
Barang siapa menyerang kehormatan seseorang dengan tuduhan palsu, dapat dipidana.
- UU ITE (UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016) Pasal 27 Ayat 3
Larangan penyebaran informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
- UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Larangan menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat.
Sanksinya tidak main-main: dari pidana penjara hingga denda besar. Ini bukan sekadar teori. Sudah banyak kasus serupa yang berakhir dengan pelaporan, persidangan, dan hukuman.
Dengan demikian, menyebarkan narasi liar seperti tuduhan PKI atau penghinaan agama, tanpa dasar, bukan saja dosa besar menurut agama, tapi juga tindak pidana menurut hukum negara.
Mengapa hal ini berbahaya?
Menyebarkan tuduhan palsu seperti ini membawa konsekuensi besar:
- Merusak karakter pribadi seseorang tanpa mekanisme keadilan.
- Memecah-belah umat Islam, mengadu antara kelompok satu dengan yang lain.
- Menyulut kebencian berbasis ras (terhadap keturunan Tionghoa) yang bisa berujung pada kerusuhan sosial.
- Menghancurkan iklim demokrasi, karena menggeser politik dari pertarungan ide menjadi pertarungan kebencian.
Lebih jauh, bangsa yang terjebak dalam pertarungan fitnah tidak akan pernah maju. Kita akan sibuk membunuh karakter saudara sendiri, sementara dunia terus bergerak maju membangun peradaban.
Menjaga Akal, Hati, dan Lidah
Dalam era banjir informasi seperti sekarang, menjadi bijak adalah keniscayaan. Alih-alih menjadi penyambung berita dusta, kita harus menjadi benteng kebenaran.
Sabda Rasulullah SAW:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta bila ia menceritakan setiap yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Mari kita berpikir jernih dan tidak mudah terbakar emosi, bertabayyun dan tidak mudah mempercayai kabar viral. Sangat penting menegakkan adab Islam dengan tidak asal memvonis saudara seiman. Sebab, pada akhirnya, bangsa besar dibangun bukan dengan kebencian, tetapi dengan akal sehat dan moral mulia.